Oleh: Vitania Yulia*
Keputusan untuk tidak memiliki anak, atau yang lebih dikenal sebagai childfree, telah menjadi topik yang semakin banyak dibicarakan, terutama di media sosial. Sosok seperti YouTuber Ghita Savitri menjadi salah satu yang secara terbuka menyatakan pilihannya untuk childfree.
Dalam penjelasannya, Ghita mengungkapkan alasannya dengan lugas, termasuk ketidaksetaraan gender dalam pengasuhan anak, tantangan emosional dan fisik kehamilan, serta tanggung jawab yang tak terbatas sebagai seorang ibu. Alasan-alasan ini mencerminkan bahwa pilihan childfree bukan hanya soal preferensi pribadi, melainkan juga terkait dengan kondisi sosial dan budaya yang ada.
Di Indonesia, ketimpangan gender dalam pengasuhan anak merupakan isu yang masih sangat nyata. Sistem patriarki yang mengakar membuat beban pengasuhan lebih berat di pundak perempuan, terutama ibu. Sementara peran ayah sering kali lebih lepas, perempuan dituntut untuk menjadi sosok yang menjalani tugas domestik sekaligus pengasuh utama.
Hal ini tercermin dari banyaknya kasus di mana perempuan tetap memikul tanggung jawab pengasuhan meskipun mereka juga bekerja di luar rumah. Ghita Savitri, dalam pernyataannya, menekankan bahwa ketidaksetaraan gender ini adalah salah satu faktor utama yang membuatnya memutuskan untuk childfree. Ia menyadari betapa beratnya menjadi seorang ibu di tengah kondisi yang belum mendukung kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam urusan rumah tangga dan pengasuhan.
Dalam konteks ini, childfree dapat dipahami sebagai sebuah protes terhadap ketidakadilan gender yang masih mewarnai kehidupan sehari-hari. Bagi banyak perempuan, keputusan untuk tidak memiliki anak adalah cara untuk melepaskan diri dari beban yang selama ini dianggap sebagai kewajiban mereka.
Di Indonesia, meskipun isu kesetaraan gender mulai mendapat perhatian, pada kenyataannya, banyak perempuan yang merasa bahwa mereka akan terjebak dalam peran tradisional yang memberatkan jika mereka memilih untuk memiliki anak. Hal ini semakin memperkuat pilihan childfree di kalangan perempuan yang menginginkan kebebasan lebih dalam hidup mereka.
Inklusifitas Media Sosial
Media sosial memainkan peran besar dalam memperkuat suara mereka yang memilih jalur hidup berbeda, termasuk mereka yang memutuskan untuk childfree. Di platform seperti Instagram, Twitter, dan YouTube, individu dapat berbagi pengalaman pribadi, berbicara tentang tantangan hidup tanpa anak, serta mendapatkan dukungan dari komunitas daring yang memiliki pandangan serupa. Bagi mereka yang merasa terisolasi di dunia nyata karena pilihan hidup yang berbeda, media sosial menjadi jembatan yang menghubungkan mereka dengan orang-orang lain yang menghadapi tantangan serupa.
Selain itu, media sosial juga mempopulerkan peran model dari selebriti, influencer, atau tokoh publik yang memilih childfree. Ketika tokoh-tokoh seperti Ghita Savitri berbicara secara terbuka tentang kebahagiaan hidup tanpa anak, mereka secara tidak langsung menginspirasi banyak orang, terutama generasi milenial, untuk mempertimbangkan gaya hidup ini. Mereka yang sebelumnya merasa tertekan oleh norma sosial bahwa pernikahan dan anak adalah tujuan hidup, kini menemukan ruang untuk berpikir ulang tentang keputusan tersebut.
Generasi milenial, khususnya, lebih mempertimbangkan kebebasan pribadi dan stabilitas finansial sebelum mengambil keputusan besar dalam hidup, termasuk pernikahan dan memiliki anak. Di media sosial, banyak contoh orang yang menikah di usia 30-an atau memilih untuk tidak menikah sama sekali. Pengaruh ini menciptakan ruang bagi generasi muda untuk meninjau ulang keputusan-keputusan besar dalam hidup mereka, di mana keputusan untuk menunda atau bahkan tidak memiliki anak menjadi semakin lazim.
Pesimisme terhadap Masa Depan Indonesia
Faktor lain yang semakin memengaruhi keputusan childfree di Indonesia adalah pesimisme yang terpantau di media sosial terkait masa depan negara. Banyak orang, terutama kaum muda, merasa pesimis tentang kondisi politik, ekonomi, dan sosial di Indonesia yang dianggap tidak stabil.
Ketidakpastian ini memunculkan kekhawatiran tentang membesarkan anak di masa depan yang dipenuhi tantangan. Bagi banyak orang, membesarkan anak di tengah ketidakpastian ekonomi, perubahan iklim, serta masalah politik yang tak kunjung usai, dianggap bukanlah ide bijaksana.
Pesimisme ini semakin menguat di media sosial, di mana banyak pengguna berbagi keresahan mereka tentang masa depan negara. Mereka meragukan kemampuan pemerintah untuk menyediakan lingkungan yang aman dan sejahtera bagi generasi mendatang.
Dalam kondisi seperti ini, keputusan untuk childfree terlihat lebih sebagai pilihan logis yang diambil oleh mereka yang tidak ingin membawa anak-anak mereka ke dalam dunia yang penuh ketidakpastian. Mereka merasa lebih baik untuk fokus pada pengembangan diri dan kesejahteraan pribadi, ketimbang menambah beban dengan tanggung jawab membesarkan anak.
Di samping alasan sosial dan budaya, tantangan ekonomi juga menjadi faktor utama di balik keputusan childfree di Indonesia. Membesarkan anak memerlukan biaya yang besar, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga kebutuhan sehari-hari.
Di Indonesia, biaya pendidikan yang terus meningkat serta kurangnya subsidi dari pemerintah membuat banyak pasangan muda berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk memiliki anak. Pendidikan yang mahal dan layanan kesehatan yang tidak selalu mudah diakses menjadi kendala besar bagi mereka yang ingin memulai keluarga.
Data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa tingkat kelahiran di Indonesia terus menurun dari tahun ke tahun. Hal ini sebagian besar dipengaruhi oleh meningkatnya usia pernikahan pertama, meningkatnya tingkat pendidikan perempuan, serta kesadaran akan pentingnya perencanaan keluarga. Namun, di sisi lain, penurunan angka kelahiran ini juga menunjukkan bahwa semakin banyak pasangan muda yang merasa bahwa mereka belum siap secara finansial untuk memiliki anak.
Keputusan untuk childfree bukan hanya soal preferensi pribadi, melainkan juga cerminan dari tantangan sosial, budaya, dan ekonomi yang ada di Indonesia. Beban pengasuhan yang lebih besar pada perempuan akibat sistem patriarki, pesimisme terhadap masa depan negara, serta kurangnya dukungan pemerintah dalam hal pendidikan dan kesehatan menjadi faktor utama yang mendorong semakin banyak orang untuk memilih hidup tanpa anak. Di sisi lain, media sosial telah memberikan ruang bagi mereka yang memiliki pandangan hidup berbeda untuk bersuara dan membentuk komunitas yang saling mendukung.
Pemerintah perlu segera merespons fenomena ini dengan kebijakan yang lebih inklusif dan mendukung, sehingga keputusan untuk memiliki atau tidak memiliki anak bisa benar-benar diambil berdasarkan preferensi individu, bukan karena keterbatasan sosial atau ekonomi. Dengan dukungan yang tepat, masyarakat Indonesia dapat merencanakan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang, baik itu dengan anak atau tanpa anak.
*) Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi pada Universitas Andalas