Oleh: Mohammad Isa Gautama*
DALAM lanskap politik dan hukum di Indonesia, narasi memaafkan koruptor sering kali dihembuskan dengan dalih rekonsiliasi, efisiensi hukum, atau alasan-alasan kemanusiaan. Namun, di balik retorika itu, ada sesat pikir yang tak hanya membahayakan sistem hukum tetapi juga melukai keadilan sosial.
Memaafkan koruptor, apalagi dalam bentuk pengampunan melalui remisi besar-besaran, dekriminalisasi, atau restitusi ringan, adalah pengkhianatan terhadap prinsip dasar demokrasi dan supremasi hukum. Kebijakan semacam ini bukan hanya salah secara moral, tetapi juga gagal secara rasional, menormalisasi korupsi, dan membentuk preseden buruk bagi generasi mendatan
Sejak awal reformasi, salah satu janji yang kerap didengungkan adalah pemberantasan korupsi. Namun, alih-alih konsisten dalam menjalankan janji tersebut, banyak kebijakan yang justru menunjukkan kecenderungan memanjakan pelaku korupsi.
Data Transparency International menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia pada 2023 berada di angka 34 dari skala 100, stagnan dibandingkan tahun sebelumnya dan jauh dari target reformasi. Fakta ini mencerminkan bahwa korupsi masih menjadi masalah struktural, bukan sekadar fenomena individu. Dalam konteks seperti ini, kebijakan yang cenderung memaafkan koruptor hanya mempertegas betapa lemahnya komitmen negara terhadap pemberantasan korupsi.
Baru-baru ini, wacana memaafkan koruptor kembali mencuat melalui pernyataan Presiden Prabowo Subianto. Dalam sebuah pertemuan dengan pelajar Indonesia di Kairo pada Desember 2024, Prabowo menyatakan, “Hai para koruptor, kalau kau kembalikan mungkin kita maafkan. Tapi kembalikan dong. Nanti kita beri kesempatan kembalikan.” Pernyataan ini menuai kritik tajam dari berbagai kalangan.
Bivitri Susanti, pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, menilai bahwa konsep pengampunan bagi koruptor tidak ada dalam sistem hukum Indonesia. Ia menegaskan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Wacana ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pendekatan semacam ini dapat mengurangi keseriusan penanganan kasus korupsi dan memberikan sinyal yang salah kepada masyarakat tentang konsekuensi dari tindakan koruptif.
Salah satu argumen yang sering digunakan untuk mendukung kebijakan memaafkan koruptor adalah alasan efisiensi. Para pendukung kebijakan ini sering kali mengklaim bahwa proses hukum yang panjang dan mahal dapat dihindari dengan memberikan opsi seperti restitusi atau remisi. Namun, argumen ini mengabaikan dampak sistemik dari korupsi itu sendiri.
Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2023, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 60 triliun dalam satu tahun. Angka ini tidak hanya mencerminkan uang yang hilang, tetapi juga peluang yang terampas untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Memaafkan koruptor berarti mengabaikan penderitaan jutaan rakyat yang hak-haknya dirampas akibat tindakan korupsi.
Sesat pikir lain yang sering muncul adalah argumen kemanusiaan. Dalam beberapa kasus, pelaku korupsi yang sudah uzur atau sakit-sakitan diberikan pengampunan dengan alasan kemanusiaan. Namun, bagaimana dengan kemanusiaan korban korupsi? Bagaimana dengan anak-anak yang harus putus sekolah karena dana pendidikan digelapkan? Bagaimana dengan pasien yang meninggal karena fasilitas kesehatan tidak memadai akibat dana yang dikorupsi? Alasan kemanusiaan ini, jika diterapkan secara selektif dan tidak memperhatikan konteks yang lebih luas, hanya menjadi dalih untuk melindungi kepentingan elit.
Kebijakan memaafkan koruptor juga menimbulkan dampak psikologis dan sosial yang serius. Dalam psikologi sosial, teori keadilan distributif menunjukkan bahwa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dapat memicu apatisme, penurunan kepercayaan publik, dan bahkan pemberontakan sosial. Ketika masyarakat melihat bahwa koruptor yang telah mencuri miliaran rupiah diperlakukan dengan lunak, sementara pelanggar hukum kecil seperti pencuri ayam dihukum berat, kepercayaan terhadap sistem hukum akan runtuh. Runtuhnya kepercayaan ini bukan hanya persoalan psikologis, tetapi juga berimplikasi langsung pada stabilitas sosial dan politik.
Dari perspektif hukum, kebijakan memaafkan koruptor adalah bentuk penghinaan terhadap supremasi hukum. Dalam teori hukum Hans Kelsen, hukum harus berlaku secara universal dan tidak memihak. Memaafkan koruptor berarti menerapkan standar ganda dalam penegakan hukum.
Selain itu, preseden semacam ini membuka peluang bagi koruptor lain untuk melakukan tindakan serupa dengan keyakinan bahwa mereka juga akan dimaafkan. Ini adalah pengkhianatan terhadap prinsip pencegahan (deterrence) dalam hukum pidana, yang seharusnya memberikan efek jera.
Konteks politik juga tidak bisa diabaikan. Banyak kebijakan yang memaafkan koruptor lahir bukan karena pertimbangan rasional, tetapi karena kompromi politik. Dalam beberapa kasus, pelaku korupsi adalah bagian dari lingkaran kekuasaan atau memiliki pengaruh politik yang besar. Dengan memaafkan mereka, rezim berusaha menjaga stabilitas politik atau mengamankan dukungan. Namun, stabilitas yang dibangun di atas dasar ketidakadilan adalah stabilitas semu yang sewaktu-waktu dapat runtuh.
Fenomena ini juga menunjukkan betapa lemahnya integritas lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia. Menurut laporan Global Corruption Barometer (GCB) Asia 2023, 51% responden di Indonesia percaya bahwa lembaga peradilan tidak independen dan sering dipengaruhi oleh kepentingan politik. Dalam kondisi seperti ini, kebijakan memaafkan koruptor hanya akan memperburuk citra lembaga hukum dan memperkuat persepsi bahwa hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Lantas, apa yang seharusnya dilakukan?
Pertama, harus ada penegasan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang membutuhkan penanganan luar biasa. Dalam konteks ini, kebijakan yang memaafkan koruptor harus dihapuskan secara total. Sebaliknya, penegakan hukum harus difokuskan pada upaya maksimal untuk memberikan efek jera. Hukuman yang berat, termasuk penyitaan aset secara menyeluruh dan larangan berpolitik seumur hidup, adalah langkah yang lebih rasional dan adil.
Kedua, pendidikan anti-korupsi harus diperkuat, tidak hanya di tingkat formal tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Korupsi adalah masalah budaya selain masalah struktural. Dengan membangun budaya anti-korupsi sejak dini, masyarakat dapat lebih kritis terhadap kebijakan yang memanjakan koruptor.
Ketiga, transparansi dan akuntabilitas lembaga penegak hukum harus ditingkatkan. Reformasi dalam tubuh kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan adalah langkah yang tidak bisa ditawar. Pengawasan independen harus diperkuat untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar berdasarkan hukum dan bukan atas dasar kompromi politik.
Keempat, peran masyarakat sipil harus lebih diakomodasi dalam proses pemberantasan korupsi. ICW, Transparency International, dan berbagai organisasi masyarakat sipil lainnya telah menunjukkan bahwa partisipasi publik adalah elemen penting dalam pemberantasan korupsi. Dengan memperkuat peran masyarakat sipil, pengawasan terhadap kebijakan pemerintah dapat dilakukan secara lebih efektif.
Kebijakan memaafkan koruptor, dalam segala bentuknya, adalah penghinaan terhadap rakyat yang telah mempercayakan mandat kepada negara untuk menegakkan keadilan. Ini adalah bentuk sesat pikir yang tidak hanya menghancurkan sistem hukum, tetapi juga merusak moralitas bangsa. Indonesia membutuhkan pemimpin dan pembuat kebijakan yang berani mengambil sikap tegas terhadap korupsi, bukan mereka yang terus-menerus mencari jalan pintas dengan memaafkan kejahatan yang merusak fondasi bangsa. Korupsi bukanlah sekadar pelanggaran hukum; itu adalah pengkhianatan terhadap rakyat, dan tidak ada ruang untuk pengkhianatan semacam itu dalam negara yang ingin maju dan bermartabat.
*) Dosen Ilmu Komunikasi, dan Kepala Pusat Kajian Gerakan Bersama Antikorupsi (PK Gebrak) UNP