Cerpen : Yanuar Emra *)
LAMA sudah aku tidak merasakan hembusan angin di Selat Sunda. Perubahan besar jelas terjadi di pelabuhan Merak ini. Termasuk kwalitas pelayanan jasa Pelni, yang kini berganti nama dengan Angkutan Sungai Danau dan Pulau (ASDP). Sudah baik dan patut diacungi jempol. Wajah beringas para preman pelabuhan dulu, kini berganti dengan senyum sumringah para petugas yang melayani masyarakat penyeberang.
Ingatanku melayang ke masa lebih tiga dekade lalu. Dulu itu, setiap usai ujian kenaikan kelas masa-masa SMP dan SMA, aku menikmati liburan ke Jakarta. Bedanya, dulu aku mesti naik bus Angkutan Kota Antar Provinsi (AKAP). Sekarang, tidak. Dan aku tidak pernah menyangka bakal menjadi warga Jakarta pula.
Aku akan menyeberangi selat Sunda dengan Pajero Sport menggunakan kapal ferry. Tujuanku menyeberang kali ini bukan untuk mudik ke Sumatera. Tapi membantu mengantarkan mobil milik teman, seorang perwira menengah (pamen) polisi di wilayah hukum Polda Bengkulu.
Ketika ditelpon oleh pamen itu, aku langsung setuju dengan permintaan-tolong mendadaknya. Padahal, aku sendiri sedang dalam masa transisi yang hebat di pekerjaan. Aku bertengkar habis-habisan dengan seorang pejabat dan berujung kekecewaan. Kewajiban sudah kutunaikan. Dia mengebiri hak yang harus aku milliki.
Di masa sulit itu pula terjadi perubahan sikap dari teman-teman, baik teman seperjuangan maupun teman seiring sejalan. Satu-persatu menjauh. Pertanyaanku dalam hati; apakah mereka juga para penjilat pantat pejabat dan cemas pula kehilangan pos liputan, jika tetap berteman dengaku? Entahlah. Aku tak peduli. Aku menganggap perjalanan ini sebagai penyegaran sekaligus tantangan, karena aku memang belum pernah ke Bengkulu, apalagi menyetir sendiri.
Kini aku di atas kapal dengan mobil mewah, bersurat lengkap, ada kwitansi pembelian mobil itu berikut BPKB-nya. Sang pamen adalah teman baik semasa di Kalimantan dulu. Dia baru lulus sekolah perwira lanjutan dan menyandang pangkat baru; Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP), dengan penugasan baru pula di Polda Bengkulu. Pamen itu mengaku lebih nyaman, jika aku yang mengantarkan mobilnya.
***
Dini hari, diatas kapal ferry itu, jam baru menunjukkan angka 3. Aku turun dari mobil dan menguncinya di parkiran. Karena mata belum mengantuk, aku mencari tempat duduk untuk melepas penat perjalanan dari Jakarta tadi, sekalian untuk menikmati indahnya selat Sunda menjelang Subuh.
“Mas, ke sini,” Aku memanggil anak buah kapal yang menjajakan aneka minuman ringan. Ada termos air panas ditangannya juga. “Kopi hitam ya” pintaku setelah dia mendekat.
“Mas, sampeyan dari kapal atau dari bawah?” tanyaku penasaran.
“Saya dari kapal, bang. Nggak ada lagi yang dari bawah. Tidak boleh,” tegas pemuda itu.
Sambil menunggu kapal bertolak, aku menikmati hangatnya kopi dan sebatang Dji Sam Soe. Langit Merak malam itu dihiasi oleh indahnya taburan bintang. Pandanganku beralih ke riak-riak air laut yang menghempas badan kapal.
Mereka berkumpul, menyatu dan menangkap kerdipan bintang. Cahaya bentukan gelombang itu terlihat semakin indah. Pandanganku bagaikan ditarik magnet yang sangat kuat oleh fenomena itu. Dan, cahaya itu berubah pelan, menyerupai wujud seorang wanita yang sangat cantik. Aku merinding, langsung berhenti memandangi penampakan itu dan segera membalikkan badan ke arah lambung kapal.
Dentuman klakson kapal memecah keheningan malam. Saatnya penyeberangan dari Merak menuju Bakauheni dimulai. Perlahan kapal meninggalkan dermaga, mengarungi Selat Sunda. Sesekali aku masih memandangi keindahan pelabuhan Merak dari kejauhan, tanpa berniat lagi memandang wujud misterius tadi. Udara di buritan kapal sangat bersahabat.
Walau angin terasa sedikit kencang akibat laju kapal, ia kuanggap sepoi penghalau gerah. Di sisi lain, masih ada tiga penumpang yang masih asyik terlibat dalam obrolan. Sementara penumpang lainnya, mulai dibuai oleh mimpi masing-masing.
Aku mengeluarkan senjata-senjata tersembunyi dari tas kecil yang selalu kubawa ke mana-mana. Di antaranya; mini handycam, kamera digital, alat tulis dan sebuah buku kecil. Aku berniat membukukan perjalanan ini dan penampakan tadi. Namun, baru beberapa paragraf tertulis, aku mulai mengantuk. Aku berusaha melawannya dan tetap duduk ditempat nyaman tersebut.
***
Seorang wanita berkerudung modis tiba-tiba muncul dari arah parkiran. Ia sempatkan menyentuh rusuk kanan Pajero itu dan memandanginya sejenak. Kemudian ia bergerak ke arahku.
“Sendirian, bang? Saya Lala,” tanyanya sambil menyodorkan tangannya untuk berkenalan.
“Iya, mbak. Saya Iyan,” jawabku.
“Abang kok bisa betahan di sini? Kan dingin?,” tanyanya lagi.
“Saya takut ketiduran, mbak. Mungkin sebentar lagi kita akan sampai di Bakauheni,” jawabku.
“Abang sendirian ke Bengkulu ya, saya boleh ikut?” desaknya. Aku kaget, dia tahu aku sendirian dan mengetahui pula arah perjalananku.
“Emang mba Lala tadinya juga sendiri dari Jakarta?” tanyaku balik.
“Bukan dari Jakarta, saya dari Serang. buru-buru berangkat ke Bengkulu, ada keluarga yang meninggal. Boleh ikut ya, bang?” pintanya. Aku setuju saja memberinya tumpangan.
Lalu terjadi obrolan panjang lebar di antara kami. Lala mengenalkan diri bahwa ia seorang dosen disebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Banten. Ia baru saja menyelesaikan tugas belajar dan meraih gelar doktor di sebuah PTN di Bogor. Dan, baru beberapa bulan aktif kembali mengajar. Kepulangan mendadak dengan menggunakan kapal laut, dilanjutkan dengan angkutan darat, terpaksa harus dilakukannya, supaya bisa menyaksikan prosesi pemakaman suami adiknya.
“Jika naik pesawat jelas tidak keburu. Flight ke Bengkulu hanya 2x sehari, siang dan malam. Ade ipar saya dimakamkan sebelum zuhur nanti ” jelas Lala lagi.
“Mengerti, saya janji secepatnya bisa mencapai Bengkulu, mumpung pake Pajero sehat itu,” canda saya menghibur dia. “Tapi, maaf ya…kenapa mbak pulang sendiri, suami mbak nggak dibawa?”
Lala terdiam sejenak, sepertinya dia tidak mau menjawab. Tapi akhirnya ia menjawab juga.
“Saya belum menikah, bang. Mungkin karena sekolah nambah terus. Kini saya sudah 34 tahun. Dua adik saya, cewek juga, sudah menikah semua,” jawabnya.
Lala mengurai lebih detail kisah cintanya. Sebenarnya dia punya pacar yang setia, setidaknya ia mengira begitu. Sebab, hubungan mereka sudah sangat dekat dan telah dijalani lebih dari sepuluh tahun. Pacarnya seorang wartawan berfinansial lemah dan khawatir dengan kondisi begitu, jika menikahi seorang doktor. Padahal, Lala ikhlas menerimanya. Sebab, Lala sadar pula, bahwa keberhasilan Lala, tidak terlepas dari peran pacarnya dalam masa 10 tahun lebih itu.
Diceritakannya lagi, mereka putus secara baik-baik pertengahan Juni tahun lalu. Sejak itu pula, Lala tidak mendengar kabar apapun dari pacarnya. “Tidak ada pertemuan lagi, tidak ada panggilan telepon, pesan WA, SMS dan media komunikasi lainnya,” pungkasnya.
Aku tidak bertanya-tanya lagi kepada Lala. Aku hanya heran dan mengangguk-angguk sendiri. Pacarnya juga seorang wartawan, punya kemiripan kondisi denganku. Tapi, aku justru orang yang dibuang oleh seseorang saat karirnya meningkat hebatnya. Tetapi ya, sudahlah. Tidak ada guna mengingat dan menghitung-hitung kembali, sesuatu yang tidak mungkin lagi bersatu.
“Huh…si abang melamun. Saya dicuekin,” kejut Lala membuyarkan lamunananku.
“Eh, sorry, mbak. Lanjut, masih ada ceritanya?” tanyaku lagi.
“The end, nggak ada cerita lagi. Kita sudah sampai di Bakauheni. Ayo kita ke mobil abang,” ajaknya
Seiring dentuman klaksonnya menyambut pagi Bumi Lampung, kapal itu segera merapat. Aku dan Lala sudah berada di dalam Pajero dan siap-siap menunggu antrian turun dari kapal.
“Abang, sebentar ya, aku mau ke toilet. Titip tas cantik ini ya, bang,” pinta Lala
“Oke, cepat dikit ya.”
Lima menit kemudian Lala masuk kembali ke mobil. Aku mencoba memberanikan diri memandanginya dalam-dalam, mumpung cahaya pagi sudah mulai terang. Aku pengen tahu seberapa cantik wanita 34 tahun ini. Wow, luar biasa! Memang seorang dosen yang menawan.
“Iiiih…jangan genit deh, bang! Jangan lama-lama gitu liatin saya. Ntar saya jatuh hati ke abang, kan repot,” ujar Lala bercanda.
***
Aku kembali terpana dan mencoba mengingat wajah mantan pacarku. Sepertinya Lala rada-rada mirip dengannya.
“Pak…, paak…, bapaaak…!” tiba-tiba seorang petugas kapal menggedor kaca mobil dari samping kanan. Aku segera membuka kacanya.
“Ya, ada apa mas?” tanyaku.
“Bapak dipanggil-panggil dari tadi, kok diam saja. Bapak jalan, giliran turun,” perintah petugas itu.
“Oke, siap-siap menuju Bengkulu ya, mbak Lala. Mbak…mbaak, mbaaaak…!” teriakku. Tidak ada orang dibangku penumpang sebelah kiriku.
Aku bingung. Kulihat ke bangku belakang, Dia juga tidak ada. Tasnya masih ada. Aku turun dari mobil dan menanyai petugas itu.
“Mas, lihat ibu keluar dari mobil saya barusan,”
“Bapak jangan ngawur. Mobil bapak tinggal satu-satunya di kapal ini. Dari tadi kami bangunin bapak, hingga kami terpaksa menggedor kaca mobil ini. Tidak ada orang yang keluar dari mobil ini. Bapak sendirian kok dari tadi malam. Kami mengamati semua pemilik mobil,” terang petugas itu.
“Oh, iya… maaf. Tapi…,” jawabku masih dalam kebingungan.
“Sudahlah !. Atau mobilnya mau dibawa ke Jakarta lagi ?!” hardik petugas ittu. “Hanya bapak yang tersisa yang harus kami pandu untuk turun.”
“Iya, baik. Terimakasih,” jawabku dengan kebingunngan atas menghilangnya Lala.
Aku nyalakan mobil dan langsung tancap gas, turun dari kapal itu. Sampai di dermaga, kucari parkiran yang sedikit nyaman. Aku menunggu Lala, karena tasnya masih bersamaku. Tak sabar menunggu di mobil, aku berusaha mencarinya di sekitar kapal. Namun, aku tak kunjungi melihat wajah Lala.
Aku kembali ke mobil, memberanikan diri membuka tas Lala, mungkin ada dompetnya berisikan kartu identitas seperti KTP, SIM atau apa saja. Haaah…?
Aku tambah kaget lagi, tas itu dipadati lembaran uang kertas pecahan 100 ribu. Wow…! Ada ikatan uang kertas pecahan 100 US$ juga. Nah, pada ikatan paling atas ada sebuah kartu nama; DR. Lala Mutiara Putri, SP, MSi. Dosen Univeristas Negeri Banten.
Kuambil kartu nama itu, lalu menutup rapat-rapat tas itu dan mengamankannya di bawah jok. Lantas, aku kembali menemui petugas kapal, dengan maksud men-cek penumpang yang bernama Lala itu. Hasilnya juga nihil, tidak ada penumpang atas nama tersebut.
“Bapak dapat di mana kartu nama itu?” tanya seorang petugas ASDP lainnya.
“Saya diberi langsung oleh yang bersangkutan di atas kapal,” jawabku sedikit berbohong.
“O, ya…Saya mau cerita. Pemilik nama itu memang pernah tercatat sebagai penumpang kapal ini, tapi sekitar 6 bulan yang lalu. Dia menghilang misterius dalam penyebrangan Merak dan Bakauheni ini. Kami menemukan sebuah tas, berisi dompet dan HP, lalu mengontak keluarganya di Banten. Jasadnya tidak ditemukan hingga sekarang,” kisah petugas paroh baya itu.
Dengan sedikit kecapean, aku melangkah gontai ke arah mobil. Antara sedih, penasaran dan ingin kembali bertemu Lala, aku masuk ke mobil. Saat mencek tas itu lagi, eh malah ada sebuah surat di atas buku kecilku, yang terletak di kursi samping kiri:
“Pergunakan sebaik-baiknya ya, abang-ku. Gunakan untuk memperbaiki kondisi finansial abang. Saya tahu, abang sangat menyukai dunia jurnalistik. Teruslah jadi pekerja sosial dan pekerja kemanusiaan di bidang itu. Tetapi, bangunlah bisnis sampingan dengan Rp 0,5 miliar dan US$ 50 ribu ini. Sudah saatnya pula abang tebarkan manfaat diri abang untuk saudara, keluarga dan orang lain. Demikian, abang. Terimakasih atas waktunya, kita telah bercerita dan bercanda singkat di atas kapal tadi. Saya tidak jadi ke Bengkulu, cukup sampai di sini saja. Dari Lala, si cantik Selat Sunda.”
Aku jajal Pajero itu sekencang-kencangnya menuju Bengkulu, menelusuri Kota Bandar Lampung, Kota Agung, terus melewati Bukit Kemuning, Liwa dan Krui. Kemudian, merayap cepat naik-turun di kawasan Bukit Barisan dan pantai barat Sumatera itu, menggapai Bintuhan dan Kota Manna.
Walaupun kencang, aku tetap hati-hati dan perhitungan, hingga akhirnya aku sampai di Kota Raflesia, Bengkulu sekitar pukul setengah dua belas malam. Aku selamat dan mobil itu juga tetap mengkilat tanpa cacat. Tas pemberian Lala-pun masih lengkap dengan isinya.
Sesuai permintaanku pada pamen polisi berpangkat AKBP, pemilik Pajero itu, aku akan kembali ke Jakarta dengan Garuda flight pertama. Kebetulan, ada penerbangan pagi dari bandara Fatmawati Soekarno, Bengkulu menuju Soekarno-Hatta, Jakarta. Tak kupikirkan soal istirahat. Aku akan istirahat di atas keempukan tas pemberian Lala di Jakarta nantinya.
*) Penulis adalah penyair dan jurnalis. Warga Jakarta Timur. Namun, sekarang berada di sebuah desa kecil di Sumatera Barat, menjadi ART; perawat, penjaga dan pelayan ayah & ibunya yang sudah sepuh.