Kolom  

Pajak di Zaman Rasulullah SAW

Oleh : Gusfahmi Arifin, SE., MA., MM*

PAJAK (ضريبة/dhariibah) yang berlaku hari ini memang belum sesuai dengan Syari’ah, karena masih dikenakan terhadap orang miskin, dikenakan berganda dan digunakan untuk hal-hal yang belum mendesak.

Namun bukan berarti Pajak itu haram! Pajak termasuk hukum mu’amalah, dimana hukum asal mu’amalah itu boleh selagi tidak ada dalil yang melarangnya, sebagaimana kaidah ushl fiqh yang menyebutkan,”Al Ashlu fii Mu’amalah Al-Hillu Au Al-Ibaahah hatta yadullu ad dalilu ‘ala at tahriimuha.”

Ada hal yang baik (maslahah) yang mendasari dibolehkannya pemungutan pajak yaitu adanya kewajiban ulil amri (pemerintah) untuk menyediakan kebutuhan pokok rakyatnya, yaitu keamanan, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, gaji pegawai, tentara, polisi, dokter, guru dan lain-lain, disaat ada atau tidaknya harta di kas negara (baitul mal).

Di zaman pemerintahan Rasulullah SAW (622-632 M), Pajak sudah ada dalam bentuk Kharaj (خراج) yaitu Pajak hasil bumi milik negara atau milik khalifah yang dikelola oleh rakyat, yang dipungut sebagai sumber pendapatan negara selain pendapatan utama dari Ghanimah atau Harta Rampasan Perang (QS Al Anfal [8]: 1, 41,69), Fa’i atau Harta yang diperoleh tanpa peperangan (QS. Al Hasyr [59]: 6-7), Jizyah atau pajak kepala atas kafir dzimmi Nashrani, Yahudi dan Musyrik (QS. At Taubah [9]: 29), Zakat atau Shadaqah(QS. At Taubah [9]: 103) dan ‘Usyur atau zakat pertanian (QS. Al Baqarah [2]: 141, 267). Hal ini dilanjutkan di zaman pemerintahan Khalifah Abu Bakar RA (632 634 M), Umar Bin Khattab RA (634 – 644 M), Utsman bin Affan (644 – 656 M), dan Ali bin Ali Thalib RA (656 – 662 M), pemerintahan Dinasti Umayyah (662 – 750 M), Dinasti Abbasiyah (750 – 1258 M) dan Khalifah sesudahnya.

Kharaj (pajak atas hasil bumi milik negara) dikenakan di zaman Nabi Muhammad SAW terhadap kaum kafir Yahudi Khaibar yang meminta damai kepada Rasulullah SAW dan memohon agar tanah mereka tidak diambil sebagai harta rampasan perang (Ghanimah) namun memohon agar diberi izin untuk tetap mengolahnya.

Atas permohonan ini, Rasulullah SAW tidak membagikannya sebagai sebagai Ghanimah, melainkan menjadikannya sebagai tanah Waqaf untuk kaum muslimin secara umum dan atas hasilnya dipungut Kharaj (pajak). Hal ini juga pernah dilakukan oleh Khalifah Umar ra. terhadap tanah As-Sawad di wilayah Iraq. Atas tanah yang tidak dibagikan itu, Umar menarik Jizyah (Pajak kepala) dan Kharaj (Pajak hasil bumi) atas mereka.

Rasulullah SAW pernah tidak membagikan tanah Ghanimah kepada kaum Muslimin, tapi menjadikannya sebagai tanah Kharajiyah (tanah yang dipungut hasil bumi), beliau memungut kharaj (pajak) dari tanah khaibar dengan tarif setengah dari hasilnya (50%). Sebagaimana hadits dari Ibnu Umar RA yang bercerita:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَجْلَى الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى مِنْ أَرْضِ الْحِجَازِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا ظَهَرَ عَلَى خَيْبَرَ أَرَادَ إِخْرَاجَ الْيَهُودِ مِنْهَا وَكَانَتْ الْأَرْضُ حِينَ ظَهَرَ عَلَيْهَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِلْمُسْلِمِينَ وَأَرَادَ إِخْرَاجَ الْيَهُودِ مِنْهَا فَسَأَلَتْ الْيَهُودُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُقِرَّهُمْ بِهَا أَنْ يَكْفُوا عَمَلَهَا وَلَهُمْ نِصْفُ الثَّمَرِ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُقِرُّكُمْ بِهَا عَلَى ذَلِكَ مَا شِئْنَا فَقَرُّوا بِهَا حَتَّى أَجْلَاهُمْ عُمَرُ إِلَى تَيْمَاءَ وَأَرِيحَاءَ

Dari Ibnu ‘Umar bahwa ‘Umar bin Al Khaththab RA mengusir Yahudi dan Nashrani dari tanah Hijaz. Dan Rasulullah SAW ketika menaklukan Khaibar berkehendak untuk mengusir Kaum Yahudi dari wilayah tersebut. Dan ketika Beliau menguasainya tanah Khaibar Beliau manfaatkan untuk Allah, RasulNya dan Kaum Muslimin dan Beliau berkehendak mengusir Kaum Yahudi darinya, namun Kaum Yahudi meminta kepada Rasulullah SAW agar Beliau mengizinkan mereka tetap tinggal disana untuk memanfaatkannya dan mereka mendapat hak bagian separuh dari hasil buah-buahannya (Kharaj/pajak), maka Rasulullah SAW bersabda: “Kami tetapkan kalian tinggal dan memberdayakannya sesuai kehendak kami”. Maka mereka menetap disana hingga akhirnya ‘Umar RA mengusir mereka ke daerah Taima’ dan Ariha’. (HR. Bukhari no. 2170).

Untuk memungut Jizyah dan Kharaj, Rasulullah SAW mengangkat beberapa orang petugas, antara lain Muadz bin Jabal RA, Khalid bin Walid RA dan Al A’la Ibnul Hadlrami RA.

عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ الْحَضْرَمِيِّ قَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْبَحْرَيْنِ أَوْ إِلَى هَجَرَ فَكُنْتُ آتِي الْحَائِطَ يَكُونُ بَيْنَ الْإِخْوَةِ يُسْلِمُ أَحَدُهُمْ فَآخُذُ مِنْ الْمُسْلِمِ الْعُشْرَ وَمِنْ الْمُشْرِكِ الْخَرَاجَ

Dari Al ‘Ala Ibnul Hadlrami ia berkata, “Rasulullah SAW mengutusku ke Bahrain, atau ke Hajar. Lalu aku mendatangi kebun milik beberapa orang yang bersaudara yang salah seorang dari mereka masuk Islam. Maka aku mengambil ‘Usyur (Zakat – sepersepuluh) dari orang yang telah masuk Islam dan mengambil Kharaj (pajak) dari mereka yang masih musyrik.” (HR. Ibnu Majah no. 1821).

Dalam perkembangan zaman dan makin meluasnya kekuasaan kekhalifahan Islam, sumber pendapatan yang ada di zaman Rasulullah SAW dan para shahabat makin berkurang, Ghanimah, Fa’i, Jizyah, Kharaj sudah tidak ada lagi atau tidak bisa dipungut. Hanya Zakat dan ‘Usyur (zakat Pertanian) yang bisa dipungut.

Namun penggunaan Zakat telah ditetapkan oleh Allah SWT hanya untuk asnaf yang delapan (QS. At Taubah [9]:60) yaitu fakir, miskin, ‘amil, mu’allaf, gharim, fisabilillah dan ibnu sabil. Zakat tidak bisa digunakan untuk menggaji tentara/polisi, dokter, guru, presiden, gubernur, walikota/bupati, camat, lurah, RW, RT dan pegawai negara lainnya.

Di satu sisi, untuk menjaga keamanan, menjaga kesehatan, pendidikan diperlukan adanya ulil amri (pemimpin/kepala negara) sebagaimana perintah Alah SWT dalam QS. An Nisa’ [4]: 59. Kalau tidak ada, akan terjadi kekacauan, kerusuhan, dan sebagainya,

Mengadakan kebutuhan rakyat itu hukumnya wajib. Jika tidak ada, maka pemimpin harus mengadakannya walau harus dengan memungut pajak. Maka memungut pajak itu hukumnya menjadi wajib, sebagaimana kaidah ushul fiqh yang mengatakan,” “Ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib” (perkara yang menjadi penyempurna dari perkara wajib, hukumnya juga wajib), seperti berwudlu’ tidak wajib, tetapi disaat akan melaksanakan shalat maka berwudlu’ hukumnya menjadi wajib, belajar manasik Haji dan Umrah hukumnya menjadi wajib disaat akan menunaikan ibadah haji dan umrah.

Ulama yang berijtihad dan membolehkan pajak banyak sekali, antara lain Abu Yusuf dalam kitab Al Kharaj, Abu Ubaid dalam kitab Al Amwal, Al Mawardi dalam kitab Al Ahkam As Sulthaniyah, Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’atul Fatawa, Yusuf Qardhawi dalam kitab Fiqhuz Zakah dan lain-lain.

Namun dalam pelaksanaan pemungutan pajak, ulama memberikan syarat, antara lain: [1] tidak boleh dikenakan terhadap orang miskin; [2] tidak boleh dikenakan dua kali (berganda); [3] tidak boleh digunakan untuk perkara yang mubazir (foya-foya); [4] jika sudah cukup maka pemungutan pajak harus dihentikan. Memperhatikan syarat-syarat diatas, kebolehan pemungutan pajak memang harus dipertahankan karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan pemerintah, namun dalam hal teknis pemungutannya masih ada hal-hal yang perlu diperbaiki agar tidak melanggar syari’at.

Pajak-pajak yang masih dikenakan terhadap orang miskin seperti PPN 12% yang dikenakan kepada orang kaya dan miskin harus diubah regulasinya. Pajak Penghasilan (PPh) berganda dengan Zakat, dimana Zakat belum dijadikan pengurang PPh terutang, harus diubah regulasinya. Penggunaan uang pajak untuk hal-hal yang tidak mendesak, harus dihentikan.

Membayar pajak sesungguhnya adalah ibadah, karena diperintahkan oleh Allah SWT dalam rangka tolong menolong dalam kebaikan (QS. Al Maidah [5]: 2). Setiap rupiah yang disedekahkan akan dibalas oleh Allah SWT sebagai kebaikan (QS. Al Zalzalah [99]: 7). Mari kita jadikan membayar pajak sebagai ibadah, sebagai bentuk shadaqah karena Rasulullah SAW bersabda,”Inna fil maal lahaqqan siwa Az-Zakah” إِنَّ فِي الْمَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ , artinya,”Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak (untuk dikeluarkan) selain Zakat.”  (HR. Tirmidzi no. 595).

*) Penyuluh Pajak Ahli Madya, Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sumatera Barat dan Jambi, Kementerian Keuangan RI

Exit mobile version