Pinjaman Waktu

Cerpen : Lailatul Khudrotil Hasanah *)

“Bapak kesel nak, Untuk apa sholat, toh akhire awak e oleh cobaan sedemikian berat.” ucap bapak disela telepon yang masih menyala.

“Tidak usah bicara seperti itu pak. Tak takutkah bapak kepada Yang Diatas?” aku menimpali ucapan bapak.

Bapak diam. Setelahnya, aku pun diam. Kami berperang dengan pikiran kami masing masing.  Dengung suara telepon ditutup pun mengakhiri bincangku dengan bapak sore itu. Aku Rima, santri disebuah pondok pesantren sederhana, jauh dari desa tempat tinggalku. Selepas sekolah dasar, mamakku memasukkan aku ke pondok pesantren karena sungguh mirisnya pergaulan remaja dikampungku. Hamil diluar nikah sudah menjadi tren remaja wanita seusiaku.

Di sini aku belajar banyak hal, termasuk tentang ikhlas dan sabar. Namun, menghadapi situasi seperti ini, aku merasa belum cukup kuat.  Sekar, sahabat baikku, tiba-tiba menghampiriku. Tanpa berkata-kata, ia duduk di sampingku dan menggenggam tanganku.  

“Kamu mau cerita Rim? Kenapa sedih seperti ini?” tanya Sekar dengan lembut.  

Aku menceritakan semuanya. Keresahan bapakku, juga keresahanku. Hari – hari pada minggu ini, hal beruntun terjadi di rumahku. Gempa yang merobohkan rumahku, kakek yang meninggal, mbakyu dan bapakku yang sakit tak kunjung sembuh sudah sebulan lamanya. Bulir mataku kembali tumpah di tengah ceritaku.

“Bapak bilang lelah, Kar. Dia sampai merasa sholat itu nggak ada gunanya. Aku bingung, aku takut…”  ceritaku pada Sekar. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkanku.

 “Rima, cobaan itu tanda jika Gusti Allah sayang. Aku mengerti perasaanmu, tapi iki waktunya untuk lebih sabar dan ikhlas.” hibur Sekar.

“Tapi bagaimana caranya aku bantu keluarga, Kar? Aku jauh. Apa yang bisa aku lakukan?,” balasku dengan suara parau.  Sekar tersenyum tipis.

“Kamu punya Gusti Allah, Rima. Aku mengerti kamu kuat. Coba sujud, cerita semuanya kepada Gusti Allah. Kamu pasti bisa menemukan jawabannya.” hibur Sekar lagi.

Malam itu, aku menuruti saran Sekar. Aku mengambil wudhu, mengenakan mukena putih, sholat 2 rokaat dan bersujud lama di atas sajadah. Air mata membasahi sajadahku. Aku memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan untuk menghadapi cobaan ini.  

“Ya Allah, Engkau yang Maha Kuasa. Hamba-Mu ini lemah, Ya Allah. Kuatkan aku, kuatkan bapakku. Tunjukkan aku cara untuk membantu keluargaku. Aku ikhlas menerima cobaan ini, tapi jangan biarkan kami jauh dari-Mu, Ya Allah,”  pintaku kepadaNya. Aku merasa sedikit lega setelah berdoa. Aku yakin bahwa setiap cobaan pasti memiliki hikmah.  

***

Hari libur pesantren tiba. Aku meminta izin untuk pulang lebih awal karena ingin melihat kondisi keluargaku. Perjalanan pulang terasa panjang, meskipun jaraknya tidak terlalu jauh. Sesampai di rumah, pandanganku tertuju pada puing-puing bekas rumah yang roboh akibat gempa. Keluargaku kini tinggal di tenda yang mereka dirikan disekitar halaman rumah. Mamak menyambutku dengan pelukan hangat.

“Rima, nak. Alhamdulillah, kowe iso bali. Mamak kangen,”  ujar mamakku dengan raut kelelahan, namun senyuman indah tetap tersemat diwajahnya. Sementara, bapakku duduk di pojok tenda, pandangannya kosong. Wajahnya yang biasanya penuh semangat kini terlihat kusut. Aku mendekat dan duduk di sampingnya.  

“Bapak, Rima sudah pulang,” ucapku lembut.  Bapak hanya mengangguk pelan. Aku tahu, bapak masih memikirkan banyak hal.

Malam itu, aku menemani bapak menyeruput kopinya. “Pak, Rima tau bapak lelah. Tapi aku pengen bapak terus kuat. Sholat itu bukan hanya soal meminta, tapi juga tanda syukur.”

Bapak menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Nak, bapak sudah usaha. Tapi cobaan iki terlalu berat.”  

Aku menggenggam tangan bapak. “Pak, aku percaya Allah nggak bakal ngasih cobaan di luar kemampuan kita. Mungkin iki cara Gusti Allah mengajak kita lebih dekat kepada-Nya.”  

Bapak menghela napas panjang. “kamu bisa ngomong kayak gitu nak, karena kamu nggak mengalami langsung semua ini.”  

“Pak, aku memang nggak mengalami langsung, tapi aku merasakan semua lewat bapak. Aku yakin, Allah bakal bantu asalkan kita tetap percaya dan sabar” jawabku lagi. Bapak  terdiam, mungkin merenungkan kata kata sederhanaku.

Hari-hari berikutnya, aku membantu keluargaku sebisa mungkin. Aku mengurus kebutuhan rumah tangga, menemani mbakyu yang sakit, dan mencoba mencari cara untuk mendapatkan bantuan. Aku meminta bantuan kepada tetangga maupun sanak saudara yang rumahnya jauh dariku. Syukurnya mereka bersedia membantu keluargaku.

Sebelumnya, mereka tidak membantu karena tidak tahu bahawa saudaranya ini sedang terkena musibah. Melihat usahaku, bapak mulai berubah. Ia kembali rajin sholat dan membaca Al-Qur’an. Wajahnya yang semula murung kini mulai memancarkan harapan.  

“Rima, bapak bangga sama kamu nak. Kamu yang menyadarkan bapak, kalau hidup ini hanya pinjaman waktu. Bapak harus tetap berusaha dan berdo’a dengan harapan kelak bisa melihat anak anak bapak ini sukses.”  Aku dipeluk erat oleh bapak. Hatiku lega.

Beberapa bulan kemudian, kondisi keluargaku membaik. Mbakyu mulai sembuh, rumahku hampir selesai diperbaiki, dan bapak kembali sehat meski masih harus rutin berobat. Ia juga terlihat telah mengikhlaskan kepergian kakek.

Aku kembali ke pesantren dengan hati yang lebih tenang. Aku akan belajar lebih giat, berharap bisa menjadi anak yang membanggakan orang tua. Bagiku, hidup adalah perjalanan singkat yang harus dijalani dengan penuh rasa syukur dan kesabaran.  

Ketika bertemu dengan Sekar, aku menceritakan semuanya. “Kar, aku tahu sekarang, hidup ini memang hanya soal pinjaman waktu. Semua yang aku alami ini mungkin cara Gusti Allah mendekatkan aku agar kembali pada-Nya.”

Sekar tersenyum lebar. “Alhamdulillah, Rima. Aku bangga sama kamu.”  

Dalam hatiku, aku berdoa agar keluarganya selalu diberi kekuatan. Aku sadar, setiap cobaan adalah cara Allah menaikkan derajat hamba-Nya yang sabar dan ikhlas (Tamat)

Kosa kata ; Kesel = capek/lelah, Awak e oleh = kita mendapat, Mbakyu = kakak perempuan, Kowe iso bali =  kamu bisa pulang

*) Lailatul Khudrotil Hasanah; Lahir di Malang pada Januari 2002. Pengagum & penggemar sastra, terutama cerpen dan novel. Menginjak masa SMA, kegemarannya bertambah menjadi penulis. Menurutnya, dengan membaca dan menulis akan memberikan banyak pelajaran yang bisa dipetik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *