SERIMPI MIMPI

Cerpen: Aura Khairunnisa Tandan Wangi*

TANGANNYA gemulai mengikuti alunan musik yang senyap. Kakinya melangkah perlahan memastikan hitungannya tidak ada yang terlewat. Matanya fokus pada pantulan dirinya di cermin kaca. Anggun bibirnyaia perlihatkan kepada semesta.

Setelah menyelesaikan geladi kotor satu putaran Serimpi tunggal, tepukan meriah dari salah satu orang langsung saja menggema di ruang penuh cermin. Mba Dewi, pelatih tari Jani yang sudah tiga tahun ini membersamainya. Wajah keibuan dan lembut perangainya, membuat Jani betah di Sanggar Tulip.

Jani mengikuti kelas tari di Sanggar Tulip sejak SMP. Awal mula dirinya tertarik dengan tarian ketika datang ke Keraton Yogyakarta yang kebetulan sedang menampilkan Serimpi. Jani hanya melihat. Lembutnya alunan gamelan tidak dia ketahui sama sekali. Akan tetapi, setiap gerakan-gerakan yang dilakukan oleh para anggun di depannya membuat Jani dihampiri ketenangan.

Pasalnya Serimpi memang begitu adanya. Pelan dan menenangkan. Selendang dilebarkan dengan perlahan. Kaki melangkah sejarak-sejarak dengan pelan. Binar mata menatap ke depan. Siapa orang yang tidak akan merasakan kedamaian? Sama seperti makna tariannya yang menggambarkan wanita Jawa akan kelembutan.

Setelah menunggu Jani minum dan menyeka keringatnya, Mba Dewi menyampaikan bahwa hari ini Jani sudah lebih baik dari yang kemarin. Kecocokan antara gerakannya dan suara musik sudah meningkat lagi. Jani senang mengetahuinya. Matanya tidak bisa berbohong ketika akhirnya dia mendapat lagi kalimat singkat “lebih baik dari yang kemarin” setelah satu minggu latihan.

Jani membalasnya dengan dua jempol yang ia layangkan ke udara bersama dengan senyumnya yang merekah.

Seminggu lagi Jani akan mengikuti lomba tari penyandang disabilitas di kotanya. Mewakili Sanggar Tulip untuk menjadi kontestan tari tunggal tradisional. Makanya sudah hampir 2 bulan setiap pulang sekolah Jani lantas pergi ke sanggar untuk bertemu Mba Dewi.

Di sinilah anak-anak hingga para dewasa mengembangkan bakatnya mulai dari tari hingga kriya. Bertemu teman-teman yang juga memiliki kesamaan dalam hal yang disukainya. Sanggar Tulip bukanlah sanggar seni biasa. Sanggar yang berada di ujung sawah itu menerima dengan baik para penyandang disabilitas.

Awal mula dibangunnya sanggar ini memang karena ingin membantu mereka para disabilitas yang memiliki keinginan untuk mengembangkan bakat. Dan di sinilah Sanggar Tulip, berdiri kokoh selama hampir 20 tahun dan memiliki orang-orang hebat di dalamnya. Dari yang dulunya masih anak-anak hingga sekarang sudah dewasa, mereka masih senantiasa untuk mengunjungi tempat asri ini.

Sanggar Tulip tidak hanya menerima disabilitas. Anak-anak yang tidak berkebutuhan khusus juga banyak yang disekolahkan di sini. Kerennya adalah mereka mendapat kelas tambahan, yaitu kelas belajar bahasa isyarat. Pasalnya sebagian besar disabilitas di sini adalah mereka yang Tuli. Sehingga untuk memperlancar komunikasi, mereka mengajarkan sekalian bahasa isyarat. Toh, ilmu itu nantinya juga akan berguna ketika di luar sanggar. Makanya sanggar ini menjadi tempat mereka saling menghargai dan mengerti satu sama lain.

Mba Dewi adalah salah satu pelatih tari untuk disabilitas dan Jani adalah salah satu muridnya. Baginya mengajarkan tari kepada anak-anak Tuli tidak sulit seperti yang dibayangkan. Karena mereka justru sangat memperlihatkan keinginannya untuk bisa. Membuat Mba Dewi lebih bersemangat ketika mengajar.

Mereka memang tidak bisa mendengar alunan tarian. Awalnya susah untuk mencocokkan antara suara dengan gerakan. Akan tetapi, dengan tingkat kefokusan dan daya ingat yang mereka miliki, menari tanpa mendengar iringan musik adalah hal yang bisa diatasi.

Mba Dewi dan pelatih tari lainnya sangat telaten mengajarkan tari kepada anak-anak. Memberikan contoh gerakan dengan sabar. Pelan-pelan tapi pasti agar anak-anak merekam apa yang dilihatnya. Menghafalkan ketukan setiap gerakan agar dapat menirunya dengan tepat.

Tentu tidak hanya pelatih tari saja yang telaten dan sabar, semua pelatih di sanggar ini sama hatinya.

Setelah selesai berbincang sebentar dengan Mba Dewi, Jani lantas berpamitan karena sudah menjelang petang. Diselipkannya earphone pada telinga kirinya untuk menghindari obrolan basa basi di jalan atau angkot. Toh, mereka tidak bisa berbahasa sepeti Jani.

“Magrib baru pulang, alasan apalagi kali ini?” Baru juga meletakkan sepatunya di rak, omelan dari ibunya sudah menyapa.

Jani tidak mengerti apa yang dikatakan ibunya dan memilih bergegas ke kamar. Sesampainya di ruangan bernuansa krem itu, segera dia rebahkan tubuh ke kasur. Meski Jani berniat untuk istirahat, tetapi tangannya tidak berhenti melenggak-lenggok layaknya sedang menari.

Jika ditanya kegiatan apa yang paling disukai, Jani akan menjawab menari. Jika ditanya pekerjaan apa yang paling ingin dilakukan kelak, Jani akan menjawab penari. Jika ditanya hal apa yang membuatnya bahagia di muka bumi ini, Jani akan menjawab tari. Semuanya memang tentang tari. Hanya di tari itu Jani merasakan ketenangan berkat gerakan-gerakan gemulai yang berbanding terbalik dengan kehidupannya.

Pasalnya ibu Jani tidak setuju anaknya mengikuti kegiatan yang dipikirkannya masih tidak mungkin bagi anak disabilitas. Padahal Jani sudah beberapa kali pula mewakili sekolah dan sanggar untuk lomba. Bahkan tidak hanya sekali dua kali menjuarai tari tunggal. Akan tetapi, hal itu juga tidak segera membuat hati ibu Jani terbuka.

Sangat disayangkan bahwa orang yang paling mendukung apa saja yang dilakukan oleh Jani kini sudah tidak ada. Sosok ayah yang dulu selalu menjemputnya ketika selesai sanggar sudah bahagia di surga. Kehidupan Jani hanya bersisa dengan ibunya serta kakaknya yang merantau karena sudah berkeluarga. Untung saja Jani masih mendapatkan kasih sayang dari kakaknya yang selalu berkunjung sebulan sekali. Paling tidak masih ada harapan untuk membanggakan seseorang ketika mengikuti perlombaan tari, selain orang-orang di sanggar.

Rumah ini sepi. Sangat sepi. Meski memang Jani tidak mendengar kebisingan, tetapi dia bisa melihatnya. Televisi malam tidak lagi pernah menyala. Lampu rumah sudah dimatikan ketika belum menunjukkan pukul sembilan. Kucing-kucing peliharaan ayahnya sudah tidak pernah lagi menyapa kepulangannya. Hanya ada omelan ibunya yang dari dulu Jani anggap angin lalu. Untung saja hari ini tidak ada sesi rambutnya kena tarik.

Ayah Jani selalu mengingatkan anak perempuannya yang paling cantik itu untuk lakukan apa saja yang dimau. Abaikan orang-orang di sekitar yang mungkin akan menghambat kesenangan. Dan salah satu dari penghambat kesenangan Jani adalah ibunya sendiri. Jani beberapa kali pernah dikurung di kamar agar tidak pergi ke sanggar. Padahal kalau di rumah, Jani juga tidak melakukan apa-apa. Ibunya tidak membutuhkan bantuan Jani selain mengurusi pakaian kotornya sendiri. Entah apa sebenarnya yang membuat ibunya itu tidak suka Jani menari.

Seminggu setelahnya, saat Jani pulang dari sanggar, ibunya yang sedikit tidak waras itu sudah menunggu sambil menenteng sapu. Belum sampai dia selesai melepas sepatu, sapu di tangan ibunya sudah melesat di punggung Jani.

Tidak bisa melawan, Jani memilih diam dari pada menggumamkan hal yang tidak jelas kepada ibunya.

Emosi ibu Jani tidak bisa ditebak. Kadang bodo amat, kadang juga tidak bisa tertahan. Entahlah, sepertinya Jani memang harus selalu waspada. Takut-takut ibunya kumat.

“Kenapa kau tidak nurut sama orang tua, hah?”

“Apa yang kau dapat dari nari-nari tidak jelas itu?”

“Kamu itu tidak pantas menari. Apa yang kau lakukan jika mendengar saja tidak bisa?”

Bertubi-tubi dan Jani lagi-lagi sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh ibunya. Tapi Jani yakin kalau dia pasti marah-marah karena Jani ikut lomba menari lagi. Jani menahan sesak, dirinya ingin sosok ayah berada didekatnya untuk membela.

Ibunya yang mulai tidak waras atau sepertinya sudah, tidak pernah mau belajar berkomunikasi dengan anaknya. Sama sekali tidak mau. Hanya ayahnya yang mengajarkan Jani berkomunikasi. Keberadaan Jani yang hanya tinggal bersama ibunya saat ini, seperti sendirian di hutan belantara yang luas. Tidak ada orang sama sekali. Hanya ada hewan-hewan buas yang bisa menerkamnya kapan saja.

Jani terbangun dari tidurnya setelah semalam ia oleskan saleb pada memar di tubuhnya. Jani segera mandi dan bergegas ke sanggar untuk persiapan lomba. Aneh, saat mandi memar ditubuhnya hilang, bahkan bekasnya pun tidak ada. Saleb yang biasanya ia pakai biasanya tidak akan semanjur itu. Biasanya hanya akan meredakan nyeri semalaman dan setelahnya nyeri itu dirasakannya lagi.

Setelah mandi dan ingin mengambil sarapan, Jani heran bukan main ibunya sudah duduk di meja makan. Seharusnya jam segini ibunya tidak berada di rumah. Dia hanya akan meninggalkan sarapan seadanya atau malah sama sekali tidak. Ini antara Jani akan dimarahi atau dipukul lagi.

Tapi tidak, kali ini ibunya tersenyum dan menggerakkan tangannya menyampaikan “Sarapanlah, Ibu sudah masak enak hari ini.”

Wajah Jani pasti terlihat sangat heran. Tidak pernah dia mendapatkan sapaan hangat dari ibunya, bahkan ibunya menggunakan bahasa isyarat satu dua kata pun selama ini tidak pernah.

Dengan kikuk Jani berterima kasih kemudian duduk menyantap piring yang sudah terisi.

Selesai makan, ibunya mengetok meja di depan Jani, meminta Jani untuk memerhatikannya. Tumben sekali dan suatu hal yang sebenarnya tidak mungkin terjadi. Mereka berdua berbincang memakai bahasa isyarat. Dari mana ibunya belajar? Bukankah selama ini dia selalu menolak ketika ayahnya hendak mengajari?

“Nanti Ibu nyusul kamu ke Balai Kota sama kakakmu. Kamu perginya sama Mba Dewi dulu, ya.”Ungkapan ibunya membuat Jani heran. Dia tidak begitu terkejut, hanya saja heran… Aneh, setelah semalam memukulinya, hari ini entah kesambet apa tiba-tiba menjadi baik. Dan bagaimana bisa ibunya mengenal Mba Dewi? Bukannya dia tidak peduli dengan sanggar sama sekali?

Jani lantas mengangguk kemudian masuk ke kamarnya untuk mengambil beberapa barang yang mungkin diperlukan.

Akhirnya setelah latihan Serimpi selama dua bulan, ini saatnya Jani menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya bisa dan berbakat. Jani segera bergegas ke sanggar naik angkot seperti biasanya kemudian lanjut berjalan sekitar 300 meter untuk sampai ke ujung setapak jalan.

Lagi-lagi hari ini aneh, sesampainya di sanggar ia menemui beberapa orang yang tak dikenalinya. Wajahnya tidak asing, tapi seperti belum pernah bertemu maupun berkenalan. Ah, pikir Jani itu hanyalah orang-orang dari sanggar sebelah yang ingin melakukan persiapan bersama-sama.

Yang mengikuti lomba dari sanggar hari ini tidak hanya Jani, jadinya dia harus mengantre untuk wajahnya dirias. Beberapa teman yang tidak ikut lomba pun datang untuk mengantar dan memberi dukungan.

Salah satu teman Jani menghampiri ketika dirinya sedang sibuk melamun. Temannya itu menanyakan keberadaan Mba Dewi. Jani baru sadar kalau sedari tadi dia juga belum melihatnya. Tidak biasanya Mba Dewi telat, bahkan ketika hari-hari biasa dia selalu datang sepuluh menit sebelum kelas dimulai. Padahal sore kemarin Mba Dewi yang paling menunjukkan ketidaksabarannya menyaksikan Jani berada di panggung. Mengapa sudah telat 30 menit dirinya belum terlihat juga?

Dua jam, tiga jam hingga sampainya mereka hendak berangkat ke Balai Kota, Mba Dewi belum kunjung datang juga. Jani sudah bertanya ke pelatih lain dan jawabannya tidak jelas, Jani tidak mengerti. Bahasa yang mereka gunakan terlihat aneh.

Mungkin Mba Dewi sudah di tempat lomba dan lupa mengabari, pikir Jani.

Giliran Jani naik ke panggung, matanya masih sibuk mencari keberadaan pelatihnya. Mukanya yang lesu ia usahakan untuk terlihat biasa saja. Harusnya Mba Dewi berada di sana untuk mengarahkannya di depan panggung. Kali ini tidak, posisi itu diganti oleh pelatih lainnya. Mba Dewi benar-benar tidak datang.

Selama membawakan Serimpi pun mata Jani kurang fokus karena melihat ke arah penonton. Mengabsen satu-satu untuk mencari keberadaan Mba Dewi. Namun, yang ia temui justru ibu dan kakaknya. Jani hampir lupa bahwa ibu dan kakaknya akan datang hari ini. Seketika air muka Jani berubah. Meski sepagi tadi  dia dirundung keheranan, tapi kehadiran ibunya di depan panggung membuat Jani menjadi lebih semangat. Terlebih lagi kakak laki-lakinya yang datang membawa buket bunga kesukaan Jani.

Meski ibu dan kakaknya datang untuk mendukung, Serimpi yang dibawakan Jani masih terasa tidak maksimal baginya. Kehadiran Mba Dewi bukan hanya sekadar pelatih dan pengarah, tetapi juga jiwa yang ia bangun dalam tarian itu. Berkat Mba Dewi Jani bisa mendalami perannya sebagai penari yang lembut dan anggun. Padahal pula, dia salah satu orang yang ingin dibanggakan oleh Jani berkat tampilannya di panggung.

Ya sudahlah apa boleh buat. Barangkali dia ada urusan mendadak yang sama sekali tidak bisa ditinggal.

Turun dari panggung, lantas ibu dan kakak Jani segera menghampirinya di belakang. Jani kemudian memeluk ibunya erat. Jani mengatakan bahwa hari ini dirinya senang sekali karena sudah ditemani. Begitu pula pada kakaknya, Jani segera memeluknya. Bunga tulip yang sedari tadi dibawa kakaknya segera Jani terima kemudian dipeluknyajuga.

“Kakak lama sekali nggak lihat kamu di atas panggung. Ternyata kamu sudah makin hebat,” ungkapan kakaknya membuat Jani tersipu malu.

“Terima kasih karena sudah datang bersama Ibu, Kak.”

Karena harus segera pergi, ibu Jani tidak bisa menemani anaknya hingga pemenang lomba diumumkan. Jani akan ditemani oleh kakaknya. Jani mengangguk paham kemudian memeluk ibunya sekali lagi. Begitu erat hingga pelukan hangat itu lantas menyadarkan Jani yang sedari tadi masih pulas di kamarnya yang terasa lembab.

Jam menunjukkan pukul 8 yang artinya dia hampir terlambat pergi ke sanggar. Ia lantas bersiap dan segera mandi. Dirinya masih merasakan nyeri di punggungnya. Salep yang ia oleskan semalam seperti biasa tidak manjur. Hanya redakan nyeri sebentar dan keesokan paginya akan terasa lagi.

Jani melewatkan sarapan karena tidak ada yang bisa dimakan ketika ia melewati meja makan. Maka ia segera pergi ke sanggar naik angkot seperti biasanya.

Ketika di angkot, Jani baru sempat membuka ponselnya. Jani kaget karena tumben sekali ponselnya banyak notifikasi. Banyak pesan masuk dari grup sanggarnya. Dada Jani sesak seketika. Pesan-pesan panik yang dikirimkan membuat Jani lemas.

Setelah turun dari angkot, Jani harus berjalan masuk gang sekitar 300 meter untuk sampai ke sanggar. Dari kejauhan saja sudah kelihatan ramai di sekitar sanggar Orang-orang berbondong-bondong untuk mengetahui apa yang terjadi dengan bangunan di ujung jalan itu. Mata Jani memandang, terlihat tiga pemadam kebakaran di depan sanggar. Ya, pemadam kebakaran.

Jani lantas berlari dengan perasaan campur aduk. Mata beningnya kini melihat rumah satu-satunya dilahap apibermata merah yang ganas.

Anak-anak yang sudah berada di sanggar untuk persiapan lomba dari pagi, kini semua berada di luar. Menangis. Jani ikut menangis.

Apakah yang tadi berada di dalam sanggar sudah selamat semua? Jani belum melihat satu punpara pelatih sanggar, termasuk Mba Dewi, selain petugas kebersihan sanggar.

Bertepatan dengan pertanyaan Jani yang gelisah, keluarlah petugas menggendong seseorang. Yang Jani ketahui itu adalah Mba Dewi.

Seminggu setelah kebakaran sanggar itu, anak-anak masih diliburkan. Bangunan sanggar yang sudah berdiri sejak 20 tahun itu kini hanya tersisa separuhnya. Untung saja hanya bangunan bagian ruang latihan saja yang terkena api sehingga barang-barang penting lainnya masih aman. Meski begitu tetap saja anak-anak belum bisa latihan karena belum ada tempat yang bisa digunakan.

Pemilik sanggar masih dilanda kesedihan. Begitupula dengan Jani, pelatih sanggar serta anak-anak lainnya.

Minggu lalu, Jani batal mengikuti lomba tari penyandang disabilitas. Ia memilih untuk ikut menemani Mba Dewi menuju rumah sakit setelah dievakuasi.

Mba Dewi memiliki riwayat sesak dan kemarin saat terjadi kebakaran, dia menyelamatkan anak yang sedang berada di kamar mandi ruang latihan untuk berganti kostum tari. Mba Dewi memaksakan diri hingga akhirnya dia tidak sadarkan diri, sedangkan anak yang berhasil diselamatkannya itu lari memanggil seseorang di luar.

Namun sayang, di tengah perjalanan menuju rumah sakit itu, Mba Dewi dinyatakan sudah tidak ada.Mba Dewi meninggalkan Jani dan Sanggar Tulip karena api yang membumihanguskan sumber alasan bertahan hidup mereka.

Pagi tadi Jani berkunjung ke sanggar setelah mampir ke pemakaman. Dirinya membawa bunga-bungaan berwarna merah yang konon katanya melambangkan keabadian. Jani menginginkan sanggar yang menjadi tempatnya tumbuh itu abadi dan tidak akan termakan oleh suatu apa pun lagi. TAMAT.

*) Biodata Penulis: Aura Khairunnisa Tandan Wangi adalah nama aslinya, berusia 22 tahun, mahasiswa angkatan 2021 di jurusan Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia (PBSI), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Kini ia dalam proses menyelesaikan studi .Aura sering memakai nama Rigel AB sebagai nama penanya dan aktif menulis di Instragram dengan username @rigelab dan Medium dengan link rigelab.medium.com

Anak pertama dari empat bersaudara ini suka sekali menulis puisi, akan tetapi kini ia sedang menekuni belajar menulis cerpen secara mandiri, mengikuti kelas cerpen bersama  Jejak Imaji, kemudian memilih mata kuliah yang berhubungan dengan menulis fiksi.  Dalam karya cerpennya, Aura sangat mempertimbangkan narasinya agar enak dibaca dan terkesan indah. Hal tersebut tentunya dipengaruhi oleh kegemarannya membaca dan menulis puisi.

Exit mobile version