Banner Bupati Siak
Kolom  

“Pidato Bukan Curhat”

Oleh : Hendra Idris*

MENARIK disorot, ketika “Pidato Politik” Presiden Prabowo, menyindir pengritiknya dengan kata “ndasmu“, pada acara perayaan Hari Ulang Tahun ke-17 Gerindra, 15 Februari 2025 lalu.

Oleh beberapa pengamat politik, kata itu dianggap berlebihan, kekanak-kanakan, dan tak pantas diucapkan oleh seorang Kepala Negara. Kata-kata “ndasmu” itu terlontar kala Presiden Prabowo, berbicara terkait tiga hal: pembentukan kabinet, makan bergizi gratis, dan kedekatannya dengan mantan presiden Joko Widodo. Peneliti dari Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Teuku Harza Mauludi, menilai  sikap resisten Presiden Prabowo tersebut muncul karena dia tidak terbiasa menerima kritikan, adanya dukungan partai yang besar, dan tingkat kepuasan publik yang diklaim tinggi. (sumber : https://www.bbc.com/indonesia/articles/cy0p075wxpwo, 18 Februari 2025).

Hanya saja pakar komunikasi politik LSPR, Lely Arrianie mengingatkan, kalau kritikan publik terus menerus dibalas dengan ungkapan yang tidak pantas, maka “elektabilitas Prabowo akan terdegradasi pelan-pelan.” Banyak lagi pengamat lain, yang menanggapi kata-kata Presiden Prabowo tersebut.

Hakikat Pidato

Sejatinya, dalam tradisi politik dan pemerintahan, pidato adalah sarana komunikasi yang sangat penting. Melalui pidatolah, seorang pemimpin itu dapat memanfaatkan momentum untuk menyampaikan visi, misi, dan arah kebijakan yang akan diambil demi menaikkan pamor dan kewibawaannya terhadap rakyat. Pidato seyogyanya menjadi media yang menginspirasi, menggugah semangat, dan memberi afirmasi positif bagi publik mengenai langkah yang akan diambil oleh pemimpin. Namun, belakangan, makna pidato seakan mengalami pergeseran. Alih-alih menjadi sarana komunikasi yang efektif dan inspiratif, pidato justru bahkan berubah menjadi ajang “curhat pribadi”.

Kendati fenomena ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia —melainkan juga bahkan hampir di berbagai belahan dunia— namun, para pemimpin, yang sejatinya tampil lebih tegar dan penuh wibawa, hendaklah mampu menghindarkan keluhan masalah pribadi, lantas menyerang lawan politik, hingga menyindir pihak-pihak tertentu (baca: pengkritiknya) dihadapan publik. Lalu, apakah ini masih bisa disebut sebagai pidato, atau justru sudah berubah menjadi curhat?

Kehilangan Esensi

Secara tradisi, pidato memiliki beberapa tujuan utama, yakni menyampaikan informasi penting, membangun motivasi, menjelaskan kebijakan, dan membangkitkan semangat. Pidato yang baik disusun dengan bahasa yang jelas, lugas, to the point, penuh semangat, serta mampu menggugah emosi pendengar tanpa kehilangan logika dan substansi.

Jika seorang pemimpin di suatu negara, maka itu tugas adalah seorang atau tim Sekretaris Pribadi, sebenarnya, yang mana ia menulis isi dan bahasa pidato, disertai data konkret dan benar. Protokoler itu penting bagi suatu “pemerintahan suatu negara.”

Akan tetapi, ketika pidato berubah menjadi ajang curhat, esensinya menjadi hilang seketika. Pidato yang semestinya lebih terfokus pada kepentingan publik, justru sarat dengan keluhan pribadi, perasaan “baper” (baca:  tersinggung), atau bahkan drama politik yang mubazir. Pemimpin yang seyogyanya menjadi simbol kekuatan dan keteguhan, bukan sebaliknya.

Ternyata dari fenomena ini dapat sama-sama kita lihat dalam pelbagai peristiwa politik akhir-akhir ini. Tidak sedikit kita mendengar pemimpin yang mengeluhkan (menanggapi) kritikan di media sosial, ketika merasa disudutkan oleh oposisi, atau bahkan menyindir lawan politik secara terang-terangan di depan publik. Tentu saja ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah pidato semacam itu patut dan masihkah relevan?

Dampak Negatif

Pidato yang berubah menjadi curhat, akan berdampak negatif, tentunya, baik bagi seorang pemimpin publik, yaitu: Pertama, kredibilitas pemimpin bisa tergerus. Ketika pemimpin terlalu sering curhat di depan publik, kesan yang muncul adalah ketidakmampuan untuk mengatasi tekanan politik secara dewasa dan bijak.

Kedua, publik menjadi nelangsa dengan arah kebijakan yang disampaikan. Pidato yang penuh dengan keluhan dan sindiran, cenderung tidak fokus pada substansi masalah yang sedang dihadapi bangsa. Implikasinya, masyarakat seakan kehilangan marwah terhadap kejelasan tentang langkah konkret yang akan diambil oleh pemimpin dalam menyelesaikan segenap permasalahan.

Ketiga, perpecahan di masyarakat bisa saja memicu akan semakin tajam. Ketika pidato digunakan untuk menyindir lawan politik atau kelompok tertentu, maka hal ini justru akan memicu polarisasi di tengah masyarakat. Alih-alih menyatukan rakyat, pidato justru memerkeruh suasana dan memerlebar jurang friksi (perbedaan).

Kembalikan Marwah Pidato

Demi menghindari terjadinya pergeseran makna pidato menjadi ajang curhat, maka diperlukan kesadaran dari para pemimpin mengenai esensi dari pidato itu sendiri. Pidato harus kembali kepada fungsinya sebagai media komunikasi publik yang edukatif dan inspiratif, bukan sebagai ajang untuk membuncahkan unek-unek pribadi.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengembalikan marwah pidato yang seharusnya: Pertama, fokus pada substansi dan data. Pidato yang baik didasarkan pada fakta dan data yang akurat. Dengan penyajian data relevan, pemimpin dapat menyampaikan segala persoalan secara objektif dan solutif secara komplet.

Kedua, hindari penggunaan kata-kata bersifat emosional dan subjektif. Pidato efektif sebaiknya menggunakan bahasa yang netral dan tidak memancing kontroversi. Pemimpin harus belajar untuk bersikap tegas tanpa harus menyerang pribadi atau kelompok tertentu.

Ketiga, jadikan pidato sebagai sarana untuk merangkul, bukan memecah-belah. Pidato yang menginspirasi adalah pidato yang mampu mengajak semua pihak, tidak peduli perbedaan pandangan politik yang terjadi, termasuk dari lawan politiknya. Pemimpin kudu mampu menyatukan rakyat di tengah perbedaan pendapat, dan mengajak seluruh pihak untuk bekerja sama demi kepentingan bangsa dan negara.

Pidato yang Menginspirasi: Contoh dari Sejarah

Sejarah mencatat banyak pemimpin besar yang mampu memanfaatkan pidato untuk menyatukan bangsa dan menginspirasi jutaan orang. Sebagai misal, pidato “I Have a Dream” dari Martin Luther King Jr., yang berhasill menggerakkan hati banyak orang untuk memperjuangkan kesetaraan hak. Pidato-pidatonya Soekarno juga dikenal mampu membakar semangat kebangsaan dan menyatukan rakyat Indonesia dalam menghadapi colonial Belanda.

Winston Churchill dengan Pidatonya “We Shall Fight on the Beaches” (1940), di tengah ancaman invasi Nazi, menyampaikan pidato penuh semangat yang menggugah keberanian rakyat Inggris. Ia tidak mengeluh tentang tekanan yang ia hadapi sebagai pemimpin perang, melainkan fokus pada kekuatan dan keteguhan bangsa Inggris.

Nelson Mandela dengan Pidato Pelantikan sebagai Presiden Afrika Selatan (1994), berbicara tentang rekonsiliasi dan persatuan bangsa pasca-apartheid. Ia tidak menggunakan panggung tersebut untuk mengeluhkan ketidakadilan yang pernah ia alami selama 27 tahun di penjara, tetapi fokus pada visi masa depan yang inklusif.

John F. Kennedy dengan Pidato “Ask Not What Your Country Can Do For You” (1961), dalam pidato pelantikan sebagai Presiden Amerika Serikat, menginspirasi rakyat Amerika Serikat untuk berkontribusi pada negara. Tidak ada keluhan pribadi atau sindiran politik dalam pidatonya; sebaliknya, ia menyampaikan visi yang membangkitkan patriotisme dan rasa tanggung jawab.

Barack Obama, dengan  Pidato “Yes We Can” (2008), dalam pidato kemenangan pemilihan presiden Amerika Serikat, fokus pada harapan dan perubahan positif bagi Amerika Serikat. Ia tidak mengeluh tentang rintangan politik yang dihadapinya selama kampanye, melainkan mengajak seluruh rakyat Amerika untuk bersatu.

Di Indonesia, dulu Bung Hatta (Mohammad Hatta) berpidato tentang Demokrasi dan Ekonomi Kerakyatan, di mana Bung Hatta selalu berbicara dengan tenang dan rasional, menyampaikan konsep-konsep ekonomi kerakyatan dan demokrasi yang berbobot tanpa keluhan. Ia fokus pada visi kesejahteraan rakyat dan kemandirian bangsa.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam Pidato Kenegaraan dan Diplomasi Internasional, yang dikenal dengan gaya pidato yang terukur dan formal. Ia selalu menyampaikan kebijakan luar negeri dan visi pembangunan dengan bahasa diplomatis tanpa emosi pribadi. Fokusnya adalah pada pencapaian nasional dan diplomasi damai.

Dari mereka seharusnya kita belajar, bahwa pidato bukanlah ajang untuk meluapkan emosi pribadi atau menyerang lawan politik. Pidato adalah “piring” yang harus digunakan secara bijak untuk menghidangkan pesan bermakna dan menginspirasi banyak orang.

Refleksi

Pidato seharusnya menjadi refleksi dan pemberi teladan oleh para pemimpin kepada rakyatnya. Para Pemimpin “maha wajib” memahami dan menyadari, bahwa kata-kata yang mereka ucapkan di depan publik akan membentuk persepsi masyarakat terhadap cerminan kepemimpinan mereka.

Publik sungguh membutuhkan pemimpin yang kuat, tegas, dan visioner. Dan, publik tidak butuh keluhan, drama politik, atau sindiran yang tidak produktif. Sudah saatnyalah para pemimpin mengembalikan marwah pidato sebagai media komunikasi yang bermartabat, inspiratif, netral, dan unikatif.

Agar terhindar dari godaan kata-kata negatif, waktu berpidato seorang pemimpin tak usah terlalu lama, maksimal 15 menit saja. Akan lebih baik kurang dari waktu tersebut agar menjaga nilai dan kualitas isi dan substansi.

Izinkan kita bertanya kepada diri sendiri: tatkala sesosok pemimpin berbicara di hadapan audience, apakah kita sedang mendengarkan pidatonya yang penuh visi, ataukah justru sekadar mendengarkan cuitan atau curhatnya belaka?

*) Notaris PPAT, Trainer, Motivator, Public Speaker, Founder Lembaga Pelatihan Hendra Idris Training Centre (HITC)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *