Banner Bupati Siak
Kolom  

Marah dan Bahagia, Sejalan atau Beda Jalan? (Lanjutan Tulisan Minggu Lalu)

Oleh : Dr. Sumartono Mulyodiharjo, S.Sos.,M.Si.,CPS.,CSES.,FRAEL*

Pandangan Ahli Psikologi tentang Marah

AHLI psikologi menekankan bahwa marah bukanlah emosi yang buruk atau harus ditekan sepenuhnya. Sebaliknya, marah adalah sinyal penting bahwa ada sesuatu yang tidak berjalan sesuai harapan atau nilai seseorang.

Marah juga dapat membantu individu mempertahankan batasan pribadi dan melindungi diri dari perlakuan yang tidak adil. Marah yang tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan dampak negatif seperti stres kronis, depresi, atau kecemasan. Sering memendam kemarahan juga dapat memunculkan perilaku pasif-agresif atau ledakan emosi yang merugikan hubungan interpersonal.

Dalam psikologi sosial, marah sering dikaitkan dengan motivasi untuk melakukan perubahan. Emosi ini mendorong individu untuk menghadapi masalah secara langsung, mengambil tindakan, atau menuntut keadilan. Misalnya, marah terhadap diskriminasi sosial dapat menjadi pendorong utama dalam memobilisasi gerakan perubahan.

Psikologi menekankan pentingnya regulasi emosi untuk mengelola marah dengan sehat. Regulasi emosi melibatkan kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengungkapkan kemarahan secara adaptif, seperti melalui komunikasi yang tegas namun sopan atau teknik relaksasi.

Ahli kesehatan menghubungkan marah yang tidak terkontrol dengan berbagai masalah kesehatan fisik, seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, dan gangguan tidur. Ketika seseorang marah, tubuh melepaskan hormon stres seperti adrenalin dan kortisol, yang jika sering terjadi dapat merusak sistem kardiovaskular dan melemahkan kekebalan tubuh.

Mengelola marah secara sehat dapat meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental. Praktik seperti olahraga, meditasi, atau teknik pernapasan dalam dapat membantu mengurangi efek fisiologis dari kemarahan dan mencegah dampak jangka panjangnya pada tubuh. Dalam kasus di mana marah menjadi sulit dikendalikan atau berdampak buruk pada kehidupan seseorang, ahli kesehatan atau psikolog sering merekomendasikan terapi manajemen marah.

Terapi ini melibatkan: 1). Kognitif-Behavioral Therapy (CBT), yaitu Membantu individu mengidentifikasi pola pikir negatif yang memicu marah dan menggantinya dengan cara berpikir yang lebih adaptif. 2). Teknik Relaksasi: Seperti meditasi mindfulness atau pernapasan dalam untuk menenangkan tubuh dan pikiran serta latihan komunikasi : Mengajarkan cara mengekspresikan kemarahan dengan cara yang tegas namun tetap menghormati orang lain.

Pentingnya Kesadaran Diri

Ahli kesehatan menekankan pentingnya mengenali tanda-tanda awal kemarahan, seperti jantung berdebar, napas pendek, atau otot tegang. Dengan kesadaran ini, seseorang dapat mengambil langkah pencegahan sebelum marah menjadi tidak terkendali.

Dengan pendekatan yang seimbang, ahli kesehatan dan psikologi sepakat bahwa marah dapat menjadi emosi yang bermanfaat jika dikelola dengan baik, tetapi juga dapat merugikan jika diabaikan atau diekspresikan secara destruktif. Oleh karena itu, mereka mendorong pendekatan proaktif untuk memahami dan mengelola emosi ini dalam kehidupan sehari-hari.

Teori komunikasi memandang marah sebagai bentuk ekspresi emosi yang muncul dalam interaksi sosial dan memiliki pengaruh besar terhadap dinamika komunikasi. Marah dianggap sebagai respons terhadap pelanggaran norma, nilai, atau ekspektasi dalam hubungan interpersonal. Dalam konteks ini, komunikasi memainkan peran penting dalam bagaimana marah diungkapkan, diterima, dan dikelola.  

Analisis teori komunikasi terhadap marah mencakup beberapa aspek. Pertama, teori Interaksi Simbolik melihat marah sebagai hasil dari makna yang diberikan individu pada tindakan atau ucapan orang lain. Jika seseorang merasa diperlakukan tidak adil, makna yang diberikan pada perlakuan tersebut dapat memicu marah. Strategi untuk menghadapi marah dalam teori ini melibatkan reframing atau mengubah cara seseorang memaknai situasi yang memicu emosi tersebut, sehingga marah dapat diolah menjadi respons yang lebih konstruktif.

Kedua, dalam teori Akomodasi Komunikasi, marah dapat dianalisis melalui bagaimana seseorang menyesuaikan cara berbicaranya selama konflik. Orang yang sedang marah akan berbicara dengan nada tinggi atau intonasi agresif, yang sering kali memicu reaksi serupa dari pihak lain. Strategi dalam teori ini adalah mendorong konvergensi, yaitu menyesuaikan gaya komunikasi dengan nada yang lebih tenang untuk mengurangi eskalasi konflik.

Ketiga, teori Manajemen Konflik memberikan kerangka kerja untuk memahami bagaimana marah memengaruhi konflik interpersonal. Marah sering kali memunculkan gaya komunikasi yang kompetitif atau agresif, yang dapat memperburuk konflik.

Sebaliknya, teori ini mendorong penggunaan gaya komunikasi kolaboratif atau kompromi. Misalnya, dalam situasi marah, individu dapat mempraktikkan I-statements (seperti “Saya merasa kecewa karena…”) untuk mengungkapkan emosi tanpa menyalahkan pihak lain. Pendekatan ini membantu menjadikan marah sebagai alat untuk menyelesaikan masalah alih-alih memperparah konflik.

Keempat, teori Kecerdasan Emosional dalam Komunikasi menekankan pentingnya kesadaran emosional dalam mengelola marah. Orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi mampu mengenali tanda-tanda marah dalam dirinya sendiri dan orang lain, serta mengarahkan percakapan ke arah yang lebih produktif. Strategi ini melibatkan pengendalian diri, empati, dan kemampuan mendengarkan aktif untuk mengurangi ketegangan dan mengubah marah menjadi dialog yang bermakna.

Untuk mengubah marah menjadi kekuatan, teori komunikasi menganjurkan penggunaan strategi seperti refleksi diri untuk memahami akar emosi, mendengarkan secara aktif untuk menangkap perspektif pihak lain, dan menggunakan komunikasi asertif untuk mengekspresikan kebutuhan atau keinginan tanpa merugikan orang lain. Selain itu, menciptakan lingkungan komunikasi yang aman, di mana pihak-pihak yang terlibat dapat berbicara dengan jujur tanpa takut dihakimi, membantu menjadikan marah sebagai alat untuk memperbaiki hubungan dan menemukan solusi bersama.

Dalam praktiknya, pendekatan komunikasi yang efektif terhadap marah memerlukan kesadaran untuk menilai situasi, mengendalikan respons emosional, dan memilih kata-kata serta tindakan yang dapat memperkuat hubungan, bukannya merusaknya. Hal ini menjadikan marah bukan hanya sebagai emosi, tetapi juga sebagai peluang untuk pertumbuhan pribadi dan sosial.

Marah dan kebahagiaan adalah dua emosi yang tampak berlawanan, tetapi keduanya saling terkait secara kompleks dalam dinamika kehidupan manusia. Marah sering muncul sebagai respons terhadap situasi yang dianggap menghalangi seseorang mencapai kebahagiaan atau merusak kondisi yang mendukung kebahagiaan itu sendiri. Di sisi lain, cara seseorang mengelola marah dapat memengaruhi tingkat kebahagiaan yang dirasakan, baik dalam jangka pendek maupun panjang.

Marah bisa menjadi sinyal penting bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam hidup seseorang, yang jika diatasi dengan baik, dapat membawa kepuasan dan kebahagiaan. Misalnya, ketika seseorang marah karena diperlakukan tidak adil di tempat kerja, emosi ini dapat memotivasi mereka untuk memperjuangkan haknya atau mencari lingkungan kerja yang lebih suportif.

Hasil dari tindakan tersebut, seperti mendapatkan penghargaan atas usaha atau merasa dihargai, dapat meningkatkan kebahagiaan. Sebaliknya, marah yang tidak dikelola dengan baik dapat menjadi penghalang kebahagiaan. Ketika seseorang terus-menerus merasa marah tanpa menyelesaikan akar masalahnya, emosi ini dapat berubah menjadi rasa dendam, stres kronis, atau kelelahan emosional, yang semuanya menggerogoti rasa bahagia.

Selain itu, marah yang diekspresikan secara destruktif dapat merusak hubungan interpersonal, yang merupakan salah satu sumber utama kebahagiaan manusia. Ada pula keterkaitan langsung antara marah dan kebahagiaan dalam konteks tujuan hidup. Ketika seseorang merasa marah terhadap ketidakadilan sosial atau masalah global, emosi ini dapat memotivasi tindakan kolektif atau individu untuk menciptakan perubahan yang lebih baik. Keberhasilan dalam membuat perbedaan atau berkontribusi pada masyarakat sering kali memberikan rasa kepuasan yang mendalam dan kebahagiaan yang bertahan lama.

Kunci untuk memahami keterkaitan ini adalah bagaimana marah dikelola. Jika marah diakui, dipahami, dan diarahkan ke tindakan positif, emosi ini dapat menjadi bagian dari perjalanan menuju kebahagiaan. Namun, jika dibiarkan tak terkendali atau tidak diselesaikan, marah dapat menjadi penghalang yang menjauhkan seseorang dari perasaan puas dan bahagia.

Dengan kata lain, kebahagiaan sering kali bergantung pada kemampuan seseorang untuk memahami dan mengelola emosi marah dengan cara yang sehat dan konstruktif. Menghubungkan marah dengan kebahagiaan dapat dilakukan dengan memahami bahwa kedua emosi ini saling melengkapi dalam konteks kehidupan manusia.

Marah, meskipun dianggap sebagai emosi negatif, sering kali memiliki peran penting dalam membantu seseorang mengenali dan mengejar apa yang penting bagi kebahagiaannya. Dalam hubungan ini, marah dapat menjadi pemicu untuk refleksi diri, perubahan, atau tindakan yang membawa seseorang lebih dekat pada kebahagiaan.

Marah sering muncul sebagai respons terhadap situasi yang bertentangan dengan nilai-nilai, harapan, atau kebutuhan seseorang. Ketika seseorang marah karena diperlakukan tidak adil, misalnya, emosi ini menjadi tanda bahwa ada sesuatu yang menghalangi rasa puas atau bahagia. Dengan menghadapi dan menyelesaikan situasi yang memicu marah, seperti mendiskusikan masalah dengan pihak lain atau mencari solusi yang adil, seseorang dapat memulihkan keseimbangan emosionalnya dan mendekatkan diri pada kebahagiaan.

Selain itu, marah yang dikelola dengan baik dapat memperkuat hubungan interpersonal, yang menjadi salah satu sumber utama kebahagiaan. Dalam sebuah konflik, marah yang diungkapkan secara asertif –bukan agresif– dapat membuka ruang untuk dialog jujur, pemahaman mendalam, dan resolusi masalah yang lebih baik. Ketika konflik terselesaikan dan hubungan menjadi lebih harmonis, kebahagiaan akan meningkat.

Kemarahan juga bisa menjadi motivasi untuk mengejar perubahan yang lebih besar dalam hidup. Ketika seseorang marah terhadap situasi hidup yang stagnan atau merasa tidak dihargai, emosi ini dapat mendorong mereka untuk mengambil langkah berani, seperti memulai karier baru, memperjuangkan keadilan, atau meninggalkan hubungan yang tidak sehat.

Perubahan-perubahan ini, meskipun sulit pada awalnya, sering kali membawa rasa puas dan kebahagiaan yang lebih dalam di kemudian hari. Namun, hubungan antara marah dan kebahagiaan bergantung pada cara emosi ini dikelola. Marah yang tidak terkendali atau diarahkan secara destruktif dapat merusak hubungan, menimbulkan stres, dan menjauhkan seseorang dari kebahagiaan.

Sebaliknya, jika marah dipahami sebagai sinyal untuk bertindak atau memperbaiki, ia dapat menjadi bagian integral dari perjalanan menuju kebahagiaan yang autentik. Dengan demikian, marah dan kebahagiaan tidak harus dipandang sebagai emosi yang bertolak belakang, tetapi sebagai elemen yang saling berinteraksi. Ketika marah diarahkan dengan cara yang konstruktif, emosi ini dapat menjadi alat yang kuat untuk menciptakan perubahan, memperkuat hubungan, dan mendekatkan seseorang pada kebahagiaan yang lebih sejati.

Ada pendapat dari para ahli psikologi dan komunikasi yang menekankan bahwa marah bukanlah emosi yang harus dihindari, melainkan sesuatu yang harus dikelola dengan baik. Emosi ini dianggap wajar dan alami sebagai bagian dari pengalaman manusia, bahkan dapat menjadi alat untuk mencapai kebahagiaan, keberkahan, atau perubahan positif jika dimanfaatkan dengan cara yang benar.

Ahli psikologi seperti Harriet Lerner, dalam bukunya The Dance of Anger, menyatakan bahwa marah adalah emosi penting yang memberi informasi tentang batasan pribadi dan nilai-nilai yang kita anggap penting. Ketika seseorang merasa marah, itu sering kali menjadi tanda bahwa ada pelanggaran terhadap sesuatu yang penting bagi dirinya. Mengabaikan atau menekan marah dapat menyebabkan frustrasi atau perasaan tidak terpenuhi, sementara mengelolanya dengan bijak dapat mendorong tindakan yang memperbaiki keadaan, menciptakan harmoni, dan membawa rasa puas.

Dalam konteks spiritual, banyak pemikir dan ulama juga berpendapat bahwa marah, jika dikelola dengan hikmah, dapat mendatangkan keberkahan. Misalnya, marah terhadap ketidakadilan atau perilaku yang melanggar nilai-nilai moral dapat mendorong seseorang untuk berbuat lebih baik, membantu orang lain, atau memperjuangkan kebenaran. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa emosi marah, ketika diarahkan pada hal yang benar, menjadi bagian dari amal baik yang membawa keberkahan dan manfaat bagi orang lain.

Ahli komunikasi juga menyoroti bahwa marah dapat memperkuat hubungan interpersonal jika disampaikan dengan cara yang asertif dan bukan agresif. Marah yang diungkapkan dengan jujur, tetapi tetap menghormati pihak lain, dapat membantu mengatasi konflik, memperbaiki hubungan, dan meningkatkan kepercayaan serta kedekatan. Hal ini dapat membawa kebahagiaan jangka panjang karena menciptakan lingkungan yang lebih sehat secara emosional.

Selain itu, para ahli menekankan bahwa marah bisa menjadi motivasi untuk pertumbuhan pribadi. Ketika seseorang merasa marah karena suatu situasi yang tidak adil atau tidak memuaskan, emosi ini dapat memacu tindakan untuk memperbaiki kondisi tersebut. Misalnya, seseorang yang marah karena merasa tidak dihargai di tempat kerja dapat terdorong untuk meningkatkan keterampilan, mencari pekerjaan yang lebih baik, atau memperjuangkan haknya. Langkah-langkah ini, meskipun diawali dengan marah, sering kali membawa hasil yang positif, baik secara emosional maupun material.

Kesimpulannya, para ahli berpendapat bahwa marah bukanlah sesuatu yang harus ditakuti atau dihindari, tetapi emosi yang perlu dikenali, dipahami, dan dikelola dengan baik. Ketika marah diarahkan ke tujuan yang benar dan dikelola secara bijaksana, emosi ini dapat menjadi sumber kebahagiaan, keberkahan, dan perubahan yang bermakna dalam kehidupan.

Berikut adalah beberapa ahli yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan pandangan mengenai bagaimana marah dapat dikelola dan berkontribusi pada kebahagiaan atau perubahan positif:  

1. Harriet Lerner

Dalam bukunya The Dance of Anger, Lerner menekankan bahwa marah adalah sinyal penting untuk memahami kebutuhan emosional seseorang. Ia menyoroti bahwa marah, jika dikelola dengan baik, dapat digunakan untuk memperbaiki hubungan dan menjaga integritas diri.  

2. Daniel Goleman

Melalui konsep Emotional Intelligence, Goleman menjelaskan bahwa kemampuan mengenali, mengelola, dan mengarahkan emosi seperti marah adalah bagian dari kecerdasan emosional. Marah yang diolah dengan bijaksana dapat membantu dalam pengambilan keputusan yang lebih baik dan memperkuat hubungan interpersonal.  

3.  Marshall B. Rosenberg  

Dalam Nonviolent Communication (NVC), Rosenberg mengajarkan bagaimana marah dapat menjadi alat untuk memahami kebutuhan yang tidak terpenuhi. Ia menunjukkan cara mengekspresikan marah dengan cara yang membangun, yaitu melalui komunikasi yang jujur dan penuh empati.  

4. Carol Tavris  

Dalam bukunya Anger: The Misunderstood Emotion, Tavris berargumen bahwa marah bukanlah emosi yang harus ditekan atau dihindari. Ia menyatakan bahwa marah, jika disalurkan dengan cara yang sehat, dapat membantu menyelesaikan masalah dan menciptakan perubahan positif dalam kehidupan pribadi maupun sosial.  

5. Paul Ekman

Sebagai ahli dalam studi emosi, Ekman menjelaskan bahwa marah adalah salah satu dari emosi dasar manusia yang memiliki fungsi adaptif. Dalam penelitiannya, ia menunjukkan bahwa marah bisa memotivasi individu untuk melindungi diri atau memperbaiki ketidakadilan, sehingga berperan penting dalam keseimbangan emosional.  

6.  Aristoteles

 Dalam filsafatnya, Aristoteles menyatakan bahwa marah adalah emosi yang tidak harus dihindari, tetapi harus dirasakan “dalam kadar yang tepat, pada waktu yang tepat, dan untuk alasan yang benar.” Pandangan ini menjadi dasar pendekatan keseimbangan emosi dalam teori etika.  

7.  Sigmund Freud

Freud mengemukakan bahwa menekan emosi seperti marah dapat menimbulkan dampak negatif pada kesehatan mental. Ia mendorong individu untuk mengenali dan memahami akar marah, serta mengekspresikannya dengan cara yang konstruktif.  

8. Dalai Lama  

Dalam pandangan Buddhis, Dalai Lama menyebutkan bahwa marah, meskipun sering dianggap negatif, bisa menjadi alat transformasi jika diolah dengan kesadaran. Ia mendorong refleksi mendalam untuk mengarahkan energi marah pada tindakan yang membawa manfaat bagi diri sendiri dan orang lain.  

Para ahli ini, meskipun berbeda latar belakangnya, memiliki kesamaan pandangan bahwa marah adalah bagian alami dari kehidupan manusia. Mereka menekankan pentingnya pengelolaan marah untuk menjadikannya sumber kekuatan, kebahagiaan, atau keberkahan, alih-alih menjadi hambatan dalam hidup. []

*) Penulis adalah Komunikator Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *