Oleh: Firdaus Abie*
Saya ingin sedikit berbagi dengan calon penulis, atau penulis pemula.
Dua bulan terakhir, tiga kali saya menjadi juri lomba menulis. Satu lomba menulis ASN Kota Padang, dalam rangkaian HUT Korpri. Dua lagi, juri lomba menulis Cerpen antar pelajar SMA/SMK/MA. Diluar itu, saya juga telah membaca puluhan cerita pendek dan satu novel pelajar SMA di Sumbar.
Ada diantara Cerpen yang dikirimkan kepada saya, ditujukan untuk pemuatan di koran. Ada juga yang dimaksudkan agar saya memberikan catatan tentang naskah yang ditulisnya, kemudian dijadikannya panduan untuk naskah berikutnya.
Khusus point terakhir, sejak lama aktivitas tersebut sudah menjadi keseharian saya. Setidaknya, setiap bulan ada saja pelajar SMA atau SMP yang mengirimkan naskahnya, lalu mereka meminta agar saya memberikan catatan terhadap karya tersebut.
Saya menjalaninya disela-sela aktivitas sejak di Harian Rakyat Sumbar, tahun 2010, sampai kini, saya di Posmetro Padang. Sebahagian besar diantara mereka yang mengirimkan naskah tersebut adalah peserta didik saat saya menjadi narasumber pelatihan menulis. Ada juga atas rekomendasi temannya, atau guru pembimbing mereka.
Saya tidak tahu pasti, apakah naskah itu memang yang bersangkutan menulis atau tidak. Tetapi setidaknya saya mencoba mendeteksi, apakah naskah tersebut memang dia yang menulis atau tidak. Langkah pertama, setelah saya menerima naskah, saya meminta waktu kepadanya. Setelah nanti saya baca, maka saya akan hubungi si penulis.
Ketika menghubunginya via selular, saya “mewawancarai”-nya seputar karya yang ditulis, mau pun hal-hal yang berkaitan dengan proses kreatifnya. Termasuk juga mencari tahu kepada gurunya. Tidak lupa meminta pernyataan yang bersangkutan bahwa naskahnya tersebut adalah karya sendiri.
Ketika sampai pada proses ini, biasanya saya sudah bisa mendeteksi, terkait keberadaan karya tersebut. Sejak saya melayani ribuan pelajar, mahasiswa dan guru, baru tiga naskah yang saya temukan disadur utuh dari tulisan yang sudah pernah dipublikasi.
Saya menemukannya secara tak sengaja. Mulanya sebuah perguruan tinggi meminta agar saya memberikan materi teknik dasar menulis kepada mahasiswa, disertai praktek menulis. Naskah yang sudah ditulis diberikan kepada saya untuk dibaca, kemudian diberikan catatan terhadap tulisan yang dibuat. Tulisan asli yang dibuat mahasiswa tersebut dijadikan bahan penilaian oleh dosennya.
Ketika saya menemukan bahwa naskah tersebut adalah menyalin utuh naskah orang lain, alias plagiat, saya tidak memberikan nilai kepadanya. Mahasiswa bersangkutan langsung saya tegur, kemudian saya juga mengabarkan kepada dosen pembimbing dan ketua jurusannya.
Kembali ke naskah yang ditulis pelajar, mahasiswa dan guru yang meminta pendampingan atau bimbingan, termasuk naskah-naskah yang saya dapatkan pada dua lomba terakhir, ada beberapa hal mendasar yang perlu jadi perhatian. Harapannya, kelak dikemudian hari, ada lompatan besar yang bisa dicapai penulis pemula tersebut.
Pertama, secara umum mereka tak lagi menghadapi kendala dalam menemukan ide cerita. Hal tersebut terbukti ketika diberikan langkah praktis dalam menemukan ide. Dipandu juga untuk mendapatkan pemantik cerita yang akan ditulis, kemudian mereka justru mampu menulis dengan tulisan yang variatif. Ketika ditulis, kisah-kisah yang terbentang justru lebih “liar” dibanding apa yang diperkirakan. Mereka kaya ide dan lebih aktraktif.
Kedua, terburu-buru menutup ceritanya. Dalam bahasa keseharian saya, mereka cenderung “lari dari kenyataan” untuk menyelesaikan cerita yang sudah dikemas. Banyak diantara mereka yang sudah dapat “memaksa” pembaca untuk membaca kisahnya sejak awal, kemudian mampu mengiring kepada konflik yang dibangun, malahan ada konflik yang berkelanjutan.
Pondasi yang dibangun tiba-tiba “hancur berantakan” ketika penulis “menghindari” penyelesaian konflik yang sudah dibangun, sehingga cerita berakhir dengan anti klimak yang tak jelas, tidak masuk akal atau tanpa kejelasan yang “dapat dipertanggungjawabkan” secara logis. Kondisi itu disebabkan ketidakmampuan penulis menutup ceritanya dengan sentuhan (yang mungkin) tidak terduga, atau diluar dugaan pembaca. Padahal dengan penambahan atau pengurangan tiga atau empat kalimat, endingnya bisa memberikan rasa berbeda.
Ketiga, salah satu faktor lain yang membuat pembaca bosan adalah harus berpikir atau membolak-balik bacaan ke bagian awal. Hal tersebut karena tokoh dan karakter tokoh yang susah dikenali.
Tokoh dalam cerita sulit dikenal karena nama yang dipakai sulit dibaca, apalagi untuk diingat. Penulis generasi muda sekarang, cenderung mengadopsi nama dari luar, terutama Korea, Jepang, Inggris dan kemudian dikombinasikan dengan cara mereka sendiri. Ada kalanya nama yang dipakai berderet tiga hurup konsonan, diimbuh satu vokal, kemudian ada lagi dua atau tiga konsonan dan satu vokal. Kombinasi namanya terasa mengganggu disaat membaca naskah.
Sudahlah nama tokoh sulit dikenali, karakternya pun sukar dipahami. Hal ini karena penulis tidak memberikan deskripsi terkait tokoh-tokoh tersebut. Kalau pun deskripsinya diharapkan dapat terungkap dari dialog, namun kecenderungan dialog tidak menyentuh bagian tersebut.
Ke-empat, kebanyakan cerita generasi pelajar sekarang, settingnya jauh menembus ruang dan waktu. Setting lokasinya kebanyakan di luar negeri. Apakah ini ada hubungannya dengan berbagai aplikasi media sosial yang memberikan ruangan untuk berbagai naskah, saya juga tidak tahu pasti.
Sayangnya setting lokasi yang dijadikan titik fokus cerita, tidak terlukiskan secara detail, atau pembaca cenderung tidak dapat merasakan berada di lokasi dimaksud. Lokasi itu hanya diungkapkan melalui dialog saja, atau dari penamaan lokasi ataupun tempat. Tidak diilustrasikan secara dramatik. Kondisi ini tentu berpengaruh kepada rasa cerita yang didapatkan oleh pembaca.
Saya pernah menguji “rasa” setting lokasi kepada penulisnya. Saya minta mereka mengganti lokasi yang disebutkan dalam dialog atau nama tempat yang disebutkan dalam cerita. Setelah diganti, apakah berpengaruh kepada keseluruhan cerita? Ternyata tidak. Secara sederhana saya katakan kepada mereka, berarti setting lokasinya belum kuat.
Kelima, perlu meningkatkan pemahaman menulisnya. Masih sering ditemukan kekeliruan dalam menuliskan cerita. Kekeliruan tersebut diantaranya, pilihan kata baku yang sering bercampur aduk dengan kata tak baku, kesalahan makna kata, penulisan ejaan mau pun huruf besar dan kecil yang keliru, penulisan paragraf yang tidak tepat dan tumpang tindih.
Persoalan di poin kelima ini, penyebab utamanya adalah pada ketidakcermatan. Padahal terkait kata baku atau tidak baku, makna kata, penggunaan huruf besar dan kecil, dapat diketahui dengan mudah dari panduan dari mesin pencarian di internet. Kekeliruan pada paragraf yang tidak tepat atau tumpang tindah, justru terjadi karena kepatuhan pada teori, yang pada salah satu cirinya menyebutkan, paragraf biasanya terdiri dari 3 – 7 kalimat.
Adanya keterangan, 3 – 7 kalimat, membuat mereka merasa aman untuk terus membangun satu paragraf dengan tujuh kalimat tersebut, padahal sebelum kalimat ketujuh ditulisnya, paragraf tersebut sudah masuk pada pikiran utama yang baru.
Mereka mungkin lupa. Paragraf adalah kumpulan kalimat yang tersusun logis dan sistematis untuk menyampaikan gagasan, ide, atau pikiran utama dalam sebuah karangan. Pada bagian penjelesannya, selain biasanya terdiri dari 3 – 7 kalimat, juga dikunci dengan ketentuan bahwa, jumlah kalimat dalam paragraf ditentukan oleh cara pengembangan dan ketuntasan uraian gagasan yang disampaikan.
Artinya, jika uraian gagasannya atau pikiran utama bisa dijelaskan kurang dari 7 kalimat, maka paragraf tersebut tidak harus dipertahankan tetap dalam tujuh kalimat. Kalau satu atau dua kalimat bisa menyelesaikannya, cukup satu atau dua kalimat itu saja. Kalau bisa satu atau dua kata, tidaklah haram hukumnya!
*) Penulis adalah wartawan Posmetro Padang, Motivator & Instruktur Menulis