Oleh : Dr. Abdullah Khusairi, S.Ag, M.A.*
PADA kelas literasi media, diskusi menarik muncul mengupas ketergantungan ummat manusia modern terhadap smartphone. Sebuah benda yang berada di tangan setiap orang, yang memilikinya dua atau lebih. Itulah perangkat digital yang kini menjadi bagian hidup, mengubah budaya manusia dalam mengkonsumsi informasi serta memudahkan sebagai sebuah sarana. Homo digitus, itulah yang disebut para pakar yang mengupas persoalan ini.
Kajian literasi digital, yang termasuk dari kajian media digital terus menghilir dari digital skill, digital ethic, digital culture, digital safety, hingga lebih jauh bertemu dengan teori lama, media dependency theory yang dikembangkan Sandra Ball-Rokeach dan Melvin DeFleur (1976). Teori ini menyatakan bahwa semakin seseorang atau masyarakat bergantung pada media untuk memenuhi kebutuhannya (misalnya informasi, hiburan, atau interaksi sosial), semakin besar pengaruh media tersebut terhadap sikap, perilaku, dan pemikirannya.
Akhirnya, diskusi mulai menyadarkan tentang smarphone di genggaman tangan yang bukan lagi sekadar benda mati. Ia adalah saksi perjalanan hidup, alat komunikasi, dan bagi sebagian orang—jerat tanpa ujung. Lalu muncul pertanyaan kritis, apakah kita benar-benar membutuhkannya, atau sekadar menjadi budak teknologi yang terus diperbudak oleh layar? Apakah menyadari bahwa sebuah smartphone memiliki usia udzurnya; berhenti menyala!
Menurut data, secara rata-rata, sebuah smartphone bertahan sekitar 2,58 tahun sebelum akhirnya tergeser oleh versi yang lebih baru (inet.detik.com, 2023). Ada yang hanya bertahan dua tahun, ada pula yang mampu hidup hingga lima tahun, tergantung merek dan kelasnya. iPhone, misalnya, dapat bertahan hingga satu dekade, sementara Samsung, Huawei, dan Xiaomi memiliki rentang usia lebih pendek (inet.detik.com, 2023). Tapi, apakah ketahanan fisik ini sejalan dengan ketahanan mental kita terhadap ketergantungan pada perangkat ini?
Di Indonesia, pengguna rata-rata menatap layar lebih dari enam jam sehari (detik.com, 2024). Enam jam! Itu bukan sekadar angka, tapi realitas yang mengikis kesadaran. Berapa banyak dari waktu itu yang benar-benar produktif? Berapa banyak yang sekadar menelusuri media sosial tanpa arah, atau terjebak dalam permainan yang membuat waktu terasa menguap?
Tentu saja, ada banyak orang bijak menggunakan smartphone sebagai alat untuk meningkatkan ilmu, produktivitas, dan kesejahteraan. Sayangnya tak sedikit yang menjadikannya penjara tak kasat mata, mencuri waktu berharga, merusak kesehatan, dan menjauhkan dari kehidupan nyata. Jika smartphone berulah dan rusak begitu mudah mengganti ponsel lama dengan yang baru namun belum tentu punya smarphone baru belum tentu mengganti kebiasaan buruk dalam menggunakannya.
Pertanyaan selanjutnya, apakah akan terus menjadi konsumen yang dipermainkan tren teknologi, atau mulai berani mengambil kendali atas kebiasaan kita sendiri? Agaknya pertanyaan serupa ini, luput muncul karena keasyikan di dunia digital tanpa perlu berpikir lebih kritis. Sebagai pengguna, sudah terjebak dalam echo chamber dan filter bubble di social media masing-masing.
Menurut data, smartphone entry-level hanya bertahan sekitar 1,5 hingga 2 tahun, kelas mainstream bisa mencapai 3 tahun, sedangkan kelas high-end dapat bertahan hingga 5 tahun atau lebih (maskris.co.id, 2024). Data ini menyangkut ketahanan sebuah benda yang dibuat secara industrial, melalui penelitian terhadap daya beli konsumen. Agaknya, memang perlu penelitian lanjutan, tentang penelitian daya tahan dalam menghadapi distraksi yang ditawarkan oleh teknologi ini. Bukan daya tahan smartphone saja.
Pertanyaan lebih menarik adalah, sebenarnya siapa yang sebenarnya berkuasa, pengguna atau smartphone? Atau jangan-jangan produsen smartphone yang saban waktu selalu punya cara untuk beriklan menemui pengguna. Lalu, sebanyak apa uang yang telah disiapkan untuk mengganti smartphone ketika telah udzur? Bagi kaum yang lemah berpikir, mana peduli dengan hal serupa ini.
Saya mengajak mahasiswa untuk berpikir kritis, tidak sekadar pencandu dunia digital tanpa memikirkan masa depan dan menundukkan smartphone mereka untuk lebih produktif. Memberi kebaikan demi kebaikan sebagai modal masa depan. Memelihara jejak digital yang positif dan menggunakan media digital sebagai medium yang bermanfaat, bukan sebaliknya.
Selamat menunaikan ibadah puasa, sesekali coba “puasa” menyentuh smartphone? Lain pula nikmat yang didapatkan oleh jiwa, ada kebebasan dan kemewahan yang sulit digambarkan. Cobalah, kalau tak percaya. Salam. []
*) Doktor Pengkajian Islam – Dakwah, Media dan Politik, Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang