Titik Akhir

Cerpen : Khusni Nur Aini, S.Pd.I.*

 “ Bapak mau tetap berangkat? Bapakkan masih sakit? ” ucap Bu Welas penuh khawatir.

“ Bapak ndak papa Bu. Bapak cuma masuk angin biasa, nanti dibawa sarapan juga Bapak sehat lagi. Jadwal pelajaran hari ini, Bapak sudah janji sama murid – murid. Kami mau mengadakan pembelajaran di luar kelas. Mengenal alam sekitar. Anak – anak sangat antusias menunggu hari ini Bu ” jawab suamiku dengan tersenyum.

“ Bapak senang bisa mengajar di MI Al Istiqomah Sidosari, mengajari mereka pelajaran umum dan juga pelajaran agama ” ungkap suamiku.

“ Tapi pak gaji yang Bapak terima dengan pengabdian Bapak di SD Negeri 01 Sidosari sangat tidak sebanding. Bapak berangkat paling gasik pulang paling sore. Ibu heran sama Bapak kenapa Bapak masih bertahan dengan gaji yang hanya dua ratus lima puluh ribu sebulan? ” protes Ibu.

Bapak terdiam lalu ia menyeruput kopi tanpa gula dengan ekspresi wajah datar. Kami terdiam dengan pikiran kami masing – masing.

“ Bu, Bapak minta maaf jika Bapak belum bisa memberi nafkah yang layak untuk Ibu. Insa Allah Bapak akan bekerja lebih giat lagi agar pemasukan kita bertambah. Kemarin Lek Parjo menawari motornya. Mulai nanti malam Bapak akan ngojek Bu. Hasilnya kata Lek Parjo nanti dibagi dua. Doakan Bapak ya Bu, semoga ini bisa menjadi wasilah bertambahnya pemasukan kita ”.

“ Amin, semoga niat baik Bapak diridhoi Gusti Allah” jawabku.

Sebenarnya bukan aku tidak bersyukur atas nafkah yang suamiku berikan. Uang dua ratus lima puluh ribu sudah aku pergunakan sehemat mungkin. Setiap Senin dan Kamis kamipun rutin puasa sunah. Namun, nafkah yang suamiku berikan masih jauh dari kata cukup.

Meski tidak setiap hari, terkadang ada tetangga yang memintaku menjahitkan baju yang sobek. Mesin jahit warisan Si Mbok, meski usianya sudah udzur namun masih bisa digunakan. Setidaknya itu bisa membantu supaya dapur kami tetap ngebul.

Suamiku sudah berkemas. Kami bersalaman dan tak lupa Ia mencium keningku lebih lama dari biasanya . Aku melihat wajahnya lebih bercahaya lebih dari biasanya. Mungkin Ia bahagia karena hari ini akan belajar di luar kelas bersama murid – muridnya seperti yang ia ceritakan tadi malam.

Farid Abdullah nama lengkap suamiku. Setelah lulus dari S1 di kota, ia memilih kembali ke tanah kelahirannya.

Ia menjadi salah satu pendiri MI Al Istiqomah Sidosari. MI Al Istqomah Sidosari adalah satu – satunya madrasah swasta yang ada di daerah kami. Satu – satunya tempat belajar di daerah kami yang terpencil.

 Ia menikahiku setelah MI Al Istiqomah Sidosari berdiri kurang lebih lima tahunan. Meski gaji yang  diterima jauh dari kata layak, namun semangat mengabdinya tidak pernah diragukan.

Suamiku-lah yang mengusulkan agar di MI Al Istqomah Sidosari diajarkan pembiasaan – pembiasaan seperti Salat Duha, mengaji Iqra dan Al Quran, hafalan suratan dan lain – lain. Ia berharap anak – anak tidak hanya bisa belajar ilmu umum saja, ilmu agama pun diharapkan memiliki porsi yang sama.

Tok tok tok.

“ Bu Welas Assalamulaikum?” pintu rumah diketuk keras. Dengan tergopoh – gopoh aku menuju ke pintu. Lalu kubuka pintu dengan cepat.

“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Ada apa ya Pak? Mari silahkan masuk ” jawabku. Dua orang polisi itu kupersilakan duduk diruang tamu.

“ Mohon maaf Bu, apa betul Ibu adalah istri dari Bapak Farid Abdullah?” tanya salah satu polisi itu.

“ Betul pak, oh iya ada apa dengan suami saya Pak?”  tanyaku dengan rasa penuh ingin tahu.

“ Begini Bu, saat pembelajaran bersama murid – muridnya di luar kelas. Pak Farid tiba – tiba pinsan. Anto salah satu murid melapor ke pihak sekolah. Dan pihak sekolah langsung membawa Bapak Farid ke rumah sakit. Namun ditengah perjalanan ternyata Bapak Farid menghembuskan nafas terakhirnya. Jenazah sakarang berada di Rumah Sakit Bunda ” ucap salah satu polisi.

Rasanya tidak percaya dengan kabar itu. Baru tadi pagi suamiku pergi dengan badan sehat dan bugar sekarang aku melihat suamiku pulang sudah tanpa nyawa.

“ Bapak, ibu ikhlas dan ridho engkau menjadi suamiku. Pengabdian dan harapanmu mendidik dan mencerdaskan anak bangsa sudah sampai di titik akhir. Pergilah dengan tenang pak. Meski berat hidup tanpamu, aku harus tegar. Ada anak kita yang sekarang ternyata ada dirahimku, Aku akan menjaga anak kita dengan sepenuh hati Pak.”

*) Biodata Penulis :

Khusni Nur Aini, S.Pd.I.

Saat ini, penulis bekerja di sebuah lembaga pendidikan full day yaitu di MI Modern Satu Atap Al Azhary di salah satu desa kecil di lereng Gunung Slamet tepatnya di daerah Purwokerto Banyumas Kabupaten Jawa Tengah.

Mengajar mata pelajaran Al Quran Hadist, dan aktif di berbagai kegiatan sosial masyarakat di lingkungannya.

Beberapa karya penulis diantaranya adalah buku antologi dengan judul: Kehilangan (Puisi, 2024), Potret Ramadan (Cerpen, 2024) dan Dalam Peluk Sastra (Cerpen, 2024)

Respon (3)

  1. Masya allah, ada bbrpa plajaran yg aku tngkap dri cerita ini, pertma membuatku smakin sadar akan wktu yg bgtu berharga dgn orang” tersayang, ke 2 ketulusan seorang suami dan ketabahan hati seorang istri🥺
    Terimakasih bu khusni, smoga smakin bnyak lg karya nya🥰

  2. Walaupun hanya sebuah cerpen tapi banyak hal istimewa yang didapat. Potret keluarga BPK Fadilah dengan segala keikhlasan dan kesabaran menjalani setiap ketentuan Allah semoga bisa menjadikan kit lebih bersyukur atas apa yg kita dapat sekarang.
    Cerita yg bagus. Semoga penulis bisa menulis lagi cerita2 yang menginspirasi kita semua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *