Oleh : Bagindo Yohanes Wempi
Setelah perayaan lebaran diefesienkan, lalu THR dihapuskan, Penulis juga menggugah para Kepala Daerah atau Kita semua agar halalbihalal atau open house ditiadakan juga, karena halalbihalal dan open house hanya menghabiskan anggaran negara.
Sedangkan subtansi dari acara itu tidak ada lagi secara kepentingan masyarakat badarai. Indikasi halalbihalal atau open house itu hanya pertemuan lingkaran internal para Kepala Daerah saja, sedang mereka sebelum lebaran selalu bersama atau sudah bagian dari ordal (orang dalam).
Sepengetahuan Penulis, saat ini dimana Pemerintah Daerah memiliki hutang atau tunda yang banyak, nanti akan muncul pula kecurigaan mengenai potensi penyalahgunaan anggaran negara untuk penyelenggaraan acara yang mewah dan berlebihan tersebut.
Situasi ini akan diperparah dalam konteks politik, open house atau halalbihalal seringkali dimanfaatkan sebagai ajang untuk menunjukkan kekuatan dan pengaruh arogansi kekuasaan yang pada dasarnya itu tidak diperlukan saat kondisi ekonomi gelap ini.
Jumlah tamu yang hadir, tokoh-tokoh penting yang datang, dan liputan media yang luas, terkesan menjadi indikator popularitas dan dukungan politik seorang pejabat saja tapi tidak untuk kepentingan rakyat atau tidak sarana membantu masyarakat.
Hitung Penulis yang hadir acara halalbihalal atau open house itu dipastikan hanya ordal saja yang notabene mereka selama ini sudah bahagian dari Kepala Daerah atau pejabat tersebut.
Sekarang saatnya acara halalbihalal atau open house itu ditiadakan atau dihapus budayanya ditengah kehidupan para Kepala Daerah yang menjunjung tinggi efesiensi anggaran dan target kemanfaatan kepada masyarakat.
Sekarang menurut Penulis tidak relevan lagi halalbihalal atau open house diadakan oleh Kepala Daerah atau pejabat tersebut dengan subtansi sudah menyimpang dari historis awal munculnya acara tersebut diera Soekarno dan Soeharto.
Menurut versi sejarahnya Penulis temui, istilah halalbihalal diperkenalkan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah pada tahun 1948. Saat itu, beliau mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk menggunakan konsep halalbihalal sebagai cara mempererat hubungan antar-pemimpin politik yang masih berselisih.
Menindaklanjuti saran tersebut, Soekarno mengundang para tokoh politik ke Istana Negara dalam momen Idulfitri 1948 untuk berkumpul dalam acara yang diberi nama “Halal bihalal.” Dalam pertemuan itu, para pemimpin duduk bersama, saling memaafkan, dan berusaha membangun kembali persatuan bangsa.
Secara historis, tradisi open house di kalangan pejabat Indonesia menguat sejak era Orde Baru, di mana para pejabat membuka kediaman mereka untuk menerima kunjungan masyarakat.
Tujuan utamanya adalah untuk mempererat tali silaturahmi, membangun kedekatan, dan menunjukkan bahwa pejabat negara adalah bagian dari masyarakat.
Selain itu, tradisi ini juga menjadi sarana untuk memperkuat jaringan sosial dan politik, serta membangun citra positif di mata publik.
Namun tujuan awal lahirnya halalbihalal atau open house tersebut tidak lagi seperti itu, Kepala Daerah dan pejabat yang mengadakan acara itu tidak lagi mengundang tokoh-tokoh masyarakat atau mengajak masyarakat hadir, tapi hanya sekedar acara yang pada akhirnya melihat orang dalam yang suka stor mungka bersama keluarga.
Atau para tokoh-tokoh yang pada dasarnya tidak ada pun acara halalbihalal atau open house tersebut mereka akan selalu hadir atau akan menemui.
Namun yang namanya lawan politik atau pihak yang kalah dalam proses pemilihan umum atau Pilkada kemarin tidak akan pernah diundang atau dihadirkan dalam acara open house atau halalbihalal tersebut, istilah “biduak lalu kiambang batawui” tidak terjadi di acara halalbihalal atau open house tersebut.
Jagan kan itu masyarakat sekitar rumah dinas Kepala Daerah tidak pernah diundang atau hadir dalam acara tersebut, akhirnya kepentinga ordal juga.
Saatnya Kepala Daerah atau pejabat menghilangkan acara halalbihalal atau open house sebagai budaya yang tidak baik lagi, mari buat acara atau budaya baru disaat lebaran ini yang lebih mendekatkan Kepala Daerah atau pejabat kepada seluruh lapisan masyarakat dan lapisan politik lainnya. (*)
Penulis adalah mantan anggota DPRD Kabupaten Padang Pariaman dan Kandidat Ketua KONI Provinsi Sumatera Barat