Oleh : Dr. Sumartono Mulyodiharjo, S.Sos.,M.Si.,CPS.,CSES, FRAEL*
FLEXING, atau perilaku memamerkan kekayaan, pencapaian, atau status sosial, dapat memberikan dampak yang beragam tergantung pada konteks dan cara melakukannya. Di satu sisi, flexing bisa menguntungkan jika digunakan sebagai strategi untuk membangun citra atau meningkatkan kepercayaan diri. Dalam dunia bisnis atau karier, menunjukkan keberhasilan secara strategis dapat menarik perhatian dan membuka peluang baru.
Misalnya, seorang pengusaha yang memamerkan hasil kerja kerasnya melalui pencapaian tertentu dapat memotivasi orang lain dan membangun kredibilitas. Namun, di sisi lain, flexing juga dapat merugikan jika dilakukan secara berlebihan atau tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. Tindakan ini sering kali dianggap sombong atau tidak sensitif terhadap kondisi sosial, terutama di lingkungan yang sensitif terhadap kesenjangan ekonomi. Selain itu, flexing yang tidak autentik atau didasarkan pada pencapaian palsu dapat merusak reputasi seseorang jika kebenarannya terungkap.
Lebih jauh lagi, flexing yang berlebihan dapat menciptakan tekanan sosial atau psikologis, baik bagi individu yang melakukannya maupun bagi audiensnya. Pelaku flexing mungkin merasa terjebak dalam kebutuhan untuk terus memamerkan hal-hal yang lebih besar untuk mempertahankan citranya, sementara audiensnya mungkin merasa iri, tidak puas dengan hidup mereka, atau bahkan tertekan karena merasa tidak mampu mencapai hal serupa.
Pada akhirnya, apakah flexing menguntungkan atau merugikan sangat bergantung pada niat, cara penyampaian, dan konteks sosial di mana tindakan tersebut dilakukan. Menggunakan pencapaian untuk menginspirasi dan membangun hubungan yang positif tentu lebih bermanfaat dibandingkan dengan sekadar mencari perhatian atau validasi.
Bolehkah kita flexing? Jawabannya tergantung pada niat, konteks, dan cara melakukannya. Flexing bukanlah sesuatu yang sepenuhnya salah atau benar, tetapi lebih kepada bagaimana dampaknya terhadap diri sendiri dan orang lain. Jika dilakukan dengan tujuan positif, seperti memotivasi orang lain atau merayakan pencapaian dengan rasa syukur, flexing bisa menjadi sesuatu yang diterima dan bahkan dihargai.
Namun, penting untuk mempertimbangkan waktu, tempat, dan audiens sebelum melakukannya. Flexing yang dilakukan tanpa sensitivitas terhadap kondisi orang lain dapat dianggap tidak pantas atau menyakitkan, terutama jika dilakukan di tengah situasi sulit, seperti krisis ekonomi atau lingkungan dengan kesenjangan sosial yang besar.
Kita juga perlu introspeksi, apakah flexing itu lahir dari kebutuhan untuk menunjukkan rasa bangga atas usaha kita, atau hanya sekadar mencari validasi dan pengakuan dari orang lain. Jika motivasinya hanya untuk pamer atau menonjolkan diri, ada baiknya untuk menghindari perilaku tersebut karena bisa berdampak negatif pada hubungan sosial dan reputasi.
Artinya, flexing boleh saja selama dilakukan dengan bijak, tidak merendahkan orang lain, dan disertai dengan sikap rendah hati. Yang lebih penting adalah bagaimana kita tetap menjadi pribadi yang autentik dan menggunakan keberhasilan kita untuk membawa manfaat bagi orang lain.
Flexing, atau memamerkan pencapaian, dapat membawa keberkahan atau kemudharatan tergantung pada cara dan niat di baliknya. Flexing yang mendatangkan keberkahan biasanya dilakukan dengan tujuan positif, seperti menginspirasi, memotivasi, atau berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Sebaliknya, flexing yang dilakukan secara berlebihan, tanpa empati, atau hanya untuk mencari perhatian sering kali membawa kemudharatan, baik bagi pelaku maupun orang di sekitarnya.
Contoh flexing yang mendatangkan keberkahan adalah ketika seseorang berbagi cerita tentang keberhasilan mereka dalam membangun usaha dari nol. Misalnya, seorang pengusaha kecil yang memamerkan toko pertamanya yang kini berkembang menjadi jaringan usaha besar. Ia membagikan kisah perjuangannya, lengkap dengan tantangan yang dihadapi, untuk menginspirasi orang lain agar tidak mudah menyerah.
Flexing semacam ini tidak hanya menunjukkan hasil kerja keras, tetapi juga memberikan pelajaran berharga kepada audiensnya. Sebaliknya, flexing yang mendatangkan kemudharatan terjadi ketika seseorang memamerkan kemewahan atau pencapaian secara berlebihan dan tanpa sensitivitas sosial. Misalnya, memposting video liburan mewah di tengah situasi sulit seperti pandemi atau krisis ekonomi, tanpa ada pesan empati atau inspirasi. Tindakan ini dapat melukai perasaan orang lain yang sedang menghadapi kesulitan, menciptakan rasa iri, atau bahkan memancing kebencian.
Flexing yang mendatangkan kemudharatan juga dapat terjadi ketika seseorang memamerkan sesuatu yang sebenarnya tidak sepenuhnya miliknya, seperti meminjam barang mewah hanya untuk menunjukkan status palsu di media sosial. Hal ini tidak hanya merugikan reputasi jika kebenarannya terungkap, tetapi juga menciptakan tekanan psikologis pada pelaku karena harus terus mempertahankan citra yang tidak autentik.
Untuk memastikan flexing mendatangkan keberkahan, fokuslah pada niat untuk berbagi manfaat dan inspirasi, bukan sekadar mencari validasi. Hindari tindakan yang dapat melukai perasaan orang lain dan pertimbangkan konteks sosial sebelum melakukannya. Dengan cara ini, flexing dapat menjadi sarana untuk menyebarkan kebaikan, bukan sekadar ajang pamer.
Teori komunikasi menganalisis fenomena flexing melalui berbagai perspektif, seperti teori interaksi simbolik, teori presentasi diri, hingga teori komunikasi digital. Setiap teori memberikan pemahaman yang berbeda tentang bagaimana dan mengapa seseorang terlibat dalam flexing, serta dampaknya terhadap hubungan sosial dan identitas pribadi.
Dari perspektif teori interaksi simbolik, flexing dipahami sebagai bentuk komunikasi simbolis di mana seseorang menggunakan barang, pencapaian, atau pengalaman untuk menciptakan makna tertentu dalam interaksi sosial. Dalam hal ini, flexing adalah cara individu mengirimkan pesan kepada audiens tentang status, keberhasilan, atau identitas mereka. Barang mewah, liburan eksklusif, atau pencapaian besar menjadi simbol yang membantu individu membangun citra diri yang diinginkan.
Melalui teori interaksi simbolik, flexing dipahami sebagai bentuk komunikasi simbolis di mana individu menggunakan objek, pengalaman, atau pencapaian untuk menciptakan dan menyampaikan makna tertentu dalam konteks sosial. Dalam hal ini, barang mewah seperti mobil, pakaian, atau gadget terbaru bukan sekadar benda material, melainkan simbol yang mencerminkan status, kekuasaan, atau kesuksesan. Proses ini tidak hanya mengungkapkan identitas diri seseorang, tetapi juga menciptakan ekspektasi tertentu dari audiens, yang akan merespons berdasarkan makna yang diinterpretasikan dari simbol-simbol tersebut.
Menurut teori presentasi diri dari Erving Goffman, flexing dapat dilihat sebagai “front stage behavior,” yaitu perilaku yang dilakukan individu di depan audiens untuk mengontrol persepsi orang lain terhadap mereka. Dalam dunia digital, media sosial menjadi panggung utama di mana individu memamerkan kehidupan yang dianggap ideal atau sukses. Tujuannya adalah untuk menciptakan kesan positif, mendapatkan validasi, atau memperkuat identitas tertentu.
Dalam konteks teori komunikasi digital, fenomena flexing dianalisis sebagai hasil dari perubahan pola komunikasi di era media sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, atau Facebook memungkinkan individu untuk dengan mudah mempublikasikan konten visual yang menonjolkan keberhasilan atau status sosial mereka.
Algoritma media sosial juga berperan dalam mendorong flexing, karena konten yang menarik perhatian cenderung mendapatkan lebih banyak likes, komentar, dan pengakuan. Hal ini memotivasi individu untuk terus memamerkan aspek terbaik dari kehidupan mereka, bahkan jika itu tidak sepenuhnya mencerminkan realitas.
Teori presentasi diri, yang diperkenalkan oleh Erving Goffman, menyoroti bahwa flexing merupakan bagian dari “panggung depan” seseorang, yaitu perilaku yang ditampilkan kepada publik untuk membentuk persepsi tertentu. Dalam konteks media sosial, individu cenderung mengatur citra diri mereka dengan hati-hati melalui foto, video, atau cerita yang dipilih secara strategis.
Tujuannya adalah untuk menciptakan kesan tertentu, seperti kesuksesan, kebahagiaan, atau gaya hidup ideal, yang sering kali tidak sepenuhnya mencerminkan realitas. Media sosial menjadi ruang di mana flexing berfungsi sebagai alat untuk mendapatkan validasi, pujian, atau bahkan pengaruh sosial.
Teori kesenjangan sosial juga relevan dalam menganalisis dampak negatif flexing. Flexing dapat memperbesar kesenjangan sosial secara simbolis, terutama ketika audiens merasa bahwa apa yang dipamerkan tidak dapat mereka capai. Ini dapat menimbulkan perasaan rendah diri, iri, atau bahkan kebencian, yang pada akhirnya memengaruhi dinamika hubungan sosial.
Secara keseluruhan, teori komunikasi membantu memahami bahwa flexing adalah bentuk komunikasi yang kompleks, dipengaruhi oleh konteks sosial, teknologi, dan motivasi individu. Fenomena ini mencerminkan cara manusia menggunakan komunikasi untuk membangun identitas, mencari pengakuan, dan memperkuat hubungan sosial –tetapi juga memiliki risiko memengaruhi kesejahteraan mental dan dinamika sosial secara negatif.
Selain itu, teori kritik sosial membantu menganalisis flexing sebagai fenomena budaya yang mencerminkan nilai-nilai masyarakat konsumeris. Dalam budaya yang menekankan materi sebagai ukuran keberhasilan, flexing menjadi alat untuk menunjukkan kepemilikan atas simbol-simbol kesuksesan yang diakui secara sosial.
Namun, ini juga menunjukkan adanya pergeseran nilai dari esensi keberhasilan yang sejati, seperti kerja keras dan kejujuran, ke fokus pada penampilan luar yang mungkin tidak autentik. Teori komunikasi digital menyoroti bagaimana platform media sosial memfasilitasi dan memperkuat fenomena flexing. Algoritma yang digunakan oleh platform seperti Instagram atau TikTok cenderung mendorong konten yang menarik perhatian, sehingga individu merasa terdorong untuk memamerkan aspek-aspek kehidupan mereka yang paling menarik atau spektakuler.
Namun, fenomena ini juga membawa konsekuensi, seperti penciptaan tekanan sosial untuk mempertahankan citra tertentu dan ekspektasi yang tidak realistis terhadap kehidupan. Flexing menjadi semacam kompetisi tidak langsung untuk mendapatkan pengakuan dan perhatian, yang sering kali membuat individu merasa terjebak dalam siklus pencitraan diri.
Secara keseluruhan, analisis fenomena flexing dalam teori komunikasi mengungkapkan bahwa ini adalah bentuk komunikasi yang kompleks dan berlapis. Flexing tidak hanya mencerminkan kebutuhan individu untuk mendapatkan pengakuan atau validasi, tetapi juga menciptakan dampak yang lebih luas terhadap hubungan sosial, kesejahteraan mental, dan nilai-nilai budaya.
Untuk memahami fenomena ini secara menyeluruh, penting untuk mempertimbangkan interaksi antara motif individu, teknologi, dan konteks sosial yang membentuk perilaku flexing di era modern. []
*) Penulis merupakan Motivator dan Akademisi