Catatan : Pinto Janir*
Sungguh, ia terhantar sudah dalam ketidaksengajaan diri di ruang entah. Dia tiba di ruang itu dalam waktu yang tepat sekali.
Dalam waktu dan zaman bercarut carut, dia adalah bintang!
Dalam zaman serba teya ia adalah orang orang di atas mimbar kepercayaan di ruang galau kebudayaan di atas kursi berduri duri.
Inilah zaman di mana derita dianggap taman bunga.
Gila…!
Ia diangkat bukan karena ia hebat. Ia diberi jabatan bukan karena ia terhormat.
Bukan karena itu, bro!
Nasib baik yang membuatnya menjadi berpangkat. Banyak orang hebat, tapi hanya sedikit yang selamat.
Banyak orang jujur, tapi sedikit yang diberi tempat terhormat dan diangkat.
Banyak orang jujur, sebanyak itu pula yang terkubur dan terbujur di atas nisan zaman yang kian tebal diselimuti awan gelap kebohongan dan kepalsuan.
Ia bukan orang nan hebat-hebat amat. Bahkan kesalahan dan kebohongan mengalir di langkah yang sesat dan di otaknya yang kumuh.
Namun, ruang waktu yang tepat yang membuat dia diberi tempat, lalu dihormati.
Sejak itulah kecelakaan di ruang keberuntungan menyertai hidupnya.
Ia bernyali. Dua uratnya sudah putus. Urat malu dan urat takut.
Lenyap!
Jangankan pada insan, langit saja berani ia gugat sambil mencaci maki.
Bila ia tegak, langit terpaksa mengalah sendiri. Dia merasa paling tinggi. Merasa paling segalanya.
Orang lain di matanya, tak lebih seonggok sampah busuk penuh langau hijau.
Walau di langit ada bintang-bintang, tapi ia tak suka pada keindahan malam.
Mengapa?
Baginya yang bintang itu adalah ia dan segenap sistem jiwa raganya. Bintang di langit lain, ia anggap kunang-kunang saja.
Perhiasan langit yang ia suka hanyalah bulan. Karena , baginya bulan adalah harapan di tempat mana ia menguburkan segala logika.
Filosofi hidupnya melemparkan logika, merebut dan menjangkau harapan dengan segala cara.
Biarlah kening berluluk, asal tanduk mengena. Biarlah tukang urut raja, asal pangkat dan tahta. Biarlah jadi badut dan bahan mainan serta lucu lucuan sang raja.
Biarlah jadi tukang jilat pantat raja.
Biarlah tak apa apa. Biarlah. Yang penting dunia tahu, ia diberi tempat. Ia diberi pangkat. Ia mendapat ruang. Ia tiba di waktu yang tepat!
Yang tidak sejalan dengannya, ia beri titian berakuk. Yang menghambat tujuannya, ia seberangkan orang pada ruang kecelakaan.
Kini, ia berada pada suatu malam berbulan. Harapannya hidup bernapas bias sinar bulan.
Bila bulan ditutup awan, ia marah sendiri. Amuknya menjadi badai mengusir awan hingga bulan kembali berseri.
Ia sering bercakap-cakap dengan bulan di bawah lamunan malam.
Pada matahari ia belajar filsafat diri yang tak pernah kunjung ia pahami.
Yang ia pahami adalah pura-pura mengerti. Pura pura paham. Pura pura asli. Pura pura jujur. Pura pura setia.
Terkadang ia ingin seakan-akan menjadi matahari. Ia ingin seolah-olah menyinari walau pada kenyataan, ia adalah sang gelap.
Tak peduli ia. Kadang ruang terang pun ia sinari seakan-akan terang sekali. Padahal yang ia beri adalah ruang kepalsuan dengan etalase kedustaan yang menyembilu.
Kalau ada orang lain yang jauh lebih terang dari dirinya, ia akan menjadi ” Sang Penggelap” kepercayaan raja.
Lihatlah, telunjuknya lurus, kelingkingnya berkait.
Mulutnya manis. Kucindannya mentika langat.
Soal tunjuk menunjuk, ia belajar banyak pada beruk. Karena ia pernah meneliti tunjuk beruk.
Orang mau ter perintah, walau sekalipun sekalipun disuruh menghamburi jurang.
Aneh, orang percaya pula pada tutur katanya yang tersusun walaupun kenyataannya adalah dusta dusta.
Kebutaannya, kebutaan sejati. Bola matanya buta, mata hatinya bula pula.
Ia memandang pakai mata keperluan dan kepentingan. Bukan pakai mata rasa.
Jangan berharap kesetiaan dan jalinan persahabatan kepadanya.
Berharap nilai solidaritas dan persahabatan sejati
kepadanya sama saja dengan pungguk merindukan bulan..!
Ia mulai buta. Ia tak tahu lagi mana ruang yang terang dan mana ruang yang gelap sekali.
Sawahnya sudah tak berpematang. Namun ia tetap seakan-akan.Seakan-akan sawahnya masih berpematang. Seakan akan lahan gersangnya masih menghijau.
Sebenarnya ia adalah orang kering, jabatan dan pangkat yang membuatnya basah.
Ia sebenarnya shock ketika jabatan yang tak pernah ia duga itu dilekatkan padanya di saat ia masih telanjang bulat.
Sebenarnya ia menderita. Tapi, ia anggap ini adalah taman bunga. Kepercayaan yang berlebihan yang disandangkan padanya, telah menganiaya dirinya sendiri.
Tapi ia tetap tersenyum. Ia tetap merasa bahagia dalam ketakbahagiaan yang diam-diam sudah lama bermakam dalam jiwanya.
Tiba masanya.Api padam puntung hanyut. Waktu dan ruang yang meninggikannya dan waktu yang ruang pula yang merendahkannya.
Ia menunggu runtuh dan jatuh.
Dulu ia diangkat karena kesalahan dan kekeliruan, kini ia dijatuhkan oleh putaran waktu bermuara kebenaran.
Ujung dari sebuah waktu adalah
” kebenaran”.
Kini, ia terenggut.Bulannya dimakan laut. Mataharinya jatuh redup. Bintangnya telah menjadi kunang-kunang.
Sekarang,ia berjalan diri seorang. Ia melihat orang seperti orang-orang. Sedangkan orang-orang memandangnya bukan lagi sebagai orang.
Kini ia adalah orang seperti.
Adalah orang seakan-akan.
Adalah dia yang seolah-olah.
Ia seperti seakan-akan dan seolah-olah.
Lalu ia sebagai siapa kini?
Sebagai sampah di penghabisan zaman.
Suraugadang Bukittinggi, Rabu 9 April 2025
*) Penulis adalah Wartawan, Sastrawan, Penyair, Pelukis dan Musisi