Cerpen : Yunardi Sikumbang*
SEORANG pemuda, Almin Bachtiar tiba-tiba berbunga-bunga. Impiannya sejak kecil menjadi kenyataan. Dia dinyatakan lulus tes Angkatan Laut.
Kelihatan dia sedang membaca surat panggilan panggilan dari markas TNI Angkatan Laut Teluk Bayur yang baru saja diterima dari Kapalo Kampuang Parak Jigarang di depan rumahnya. Selesai membaca dia kelihatan bergembira.
“Alhamdulillah aku diterima jadi tentara. Akhirnya cita citaku jadi tentara tercapai. Terima kasih ya Allah. terima kasih teman temanku yang telah mendorongku untuk bisa lulus masuk jadi angkatan laut. Aku janji akan mengabdi kepada negara. Menegakkan kebenaran, keadilan dan mengembangkan nilai agama dan adat di nagari dan negara, dan mengangkat harkat dan martabat keluarga. Mengangkat marwah keluarga di tengah nagari.”
Almin kelihatan riang dan gembira ketika baru saja menerima surat bahwa, dia dipanggil untuk latihan ke Surabaya Sebagai TNI AL. Dia berlari musuk rumah untuk memberitahukan berita gembira ini pada Emaknya.
“Mak…..!Mak…. !Maaak! AKu diterima jadi tentara mak. …..!”
Mak Rahmah terkejut melihat anak sulungnya datang ke rumah dengan sangat gembira.
“Syukurlah Nak, tercapai juga cita citamu. Emak berharap nanti ketika sudah bertugas jangan lupa sama orang kampung dan Emak di Parak Jigarang ini. Emak bangga punya anak bisa jadi tentara.”
Almin satu-satunya putra kampuang ini yang bisa lulus diangkat jadi tentara. Banyak yang melamar, tapi hanya dia yang dipanggil untuk latihan ke Surabaya. Almin bertekad ingin melanjutkan perjuangan mamak-mamak dan urang sumandonya yang dulu banyak jadi tentara, walaupun sudah banyak yang meninggal dan ada yang sudah pensiun.
Orang kampung Almin termasuk banyak yang jadi tentara pejuang, baik di zaman sebelum merdeka sebagai perintis kemerdekaan, maupun sebagai tentara veteran.
Almin muda ingin melanjutkan perjuangan pendahulunya. Dia sering melihat mamaknya, urang sumandonya yang jadi tentara balik pergi perang, dengan pakaian seragam tentara lengkap yang kelihat gagah perkasa. Baik ketika perang dengan Belanda dalam Agresi Belanda 1 dan Agresi 2.
Dia juga menyaksikan bagaimana mandenya, emaknya dianiaya oleh tentara pusat ketika terjadi pergolakan PRRI, termasuk juga ketika PKI memberontak di negeri ini. Terbayang dan terngiang semua itu oleh Almin. Terlihat dia termenung dan merenung.
Melihat dan mengalami kejadian di atas dilatarbelakangi oleh peristiwa demi peristiwa, maka pemuda Almin mau “membangkik batang terandam”.
Nagari baru saja selesai perang saudara, pembrontakan PKI. Ekonomi keluarga dan masyarat sangat terpuruk waktu itu. Untuk makan saja susah.
Disisi lain, Almin sedang sedih menghadapi masalah pribadinya. Sebagai anak muda, Almin juga punya seorang teman wanita yang amat dicintainya, tetapi karena Almin dituduh oleh keluarga pacarnya sebagai keluarga yang miskin dan dari keturunan preman yang suka berjudi, maka Almin ditolak sebagai calon minantu oleh keluarga sang kekasih.
Ada yang sedang mengganjal hati Almin waktu mau berangkat bertugas ke Pulau Jawa, yaitu, Emaknya sering bertengkar dengan Bapaknya yang tidak mampu menghidupi ekonomi keluarga. Orang tua Mainar, kekasihnya menolaknya sebagai calon menantu. Terasa sekali oleh Almin kehidupan keluarganya susah dan sengsara, oleh karena itu, dengan diterimanya dia menjadi Tentara, dia melihat ada secercah harapan untuk bisa hidup lebih baik.
Didorong oleh kondisi itulah pemuda Almin bertekad pergi ke tanah Jawa bertugas sebagai abdi negara dan bertekad memperbaiki kehidupan keluarga dan kaumnya.
**
Suasana di pelabuhan Teluk Bayur terlihat ramai. Almin diantar oleh keluarganya antara lain emaknya, Mamaknya Angku ligi, adiknya Zulkifli, dan dua adik perempuannya. Hari ini Almin berangkat ke Pulau Jawa. Tampak kelihatan sekali keperkasaannya. Badan tegap, tinggi dan berwibawa.
“Aku pergi Mak. Do’akan anakmu selamat dan sukses di Jawa. Saya akan pulang nanti setelah berhasil. Aku akan kembali ke pangkuan Amak setelah cita citaku tercapai, punya kedudukan, punya pangkat dan jabatan yang bisa mengangkat derajat kaum dan keluarga kita nantinya.” Alminmenyalami lalu memeluk wanita paruh banyak yang begitu berarti baginya itu.
“Pergilah Min! Jaga dirimu baik baik!
Kejarlah cita citamu itu! Tapi jangan lupa shalat Nak! Jadilah seorang tentara yang setia menegakkan kebenaran! Doa Mak selalu menyertaimu.”
Emak Rahma memberikan bekal berupa sambal rendang dan kain sarung dan kitab Al Quran pada Almin. Almin kelihat terharu menerima oleh- oleh dan nasehat Maknya.
Almin sedih sambil memeluk Maknya yang sudah menua.
Berangkatlah Almin berlayar dengan kapal menuju kota Surabaya, guna menjalankan latihan dan bertugas sebagai TNI AL.
Setelah tiba di kota Surabaya Almin langsung melapor kepada komandan TNI Al di Markas Lantamal. Dia langsung masuk barak asrama selama beberapa bulan.
Selesai menjani latihan dia langsung bertugas sebagai Tentara Republik Indinesia di pelabuhan Merak Surabaya.
Almin terkenal pemberani dan patuh pada perintah komandan. Dia banyak berhasil menangkap penyeludup yang masuk lewat pelabuhan. Alimin dipercaya sebagai komandan regu setiap operasi penangkapan.
Pelabuhan Merak Surabaya termasuk kawasan yang ramai, banyak terjadi berbagai tindak kejahatan, baik kasus penyelundupan maupun perdagangan barang-barang ilegal yang datang dari luar negeri seperti dari Singapura, Hongkong, dan negara lainnya.
Di sanalah Almin muda bertugas.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, pada suatu hari terjadilah suatu peristiwa penting dalam kehidupan Almin.
Hari itu dia ditugaskan patroli di kawasan pelabuhan. Wali kota Surabaya meminta agar kawasan pelabuhan Merak ditertibkan. Sebab banyak masyarakat melapor tentang tindak kriminal, perjudian, pelacuran, tindakan asusila dan melanggar hukum lainnya.
Dengan anggota 10 orang Almin melakukan operasi pengamanan. Di sudut pelabuhan, tepatnya dalam sebuah kafe yang remang remang sering terjadi kericuhan dan menjadi lokasi berjudi dan ada beberapa perempuan malam. Waktu itu pasukan Almin langsung masuk lokasi.
Ternyata benar, sekitar 7 orang lelaki berbadan tegap terlihat sedang duduk melingkar mengelilingi meja bulat panjang memegang kartu Remi. Dihadapan mereka ada minuman keras dan seonggok uang. Almin dan anggotanya langsung menyergap gerombolan yang sedang berjudi itu. Ketika pengerebekan berlangsung tina-tiba seorang anggota komplotan judi itu mengeluarkan senjata dan berniat melawan.
“Jangan ada yang bergerak. Semua angkat tangan,” seru Almin dengan suara lantang sambil mengacungkan senjata ke atas.
Kelompok penjudi terkejut, sembari mengangkat tangan, kecuali ada satu orang yang berbadan tegap. “Hentikan penyergapan ini. Saya Anggota TNI Angkatan Laut.” Penjudi yang satu ini bersuara tak kalah lantang.
Almin tertegun sejenak. Ternyata anggota yang sedang berjudi itu komandan mereka di markas. Dia tidak mengira bahwa salah seorang pelaku judi itu adalah seorang TNI AL.
Namun Almin yang memimpin penggerebekan tidak gentar. Tanpa pikir panjang Almin langsung menangkap oknum komandannya itu bersama pejudi lainnya. Lalu digiring ke markas TNI Al Surabaya. Sikap tegas tak pandang bulu itu dilakukannya karena teringat pesan emaknya bahwa ia harus berani melawan kemungkaran. Siapapun yang salah harus dilawan. Termasuk komandannya yang tertangkap basah sedang berjudi. Kebenaran harus ditegakkan.
Sampai di markas Almin dipanggil dan disidangkan dengan komandannya.
Entah bagaimana ceritanya, justru Almin dipersalahkan karena berani menangkap komandan. Almin sudah berusaha membela diri tapi komandannya yang lebih tinggi pangkatnya memecat Almin karena dinilai mempermalukan komandan dan menangkapnya.
Akhirnya, Almin dipecat sebagai anggota TNI Al dengan alasan tidak loyal kepada komandan. Kabar pemecatannya tak terbetik sedikit pun ke kampung halaman. Almin menutupnya rapat-rapat. Dia paling tidak suka menceritakan masalah pribadi kepada orang lain.
Hanya ada seorang mamaknya yang tahu karena membaca di koran Surabaya. Isi beritanya pun melenceng dari kejadian sebenarnya. Ada seorang TNI kena pecat karena lari dari kesatuan tanpa koordinasi atau melapor ke kesatuan. Sang Mamak akhirnya tahu bahwa anggota TNI yang dipecat itu ternyata keponakannya.
Kendati berat, Alimin mau tidak mau harus menerima kenyataan pahit itu. Tapi baginya, pemecatan tersebut bukan akhir dari perjuangan hidup.
Sejak dipecat Almin bekerja dipelabuhan sebagai pedagang. Dia beli barang dari kapal-kapal yang masuk ke pelabuhan kemudian dijual ke Pasar Turi Surabaya.
Karena keuletan dan ketekunannya, tidak butuh waktu begitu lama, Almin berhasil sebagai pedagang. Apalagi teman-temannya di Angkatan Laut dulu banyak yang membantu.
Tidak lama melakoni profesi sebagai pedagang barang-barang tersebut, Almin mengembangkan sayap bisnisnya dengan mendirikan rumah makan Padang. Ternyata usaha rumah makannya maju pesat pula.
Setelah menuai kesuksesan dari membuka usaha rumah makan, barulah Alimin pulang ke Padang dan mengabarkan bahwa dia berhenti jadi tentara dan beralih profesi menjadi pengusaha. Penderitaan hidupnya di rantau tidak pernah diberitakan keluarganya di kampung. Baru ketika ekonominya sudah mapan dia mengabarkan pada emaknya di kampung. Ternyata Almin sangat berbakat dan cocok jadi pengusaha.
Kondisi ekonomi Almin terus membaik. Banyak adik dan kemenakannya di kampung diboyong ke Surabaya untuk bekerja di rumah makan miliknya.
Tak hanya puas dengan sukses sebagai pengusaha rumah makan Padang, Almin melebarkan sayap bisnisnya dibidang perminyakan dan transportasi. Di kedua bidang bisnis ini, bintang Almin semakin cemerlang.
Bisnisnya itu melesat pesat. Dusanak di kampung yang hidup kesusahan makin banyak dibawa untuk bekerja di perusahannya.
Kabar sukses Almin di tanah rantau akhirnya tercium juga oleh seorang sahabat waktu kecilnya di kampung. Thamrin namanya. Pertemuan keduanya berlangsung saat Almin pulang kampung.
“Min, saya dengar kamu sudah berhasil di Surabaya. Sudah jadi orang kaya, punya banyak perusahaan. Bangunlah kampuang lagi!” Thamrin menepuk pundak sahabat dari kecilnya itu.
“Apa yang perlu dibangun Amrin…!” Almin menanggapi pembicaraan temannya yang seperguruan di kampung itu spontan.
“Buatlah mushala tempat anak anak mengaji dan shalat, atau rumah gadang untuk kaum kita!”
“Kalau membangun mushalla tanggung tu Amrin. Kenapa kita bangun masjid saja sekalian.”
“Lebih bagus itu. Tapi apakah kamu cukup punya dana untuk membangun masjid?” Thamrin belum tahu kedalaman isi saku-saku sahabatnya itu.
“Insha Allah Amrin!” Alimin meyakinkan ‘konco palangkin’ nya yang sama sama tidur dulu di Mushalla Kariang.
Berawal dari dialog ringan itu Thamrin menyediakan diri mewakafkan tanahnya membangun masjid di tengah kampung. Maka, rencana pembangunan rumah ibadah itu dirampungkan. Dengan gotong royong bersama masyarakat dan dimodali oleh Almin secara pribadi.
Pembagunan masjid berlangsung cepat, karena Almin punya banyak uang. Hanya ada kendala sedikit ketika pembebasan tanah. Namun karena kegigihan dan niat baik Thamrin selaku pewakaf tanah, masalah tersebut bisa diatasi dengan baik.
Pembangunan masjid yang kemudian diberi nama Masjid Al Bahri itu tuntas sesuai rencana. Masjid megah tersebut diresmikan oleh Wali Kota Padang waktu itu. Ternyata sang wali kota merupakan adik leting Almin waktu bertugas sebagai TNI AL.
Tak hanya Wali Kota Padang, waktu peresmian Masjid megah itu, Almin menghadirkan mubaligh kondang berjuta umat, KH. Zainuddin MZ.
Tak lama setelah itu Almin juga membangun masjid di daerah asalnya Kunci Belimbing, Kuranji. sekarang. Di sana dibangun masjid yang diberi nama Masjid Nurhasannah. Masjid ini sempat diresmikan dan ditandatangani prasasti peresmiannnya oleh presiden SBY.
Almin yang jadi pengusaha kaya itu juga memberangkatkan kedua orangtuanya ke tanah suci mekkah, termasuk adik adiknya. Ekonomi sanak saudaranya dibantu. Laki laki yang nganggur di kampung diboyong ke Surabaya untuk bekerja.
Dengan prestasi membangun dua masjid, kepedulian dengan orang kampung, Almin belum puas mengabdi untuk kampung halaman. Terakhir pengusaha rendah hati itu menghimpun dan memgumpulkan dunsanak saparuik tujuh nagari di Sumatera Barat. Tujuh Nagari tersebut, yakni Sungai Jambu, Padang Sibusuk, Koto Anau, Gunuang Talang, Solok Kota, dan Kota Padang.
Tak salah, Almin, putra terbaik urang Parak Karambi, Parak Jigarang, Pauh Sambilan Kuranji, Padang diangkat sebagai Datuak Rajo Sikumbang yang dilewakan di Sumani Saniang Baka Sulit Air Solok.
Terima kasih Datuak Rajo Sikumbang yang telah “mambangkik batang tarandam” Di Nagari kito.
Parak Jigarang, 13 April 2025 (Ulang Tahun ke-1 Rumah Gadang Uwak Radiah)
*) SEKILAS TENTANG PENULIS
Yunardi Sikumbang, lahir di Parak Jigarang, Kelurahan Anduring, Kecamatan Kuranji, Kota Padang, 13 Juli 1964. Alumni IKIP Padang (sekarang Universitas Negeri Padang) ini merupakan seorang pendidikan di sejumlah SMP di Sumbar. Pengabdiannya sebagai PNS diakhiri sebagai Pengawas SMP Disdik Kota Padang awal 2025.
Di samping berprofesi sebagai seorang guru, Yunardi juga aktif menulis di berbagai media cetak di Padang: Haluan, Singgalang, Padang Ekspres dan Mingguan Canang. Karya tulisnya meliputi; cerpen, artikel, dan kritik sastra. Sekarang aktif menulis artikel di media online fokusumbar.com.