Kota yang Hidup karena Orang Mati

Puisi : Yuwanda Efrianti*

Mereka yang mati di bawah tanah, kini menghidupkan kota di atasnya.

Maukah kamu berjalan di atas tulang-belulang orang yang tidak dikenal?
Bukan di kuburan.

Tapi di jalanan kota. Di lantai hotel. Di taman indah. Di lubang tambang yang jadi tempat piknik keluarga.

Kedengarannya seram? Tapi itulah kotaku. Kota yang tidak tumbuh, tapi dibangun di atas nyawa.

Bukan dongeng. Kotaku benar-benar hidup dari kematian.
Dulu, ini kota tambang. Bukan tambang biasa, tapi tambang batubara yang digali “orang rantai”, para tahanan kerja paksa.

Tangannya terbelenggu rantai. Lehernya dirantai. Makannya tak tentu. Tidurnya beralaskan tanah pengap.

Ada ribuan yang mati di bawah tanah.
Tertimbun. Sesak. Kemudian dilupakan.
Tapi kotaku tidak melupakan. Penyiksaaan mereka dijadikan monumen.

Saat banyak kota berlomba-lomba menyembunyikan masa lalunya di balik kaca modernitas, kotaku memeluk masa lalunya erat-erat. Kota mungil ini seperti museum hidup dengan jalanan yang masih menyimpan jejak sepatu para kolonial, dan bangunan tua yang menolak roboh hanya demi menyapa generasi baru.

Di sinilah sejarah bukan sekadar bacaan buku pelajaran, tapi pengalaman yang bisa dihirup langsung lewat aroma batubara yang masih menggantung di udara.

Di antara kota-kota tambang bekas Belanda, Kotaku berdiri paling tenang tapi juga paling bising. Tenang karena udaranya tak sepadat dulu, bising karena cerita yang terus hidup, bahkan ketika para pelakunya sudah terkubur dalam tanah basah bernama sejarah.

Ada lampu. Ada tiket. Ada guide yang bercerita sambil tersenyum.
Tapi lorong itu tidak lupa.
Bau besi masih tinggal. Dindingnya masih basah. Kalau diam sejenak, rasa itu bisa terdengar layaknya bisikan bukan dari hantu, tapi dari sejarah yang belum selesai.

Kotaku tak menutupi masa lalunya. Tapi juga tidak membungkusnya dengan duka.
Ia menyulap luka menjadi pelajaran.
Penderitaan jadi tontonan.
Kematian jadi pemasukan.

Ironis? Mungkin.
Tapi jujur, inilah cara paling masuk akal untuk menghidupkan mereka yang dulu mati diam-diam.

Orang bilang, sejarah itu pelajaran. Tapi di Kotaku, sejarah bukan cuma pelajaran. Dia bisnis.
Dia daya tarik.
Dia alasan orang datang.

Dan jujur saja, itu bukan hal buruk. Karena lebih baik sejarah dipeluk, daripada dibuang. Lebih baik luka dilihat, daripada disembunyikan.

Yang salah itu bukan mengenang. Yang salah itu melupakan.

Sawahlunto bukan kota mati.
Justru selalu hidup

karena mereka yang mati tak pernah benar-benar pergi.

———

*) Penulis adalah Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Imam Bonjol, Peserta Student Literacy Camp (SLC), pernah menimba ilmu menulis di Bengkel Literasi Rakyat Sumbar, Bengkel Literasi Indonesia (Belanesia)

Exit mobile version