Oleh : Ibnu Fikri*
KITA hidup di zaman di mana influencer lebih dipercaya daripada pendapat para profesor. Opini yang viral seringkali lebih kuat daripada hasil penelitian yang telah dilakukan selama bertahun-tahun. Hoaks semakin banyak beredar, sementara mereka yang telah belajar dan berpengalaman puluhan tahun malah diabaikan. Lalu, di mana perginya rasa hormat terhadap pakar?
Fenomena yang mengkhawatirkan ini terlihat jelas di banyak ruang publik, baik di dunia nyata maupun maya, di mana kita menyaksikan krisis keahlian. Dulu, gelar doktor atau profesor adalah simbol otoritas ilmiah. Namun kini, gelar tersebut sering dianggap sebagai bahan ejekan. “Ah, dia cuma paham teori, nggak tahu kondisi sebenarnya,” kata sebagian orang. Seolah-olah gelar akademik itu menjadi beban, bukan kebanggaan.
Selain itu, ada juga banyak “ahli instan” yang sok tahu tentang agama. Coba lihat komentar-komentar di media sosial ketika seorang doktor berbicara tentang agama. Tak jarang muncul komentar seperti “Ah, sesat nih!” atau “Ngomongnya ribet, serba salah.” Padahal yang berbicara adalah orang yang telah menghabiskan puluhan tahun untuk meneliti, membaca, dan mendalami data.
Di tengah situasi ini, suara orang biasa lebih dipercaya. Ini bukan kesalahan mereka, melainkan akibat algoritma yang memprioritaskan viralitas, bukan kualitas. Influencer yang mereview obat herbal tanpa dasar ilmiah bisa lebih cepat tersebar daripada jurnal ilmiah yang terpercaya. Selebgram bahkan bisa menjadi panutan dalam hal gizi, meski mereka tak tahu apa itu kalori.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana publik mulai merasa lelah dengan bahasa ilmiah yang terasa kaku, birokrasi yang lamban, dan institusi yang dianggap hanya untuk kalangan tertentu. Namun, kelelahan ini memiliki dampak serius.
Ketika masyarakat lebih memilih untuk “percaya siapa saja yang punya pemikiran sama,” maka ilmu pengetahuan dan logika pun bisa terabaikan. Yang lebih memprihatinkan, banyak pakar yang justru menghindar dari ruang publik. Mereka merasa nyaman di balik tumpukan buku dan jurnal. Padahal, jika para ahli memilih untuk diam, ruang itu akan diisi oleh “ahli instan” yang muncul dari cuplikan video, bukan dari kurikulum yang sah.
Lihatlah bagaimana pendidikan dikritik oleh orang yang bahkan tidak pernah mengajar di kelas. Ekonomi dibahas oleh influencer yang mempelajarinya lewat video TikTok. Politik dibahas dengan logika tribal: siapa lawan, siapa kawan, bukan siapa yang benar dan siapa yang salah.
Masalah ini lebih dari sekadar soal gengsi ilmu. Ini berhubungan langsung dengan arah bangsa. Tanpa kepakaran, keputusan menjadi bias, kebijakan jadi reaktif, dan solusi hanya bersifat sementara. Negara tak bisa dibangun hanya dengan semangat, tapi juga dengan pengetahuan yang tepat.
Bayangkan jika seorang pilot digantikan oleh penumpang hanya karena dianggap “terlalu banyak teori.” Atau sebuah rumah sakit dipimpin oleh netizen karena “dokternya terlalu kaku.” Konyol? Ya, tapi itulah kenyataannya dalam banyak aspek kehidupan kita saat ini.
Kita sedang berada di persimpangan sejarah: antara melanjutkan peradaban yang berbasis ilmu pengetahuan atau terjebak dalam kebisingan tanpa arah yang jelas. Hilangnya kepercayaan terhadap pakar bukan hanya soal gengsi akademik, melainkan soal keselamatan bersama.
Sebab, sebuah bangsa tanpa pakar bukanlah bangsa yang merdeka, melainkan bangsa yang sedang menuju bencana. Dan jika kita tidak segera menyadari hal ini, bisa jadi kelak yang memimpin negeri ini adalah mereka yang paling lantang, bukan yang paling paham. []
*) Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Arab UIN Imam Bonjol Padang