Out of the Box Ala Gen-Z versus AI dan Antek-anteknya

Oleh : Azirah Shahieza Simatupang*

APA sih yang pertama kali muncul di benakmu saat mendengar kata “Artificial Intellegence”? Mungkin sebagian dari kita sudah membayangkan robot canggih, mobil tanpa sopir, atau aplikasi yang bisa menjawab semua pertanyaan kita dalam hitungan detik. Teknologi ini bukan lagi mimpi masa depan, ia sudah hadir dan menjadi bagian dari keseharian kita.

Di sisi lain, banyak yang mulai merasa was was. Apakah pekerjaan kita akan tergantikan? Apakah peran manusia masih dibutuhkan? Eits tenang dulu, meskipun mesin bisa bekerja cepat dan akurat, ada satu hal yang tetap tak tergantikan: sisi kemanusiaan, Kreativitas, empati, intuisi, dan rasa adalah hal-hal yang hanya dimiliki oleh manusia.

Inilah kenapa generasi muda harus terus mengasah potensi dan bakat mereka. Inovasi sejati lahir dari pengalaman hidup, kepekaan, dan pemikiran kritis. Mesin bisa meniru, tapi ide orisinal tetap datang dari manusia. Termasuk dalam dunia kerja maupun pendidikan, karakter dan nilai-nilai etika tetap menjadi pembeda utama.

Teknologi pintar memang memberi banyak kemudahan di berbagai bidang, dari kesehatan, pendidikan, hingga hiburan. Tapi, seperti pisau bermata dua, kemudahan ini bisa jadi bumerang kalau tidak digunakan dengan bijak.

Pelajar Pintar Bukan Hanya yang Cepat, Tapi yang Critical

Mahasiswa pada saat ini banyak yang tergoda untuk mencari cara instan mengerjakan tugas, atau bahasa populernya “Deadline” Tugas menumpuk, energi terkuras, dan akhirnya muncul godaan untuk menyerahkan semua pada mesin pintar. Sekali dua kali mungkin membantu, tapi kalau berkali kali? Bisa-bisa identitas kita sebagai mahasiswa hilang tergantikan dan kemampuan berpikir kritis tumpul serta kreativitas ikut mati.

Belajar itu bukan cuma soal nilai saja Justru dari proses mencari ide, menyusun argumen, hingga diskusi bersama teman dan dosen, kita mengembangkan diri. Ketika semuanya diserahkan pada teknologi, kita kehilangan kesempatan emas itu. Sayang banget, kan?

Tidak sedikit yang akhirnya terjebak dalam tindakan plagiat karena menyalin begitu saja tanpa benar-benar memahami isi tulisan. Di sinilah pentingnya kesadaran etika dan tanggung jawab pribadi dalam belajar. Maka dari itu, generasi muda perlu terus melatih kemampuan “Critical Thinking” dan menciptakan ide-ide “out of the box” agar bisa berjalan selaras dengan perkembangan teknologi.

Gen-Z dengan Keahlian Teknologinya

Sebagai generasi yang tumbuh bersama teknologi, Gen-Z punya keunggulan luar biasa dalam hal kecepatan akses informasi dan kreativitas digital. Kalau tidak diimbangi dengan kontrol diri, potensi besar ini malah bisa terbengkalai. Bukan karena kurang pintar, tapi karena terlalu dimanjakan oleh kemudahan.

Banyak tokoh dunia, salah satunya “Elon Musk” juga mengingatkan bahwa perkembangan teknologi harus dibarengi dengan kebijakan yang tepat, ia bahkan menyebutkan “Kecerdasan Buatan lebih berbahaya daripada nuklir”. Bukan berarti kita harus melawan kemajuan zaman. Justru ini saatnya kita membuktikan bahwa manusia bisa berjalan seiring dengan inovasi. Jadikan teknologi sebagai teman belajar, bukan pelarian dari proses belajar.

Sudah saatnya mahasiswa punya pola pikir baru, teknologi bukan pengganti usaha, tapi penguat potensi. Gunakan untuk mencari referensi, menstruktur ide, atau memperkaya wawasan bukan menggantikan proses berpikir.

Peran dosen juga sangat penting dalam hal ini, bukan hanya memberi tugas, tapi membimbing bagaimana memanfaatkan teknologi secara sehat. Dengan begitu, dunia pendidikan bisa terus relevan di tengah perubahan zaman, contohnya baru -baru ini viral momen lucu seorang professor yang bernama “Steve New”, yang mengajar Ekonomi dan Manajemen dari Universitas Oxford menyadari bahwa banyak mahasiswanya menggunakan “ChatGPT” untuk menyelesaikan tugas.

Alih-alih melarang, beliau justru memberikan panduan kepada para mahasiswa tentang cara menggunakan teknologi tersebut secara bijak. Beliau menunjukkan bagaimana cara memparaphrase dan juga menekankan bahwa mahasiswa diminta untuk menyertakan pernyataan penggunaan AI dalam tugas mereka, menjelaskan alat apa yang digunakan dan bagaimana penggunaannya. Sehingga mahasiswa dapat mengenali berbagai “tools” serta “antek-antek AI” lainnya, tidak hanya “ChatGPT” semata.

Karena pada akhirnya, kemajuan bukan soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling bijak dalam melangkah. Kalau teknologi bisa berkembang pesat, kenapa kita tidak?

*) Mahasiswa Tadris Bahasa Inggris UIN Imam Bonjol Padang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *