Oleh : Rehanda Galih Aprilio*
“TIDAK ada kedamaian sejati tanpa keadilan, dan tidak ada keadilan sejati tanpa penghormatan terhadap hak asasi manusia.” Kutipan mendalam dari Paulo Sérgio Pinheiro ini menyentil nurani kita saat membahas realitas pelik di negeri ini tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Negara yang dalam pembuka Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas menjamin hak dasar warga negara, ironisnya masih menghadapi berbagai insiden pelanggaran HAM berat yang sampai hari ini belum sepenuhnya terselesaikan.
Mari kita mulai dengan mengingat tragedi pahit pada tahun 1965, sebuah luka sejarah yang hingga kini menyisakan pertanyaan besar. Komnas HAM mencatat bahwa peristiwa ini menyebabkan kematian sekitar 500 ribu hingga 1 juta orang yang dituduh terkait Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, hingga saat ini, pertanggungjawaban hukum atas tragedi tersebut masih menjadi mimpi yang jauh dari nyata. Ribuan keluarga korban masih menanti pengakuan dan keadilan, menegaskan betapa HAM di negeri ini sering kali dikorbankan demi stabilitas politik semu.
Bergeser ke tahun 1998, kerusuhan Mei yang mengubah wajah Indonesia menjadi suram masih terpatri dalam ingatan kolektif bangsa ini. Ratusan nyawa melayang, toko-toko dijarah, perempuan mengalami kekerasan seksual, dan diskriminasi rasial semakin meruncing. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menyebutkan bahwa ada indikasi keterlibatan aparat keamanan yang lalai atau bahkan sengaja membiarkan kekacauan terjadi. Sekali lagi, pertanggungjawaban terhadap korban masih kabur, seakan menggambarkan betapa murahnya nilai keadilan di negeri ini.
Tidak berhenti di situ, kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib tahun 2004 menjadi bukti nyata betapa berbahayanya perjuangan menegakkan HAM di Indonesia. Munir, sosok yang berani melantangkan suara melawan ketidakadilan, harus meregang nyawa karena racun arsenik yang sengaja diberikan dalam perjalanannya ke Belanda. Meskipun Pollycarpus Budihari Priyanto telah divonis bersalah, dalang intelektual di balik kasus ini tetap misterius. Keheningan negara dalam mengungkap tuntas dalang di balik kasus Munir seakan memberi pesan suram bahwa siapapun yang berani menentang arus, harus siap menghadapi risiko besar, bahkan kematian.
Isu pelanggaran HAM juga hadir di wilayah Papua yang terus bergolak hingga hari ini. Amnesty International dalam laporan tahunannya secara eksplisit menyatakan bahwa konflik bersenjata di Papua menyebabkan pelanggaran HAM serius terhadap warga sipil, termasuk eksekusi di luar hukum, penangkapan sewenang-wenang, dan tindakan represif aparat keamanan. Data dari Amnesty menyebutkan, selama periode 2018 hingga 2022, setidaknya 177 kasus pelanggaran HAM dilaporkan terjadi di wilayah Papua. Ketiadaan transparansi serta keengganan pemerintah untuk membuka akses bagi jurnalis independen semakin menambah kabut tebal yang menyelimuti kebenaran di Papua.
Dalam dekade terakhir ini, isu pelanggaran HAM tak melulu soal tragedi besar masa lalu. Pelanggaran HAM seringkali muncul dalam skala kecil namun tidak kalah mengkhawatirkan. Kasus-kasus seperti kekerasan terhadap minoritas agama di beberapa daerah, kriminalisasi aktivis lingkungan dan pembela HAM, serta tindakan represif aparat saat menghadapi demonstrasi mahasiswa menjadi contoh nyata bahwa HAM di Indonesia masih dalam kondisi rentan.
Lantas, apa yang sebenarnya menjadi akar masalah dari ketidakberdayaan negara dalam menegakkan HAM? Salah satunya adalah budaya impunitas, di mana pelaku pelanggaran HAM berat merasa kebal dari hukum, dilindungi oleh sistem yang seharusnya berpihak kepada korban. Selama pelaku merasa aman berlindung di balik kuasa dan kekuasaan, selama itu pula siklus pelanggaran HAM akan terus berulang.
Selain itu, minimnya pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya HAM juga menjadi faktor pendukung. Pendidikan HAM belum sepenuhnya diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan nasional. Padahal, kesadaran HAM sejak dini merupakan benteng terbaik melawan berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan.
Mengakhiri rantai pelanggaran HAM tentu bukan pekerjaan mudah. Namun, ini bukan pula alasan untuk menyerah. Pemerintah, lembaga negara, dan seluruh elemen masyarakat perlu bersinergi untuk menghadirkan keadilan dan transparansi. Langkah konkret seperti membuka kembali kasus-kasus lama, memastikan perlindungan hukum bagi aktivis HAM, hingga memperkuat pendidikan HAM dalam sistem pendidikan nasional, harus segera dilakukan.
Seperti pesan tajam Martin Luther King Jr., “Ketidakadilan di mana pun adalah ancaman bagi keadilan di mana pun.” Negara ini, kita semua, harus memastikan bahwa penghormatan terhadap HAM bukan hanya retorika politik, melainkan realitas nyata yang kita bangun bersama. Hanya dengan begitu, bangsa ini dapat melangkah maju tanpa terus tersandera oleh luka masa lalu yang tidak terselesaikan.
*) Mahasiswa Perbankan Syariah UIN Imam Bonjol Padang, aktif menulis Opini Sosial, Politik dan Pendidikan