Oleh : Frizti Mayendi*
ANAK SMA gak bisa baca? Tapi tetap naik kelas aja! Pendidikan saat ini seperti drama sinetron, naskahnya penuh kebohongan, tetapi semua pemainnya pura-pura bahagia. Kita mau sampai kapan tepuk tangan untuk prestasi semu, sementara pondasi berpikir bangsa ini keropos dari dalam?
Pendidikan kita penuh dengan jargon keren. Kurikulum Merdeka, adopsi sistem Finlandia, inovasi belajar berbasis proyek. Tetapi realita di lapangan? Di sudut pelosok Indonesia, sekolah masih berdiri dengan bangunan reyot. Ada ruang kelas tanpa jendela yang layak, tanpa penerangan cukup, bahkan tanpa perpustakaan.
Laboratorium IPA? Ada di nama saja. Buku-buku teks? Banyak yang lusuh, robek, bahkan tidak sesuai dengan kurikulum terbaru. Siswa datang ke sekolah dengan seragam compang-camping, berjalan kaki belasan kilometer, atau harus menyebrangi sungai dengan rakit seadanya. Dan jangan kira ini cuma cerita daerah pelosok.
Bahkan di kota besar, ketimpangan fasilitas antar sekolah negeri dan swasta begitu mencolok. Ada sekolah elit dengan AC di setiap kelas dan laboratorium digital canggih, sementara sekolah lain harus bergantian pakai komputer yang usianya sudah lebih tua dari murid-muridnya.
Lebih menyedihkan lagi, ketimpangan ini langsung berdampak ke kualitas belajar siswa. Menurut data UNESCO, lebih dari 75% siswa Indonesia tidak mencapai standar minimum dalam membaca, matematika, dan sains.
Artinya, mereka kesulitan memahami bacaan sederhana, menyelesaikan soal logika dasar, atau menghubungkan konsep ilmiah yang simpel. Lalu bagaimana dengan “pembelajaran berbasis proyek,” kalau anak-anak bahkan tidak bisa membaca instruksi proyek itu sendiri?
Kita bukan bicara satu-dua anak. Ini fenomena nasional. Ini peringatan keras yang seharusnya membuat semua pihak dari pejabat hingga orang tua gelisah, bukan malah sibuk tepuk tangan program baru.
Mau adopsi sistem Finlandia? Boleh. Tapi sadar gak sih, kita beda jauh?
Finlandia membangun pendidikannya di atas budaya literasi, pemerataan fasilitas, dan kesejahteraan guru. Negara benar-benar serius mengenai fasilitas pendidikan. Sekolah dilengkapi laboratorium modern, ruang baca nyaman, akses internet cepat, dan yang paling penting semua itu gratis untuk semua siswa. Ini semua disebabkan oleh tingginya komitmen anggaran Pendidikan disana yang mengalokasikan lebih dari 6% dari PDB untuk Pendidikan.
Sedangkan Indonesia masih berkutat di sekitar 3,5–4% dan seringkali melakukannya dengan cara yang tidak konsisten. Belum lagi, banyak anggaran dibelanjakan untuk administrasi dari pada memperbaiki fasilitas siswa yang sebenarnya.
Para guru malah sibuk tenggelam dalam tumpukan administrasi. Bukannya fokus mengajar anak berpikir kritis, waktu mereka justru dihabiskan untuk mengisi laporan ini-itu yang bahkan gak dibaca siapa-siapa. Anak-anak seharusnya belajar dalam suasana yang mendukung kreativitas, bukan dalam ruang kelas sumpek tanpa AC atau toilet rusak seperti di banyak sekolah Indonesia.
Di sistem kita, pembelajaran masih obsesif mengejar nilai. Tes demi tes, ujian demi ujian. Seakan-akan prestasi akademik adalah satu-satunya ukuran sukses. Sekolah dasar sibuk ngejar target angka. SMP harus ngulang lagi pelajaran SD. SMA? Harus ngulang lagi kemampuan berpikir dasar anak SMP. Begitu masuk kuliah, dosen lagi-lagi frustasi karena mahasiswa belum bisa berpikir runtut dan logis. Begitu terus, kayak lingkaran setan.
Padahal di Finlandia, siswa nyaris tidak pernah diberi tes formal. Fokus mereka bukan angka rapor, tapi mengasah keterampilan, memancing rasa ingin tahu, dan menggali potensi individual setiap anak. Lebih menarik lagi, penghargaan di Finlandia bukan untuk nilai tertinggi, tapi untuk sikap dan karakter terbaik.
Anak yang jujur, yang mau menolong temannya, yang berusaha keras meski hasil belum sempurna—mereka yang diberi apresiasi. Karakter dihargai lebih tinggi daripada angka. Karena mereka paham, karakter baiklah yang akan membawa seseorang sukses dalam hidup, bukan sekadar nilai ujian.
Sementara di Indonesia? Anak-anak dibebani tumpukan PR dan ujian. Mereka diajari bahwa “pintar” itu berarti nilai 90 ke atas. Hasilnya? Banyak yang bisa menghafal rumus, tapi bingung menerapkannya di dunia nyata. Banyak yang bisa menjawab soal pilihan ganda, tapi gugup saat harus berbicara di depan umum atau mengambil keputusan kecil dalam hidupnya.
Kenapa pendidikan kita gagal membangun fondasi?
Jawabannya sederhana, karena kita terlalu sibuk mengejar pencitraan, lupa membangun kualitas. Kita pengen hasil cepat, gaya keren, standar internasional padahal rumah sendiri masih berantakan. Lebih parah lagi, budaya digital yang kebablasan ikut memperkeruh.
Anak muda sekarang lebih akrab dengan TikTok daripada buku teks. Bukan salah mereka sepenuhnya. Tapi sistem kita membiarkan budaya instan ini merajalela, tanpa bekal literasi kritis yang kuat.
Anak-anak merasa gagal hanya karena membandingkan diri dengan selebgram. Mereka lebih banyak “merasa” ketimbang “berpikir”. Sekolah gagal jadi penyeimbang. Rumah? Lebih sibuk dengan urusan lain.
Mau sampai kapan begini?
Kalau kita serius mau membangun pendidikan, harus berani jujur. Jangan cuma ganti kurikulum atau slogankan “Merdeka Belajar”. Yang harus dimerdekakan itu cara berpikir. Anak-anak butuh belajar berpikir, bukan cuma menghafal. Guru harus dibebaskan dari beban administratif yang gak penting. Mereka harus kembali ke tugas utama yaitu mencerdaskan anak bangsa, bukan jadi pegawai data.
Pendidikan itu bukan soal gengsi internasional. Pendidikan itu soal membangun kepala dan hati. Kalau kepala kosong dan hati beku, bangsa ini cuma jalan di tempat sekalipun semua dokumennya berbahasa Inggris.
*) Mahasiswa Tadris Bahasa Inggris UIN Imam Bonjol Padang, Email: friztimayendi@gmail.com
Mantap kak sesuai kenyataan yang ada