Orgen Tunggal “Telanjangi” Adat Minang?

Oleh : Gibran Harsingki*

“DULU, bunyi talempong mengiringi langkah para datuk, kini dentuman bass orgen tunggal mengguncang fondasi adat.”

Pernyataan pedas ini bukan isapan jempol belaka. Pasca Idul Fitri, alih-alih mempererat nilai-nilai luhur Minangkabau, justru gemuruh orgen tunggal dengan segala “kebebasannya” menyeruak, seolah menelanjangi satu per satu tabu dan tradisi yang selama ini dijaga ketat.

Mampukah hingar bingar pesta sesaat ini benar-benar menggerus akar budaya yang berabad-abad lamanya tertanam? Mari kita bedah fenomena yang lebih dari sekadar hiburan, namun berpotensi menjadi “ujian” bagi kokohnya adat Minang.

Dikutip dari klikpositif “Dinilai Cederai Adat dan Agama, Penyelenggara Pesta Organ Tunggal di Amping Parak Timur Pessel Dikecam” 15 April 2025, Tokoh Muda dari Aliansi Mubaligh Muda Amping Parak Timur, Syafridon. Ia mengecam keras. Sebab, penyelenggara dan pihak aparat terkesan membiarkan saja.

“Kami tidak bisa tinggal diam melihat budaya lokal dan nilai agama diinjak-injak seperti ini. Kami mengecam keras tindakan penggagas acara, dan menyayangkan sikap pasif aparat nagari yang seolah menutup mata,” ungkap Syafridon di Painan, Senin, 14 April 2025.

Lantas, mengapa orgen tunggal yang notabene hanyalah sebuah hiburan musik, mampu menjelma menjadi “ancaman” bagi kelestarian adat Minangkabau, terutama pasca perayaan Idul Fitri? Jawabannya terletak pada pergeseran nilai dan interpretasi hiburan itu sendiri. Setelah sebulan penuh menahan diri dan memperkuat nilai-nilai agama serta tradisi, euforia kemenangan di hari raya seringkali diwujudkan dalam bentuk perayaan yang lebih “lepas”. Di sinilah orgen tunggal dengan fleksibilitasnya dalam membawakan berbagai genre musik, dari pop hingga DJ remix, menemukan panggungnya.

Namun, kebebasan berekspresi dalam orgen tunggal inilah yang seringkali berbenturan dengan batasan-batasan adat Minang. Goyangan erotis biduan, lirik-lirik lagu yang vulgar, hingga budaya sawer yang dianggap merendahkan martabat, menjadi pemandangan yang tak jarang ditemui.

Ironisnya, praktik-praktik yang dulunya dianggap tabu dan bertentangan dengan raso jo pareso (perasaan dan pertimbangan) ini, kini justru menjadi daya tarik utama bagi sebagian penonton. Momentum setelah Idul Fitri, yang seharusnya menjadi ajang mempererat tali silaturahmi dan mengamalkan nilai-nilai agama, justru terkadang ternodai oleh “penyimpangan” yang terjadi di bawah alunan musik orgen tunggal.

fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang bagaimana generasi muda Minangkabau memandang dan mengamalkan adat. Apakah modernitas dan globalisasi telah mengikis pemahaman mendalam tentang filosofi dan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap aspek kehidupan adat?

Apakah orgen tunggal hanyalah sebuah manifestasi dari perubahan zaman yang tak terhindarkan, ataukah ini merupakan sinyal bahaya bagi identitas budaya Minangkabau di masa depan? Inilah polemik yang semakin menghangat pasca setiap perayaan Idul Fitri, ketika orgen tunggal kembali “beraksi” dan tanpa sadar “menelanjangi” sejauh mana adat Minang mampu bertahan di tengah arus perubahan yang deras.

Pergeseran Preferensi Hiburan Generasi Muda dan Tantangan Pewarisan Adat

Popularitas orgen tunggal di kalangan generasi muda pasca Idul Fitri dapat menjadi indikasi pergeseran preferensi hiburan yang menjauhi kesenian tradisional Minangkabau. Pengaruh modernitas dan globalisasi disinyalir turut membentuk selera hiburan ini, yang berpotensi memperlemah pemahaman dan internalisasi nilai-nilai adat di kalangan generasi penerus.

Sub-bidang ini mempertanyakan apakah fenomena ini merupakan sinyal bahaya bagi keberlanjutan identitas budaya Minangkabau di tengah arus perubahan zaman yang semakin deras.

Resiliensi Adat dan Upaya Menemukan Harmoni dengan Hiburan Modern

Solusi atau titik temu yang dapat mengakomodasi kebutuhan hiburan masyarakat tanpa harus mengorbankan kekayaan dan kearifan lokal adat Minangkabau. Titik temu yang dicari bukanlah sebuah kompromi yang menghilangkan salah satu sisi, melainkan sebuah sinergi yang saling memperkuat.

Hiburan tetap menjadi kebutuhan yang dipenuhi, namun dengan sentuhan kearifan lokal yang menjadikannya lebih bermakna dan beridentitas. Kekayaan budaya Minangkabau tidak hanya dilestarikan, tetapi juga direvitalisasi dan diadaptasi agar tetap relevan di era modern.

Inilah narasi tentang bagaimana orgen tunggal, yang sempat dianggap “menelanjangi” adat, justru berpotensi menjadi bagian dari harmoni baru, di mana tradisi dan modernitas menari bersama dalam irama yang indah.

Maka, dalam mencari harmoni antara dentuman bass orgen tunggal dan keagungan nilai-nilai adat Minangkabau, mari kita pegang erat kato pusako yang memotivasi “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.”

#gibranharsingki #UIN_IMAM_BONJOL_PADANG

Exit mobile version