Kolom  

Fenomena Akademisi Kampus Menguasai NU Sumbar

Oleh: Nofiyendri Sudiar*

PELANTIKAN Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Sumatera Barat periode 2025–2030 menjadi sorotan publik. Bukan semata karena momentum kebangkitan NU di wilayah yang selama ini dikenal sebagai basis Muhammadiyah, melainkan karena munculnya satu fenomena menarik: dominasi figur-figur dari Universitas Negeri Padang (UNP) dalam struktur kepengurusan. Dari ketua, sekretaris, bendahara, hingga beberapa bidang strategis, hampir semuanya diisi oleh akademisi aktif kampus negeri tersebut.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah NU Sumbar sedang membuka diri terhadap kalangan intelektual kampus, atau justru sedang dikonsolidasi oleh kelompok tertentu untuk tujuan yang lebih strategis –bahkan mungkin politis?

Di satu sisi, masuknya kalangan akademisi ke tubuh organisasi keagamaan bisa dipandang sebagai langkah positif. NU yang selama ini identik dengan pesantren, santri, dan tradisi kultural memang memerlukan penguatan kelembagaan, terutama dalam konteks pengelolaan organisasi modern.

Kalangan dosen dan birokrat kampus tentu memiliki kapasitas manajerial, administratif, dan jejaring yang mumpuni untuk mendorong revitalisasi kelembagaan NU, khususnya di wilayah seperti Sumatera Barat, di mana kekuatan NU belum sebesar di Jawa.

Namun, di sisi lain, publik juga berhak mempertanyakan motif dari dominasi satu institusi kampus dalam struktur organisasi yang mestinya merepresentasikan banyak unsur sosial. Ini bukan sekadar soal siapa yang pantas, tetapi soal prinsip keadilan representasi. NU adalah rumah besar umat Islam yang beragam latar sosial dan budaya. Jika wajah pengurusnya hanya mencerminkan satu institusi tertentu, bagaimana publik bisa percaya bahwa NU benar-benar menjadi milik bersama?

Bukan rahasia pula bahwa mayoritas nama-nama yang kini mengisi jabatan penting di PWNU Sumbar adalah bagian dari lingkaran dekat Ketua PWNU, Prof. Ganefri –mantan Rektor UNP dua periode, dan tokoh publik yang pengaruhnya cukup besar di Sumbar. Di sinilah muncul dugaan bahwa penunjukan para akademisi tersebut lebih didorong oleh jejaring personal daripada kaderisasi struktural NU. Apalagi sebagian dari mereka bukan dikenal sebagai aktivis NU, melainkan sebagai figur kampus yang baru belakangan menunjukkan keterlibatan dalam kegiatan ke-NU-an.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya pola “patronase organisasi” yang bersifat top-down, bukan bottom-up. Dalam jangka pendek, mungkin ini dianggap efektif secara administratif. Tapi dalam jangka panjang, kondisi semacam ini bisa menciptakan jarak antara pengurus dan warga NU akar rumput. NU bukan sekadar organisasi administratif, tapi entitas sosial-kultural yang hidup dari basis masyarakat bawah. Ketika NU mulai digerakkan dari ruang-ruang rektorat dan bukan dari surau atau pesantren, maka ada sesuatu yang sedang bergeser.

Selain itu, tak bisa diabaikan bahwa kekuatan sosial NU kini juga dilirik sebagai kekuatan politik. NU bukan partai, tapi pengaruhnya mampu menentukan arah politik umat. Dalam konteks lokal seperti Sumatera Barat, wajar bila muncul dugaan bahwa penguasaan NU oleh akademisi kampus bisa menjadi bagian dari manuver jangka panjang menuju kontestasi politik. Seorang tokoh publik dengan pengalaman birokrasi dan basis sosial bisa saja menggunakan NU sebagai kendaraan moral untuk membangun legitimasi elektoral.

Meski semua itu belum tentu benar dan masih bersifat dugaan, namun pertanyaan-pertanyaan kritis ini penting diajukan sebagai bentuk kewaspadaan publik. Organisasi seperti NU harus senantiasa terbuka terhadap masukan, dan tidak boleh dikendalikan oleh kelompok yang terlalu dominan, apalagi jika dominasi itu tidak tumbuh dari proses kaderisasi yang alami.

Masuknya akademisi kampus ke tubuh NU bisa menjadi angin segar, tapi hanya jika dilakukan secara proporsional dan meritokratis. Bukan karena kedekatan personal atau kekuasaan administratif. Yang lebih penting, para akademisi ini juga harus mau membaur, belajar dari kultur NU, dan tidak merasa paling tahu hanya karena bergelar doktor atau profesor.

NU di Sumatera Barat sedang memasuki fase penting. Di tengah kuatnya dominasi Muhammadiyah dan kecenderungan masyarakat yang rasional dan modernis, NU bisa menjadi alternatif kultural dan spiritual yang menawarkan jalan tengah. Namun untuk itu, NU harus dikelola secara inklusif, arif, dan berakar kuat di masyarakat bawah. Bukan sekadar menjadi ruang elite kampus berekspansi.

NU harus tetap menjadi rumah bersama. Bukan rumah baru bagi elite lama yang sedang mencari panggung baru. []

*) Penulis adalah Dosen di UNP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *