Oleh : H. Abdel Haq, S.Ag, MA*
SALAH satu kelebihan dan keutamaan manusia dibandingkan makhluk lain, adalah dilengkapinya dengan berbagai fasilitas yang sempurna oleh Allah Swt. Manusia memiliki akal, fikiran, panca indera dan hawa nafsu serta diciptakan pula dalam sebaik-baik penciptaan.
Jika dibandingkan dengan para malaikat, manusia lebih unggul, karena malaikat pada dasarnya makhluk Allah yang statis, stabil dan tidak berkembang seperti layaknya manusia. Ilmu pengetahuan yang dimiliki para malaikat tidak berkembang, kecuali apa yang telah diberikan Allah Swt. Malaikat tidak memiliki keinginan, hawa nafsu, untuk melakukan percobaan, uji coba. Justru itu para malaikat, sejak awal penciptaan sampai sekarang, bahkan sampai akhir zaman tidak akan bertambah jumlahnya, juga tidak berbudidaya, seperti manusia.
Para malaikat yang wajib diyakini dalam Islam hanya 10 orang saja. Masing-masing mereka telah diberikan tugas oleh Allah Swt. Karena para malaikat tidak memiliki hawa nafsu, keinginan, maka mereka selalu setia, mematuhi perjanjian dengan Allah Swt dan tidak pernah mendurhakai Allah dalam menjalankan perintah-Nya.
Berbeda dengan manusia, yang diberikan fasilitas yang serba hebat dan sempurna, manusia mampu memberdayakan dirinya untuk bergerak, memiliki sifat dinamis, melakukan percobaan, uji coba guna melakukan perubahan kepada yang lebih baik. Namun, di satu sisi manusia yang memiliki hawa nafsu dan keinginan, sering lupa diri, tersandung oleh kemauan hawa nafsu dan bisikan iblis, yang tidak pernah putus asa menggoda umat manusia.
Sehingga manusia sering lupa, lalai dengan tugas, tanggung jawab dari esensi penciptaannya oleh Allah Swt.
Apa tujuan diciptakannya manusia oleh Allah Swt ?
Ada pun tujuan diciptakannya manusia oleh Allah Swt secara gamblang dan jelas sekali, terdapat dalam surah Adz-Dzaariyaat ayat 56 :
” wa maa khalaqtul jinna wal insa illaa liya’buduuni “. Artinya : Dan tidaklah Kami ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku “.
Berdasarkan firman Allah Swt di atas sangat jelas dan gamblang, tugas pokok dan tugas utama manusia hanyalah untuk beribadah kepada Allah Swt, bukan menyembah yang lainnya.
Dalam Islam ibadah kepada Allah Swt itu terbagi kepada dua kategori. Pertama dinamakan ibadah mahdhah dan yang kedua dinamakan ibadah ghairu mahdhah.
Yang dimaksud dengan ibadah mahdhah adalah segala macam ibadah yang telah diatur tata caranya sedemikian rupa oleh Allah Swt dan Rasulullah Muhammad SAW. Seperti yang tertera dalam rukun Islam, melakukan shalat, puasa, zakat dan haji.
Sedangkan ibadah ghairu mahdhah, adalah segala macam perbuatan, aktivitas yang dilakukan oleh manusia dalam mengisi kesehariannya, untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Hal ini tidak termasuk ke dalam ibadah utama. Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah dalam pengertian luas dan bersifat umum.
Kapan ibadah ghairu mahdhah itu bernilai ibadah?
Ibadah ghairu mahdhah, dalam pengertian luas, baru bisa bernilai ibadah di sisi Allah Swt. Jika telah memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Dilaksanakan dengan niat yang ikhlas karena Allah Swt.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam surah Al-Bayyinah ayat 5 :
” wa maa umiruu illaa liya’budullaaha mukhlishiina lahuddiina “.
Artinya : ” padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata, karena (menjalankan) agama “.
Sementara itu Rasulullah Muhammad SAW juga menyatakan dalam sebuah hadits :
” Innamal a’maalu binniyaati, likullim ri-im maa nawaa “.
” Setiap pekerjaan itu tergantung kepada niat, setiap sesuatu itu sesuai dengan apa yang diniatkannya “.
Faktor niat sangat menentukan diterima atau tidaknya sebuah pekerjaan, aktivitas. Apakah bernilai ibadah di sisi Allah Swt atau tertolak.
2. Pekerjaan atau aktivitas yang dilakukan itu, harus melalui prosedural yang baik, taat aturan, sesuai dengan regulasi. Tegasnya perbuatan yang dilakukan itu wajib bernilai amal kebaikan. Bermanfaat bagi sipelaku, orang banyak dan tidak merugikan orang lain.
3. Sasaran utama dan titik tuju aktivitas yang dilakukan itu adalah dalam rangka mencari keridhaan Allah Swt. Bukan untuk sensasi, mencari kesenangan seseorang ataupun membuat orang lain membenci.
Ajaran Islam bukanlah sekedar melakukan ibadah, ritual belaka. Mendirikan shalat di masjid dan mushalla. Bukan pula cukup dengan melaksanakan puasa di bulan suci Ramadhan, membayarkan zakat setelah sampai haul dan nishabnya. Bukan pula selesai oleh menunaikan rukun Islam yang kelima, berhajji ke Makkatul Mukarramah dan Madinatul Munawwarah.
Akan tetapi amal ibadah dalam Islam, sangat luas sekali, mencakup semua aspek kehidupan, berkaitan dengan kebutuhan jasmani, rohani, pisik, mental, spritual, individual, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, politik dan termasuk etika, moral serta estetika, semuanya itu diatur di dalam Islam.
Justeru itu, selaku umat Islam beriman harus berupaya keras, menggali potensi, belajar lebih giat lagi, untuk melakukan perubahan yang signifikan, agar setiap aktivitas dan kegiatan yang dilakukan itu, bisa bernilai ibadah di sisi Allah Swt.
Jangan sampai sebaliknya aktivitas, kegiatan yang telah dilakukan, terlihat baik dan bernilai ibadah. Akhirnya rusak dan batal menjadi amal ibadah di sisi Allah Swt disebabkan oleh tidak terpenuhinya unsur atau kategori dari ibadah itu sendiri.
Makanya umat Islam harus terus mengasah, mengasuh, mengasihi dan menggali potensi yang dimilikinya.
Dalam arti, harus berupaya maksimal untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, wawasan dan teknologi.
Sehingga apa pun tugas, tanggung jawab yang diamanahkan dan dilaksanakan kepada umat Islam bisa bernilai ibadah.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah Al-An’am ayat 162 :
” qul inna shalaatiy wa nusukiy wa mahyaaya wa mamaatiy lillaahi rabbil ‘aalamiin “
Artinya : ” katakanlah ( Muhammad) sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan seluruh alam “.
Berdasarkan firman Allah Swt di atas semakin jelas dan kentaralah tujuan dari segala aktivitas, kegiatan, shalat, amal ibadah, bahkan hidup dan mati hanyalah untuk Allah Swt Tuhan semesta alam.
Dalam ayat lain Allah Swt juga menyatakan tugas dan fungsi manusia adalah sebagai khalifah di muka bumi. Sebagaimana tertera dalam surah Al-Baqarah ayat 30 :
” Wa idz qaala rabbuka lilmalaa-ikati inniy jaa’ilun fil ardhi khalifatan, qaaluu aataj’aluu fiihaa mayyufsidu fiihaa wa yasfikuddimaa’, wa nahnu nusabbihuu bihamdika wa nuqaddisulaka. Qaala inniy a’lamu maa laa ta’lamuuna “.
Artinya : ” Dan ingatlah tatkala Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku akan menciptakan khalifah di muka bumi. Para Malaikat menjawab ” Apakah Engkau menciptakan orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di sana, pada hal kami selalu bertasbih, memuji dan menyucikan Engkau. Allah berfirman sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui “.
Dalam proses penciptaan Nabi Adam AS yang merupakan manusia pertama di muka bumi ini. Allah Swt telah berdialog dengan para malaikat tentang penciptaan seorang khalifah di muka bumi.
Dalam dialog tersebut, para malaikat seolah-olah memprotes penciptaan manusia, yang akan membuat kerusakan, menumpahkan darah. Apakah tidak cukup dengan kami kata para malaikat, yang selalu bertasbih, memuji dan menyucikan Engkau. Lalu dengan tegas Allah menyatakan ” Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.
Menjadikan aktivitas bernilai ibadah
Meski pun Allah Swt telah menganugerahi manusia sebagai khalifah, pemimpin di jagad raya, diberi amanah, tanggung jawab bertugas memelihara, menjaga, mengolah, mengeksplorasi, memanfaatkan potensi sumber daya alam untuk kemaslahatan umat manusia. Akan tetapi, tugas, amanah dan tanggung jawab tersebut, bukanlah tugas pokok, bukan pula tugas utama dari penciptaan manusia itu sendiri.
Ada pun tugas utama diciptakannya jin dan manusia oleh Allah adalah untuk beribadah, mengabdi kepada-Nya.
Tegasnya manusia diciptakan oleh Allah Swt bukan untuk menjadi budak hawa nafsu, bukan pula untuk menjadi hamba politik, tidak untuk hamba kekuasaan, bukan pula hamba harta, juga bukan hamba ilmu pengetahuan dan teknologi. Tugas manusia, bagaimana instrumen dan semua fasilitas yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia berupa power, kekuasaan, kekayaan, ilmu pengetahuan, teknologi beserta fasilitas lainnya itu, bisa untuk mendekatkan diri, dijadikan alat ibadah kepada Allah Swt.
Termasuklah dalam memilih pemimpin dalam semua level, bisa bernilai ibadah, asal saja sesuai, selaras dan sinkronisasi dengan semangat keislaman serta terpenuhi kriteria pemimpin yang telah dicontohteladankan oleh Rasulullah Muhammad SAW.
Bukan berarti sampai di sini nilai ibadah yang dimaksud oleh ajaran Islam. Malah meliputi semua aspek kehidupan manusia, bisa bernilai ibadah. Pergaulan suami isteri yang sah itu ibadah, menepati janji itu pun ibadah, memajukan perekonomian umat juga ibadah, meningkatkan kualitas pendidikan juga ibadah, menjaga dan memelihara alam lingkungan termasuk ibadah. Bahkan, memperlihatkan wajah yang manis kepada saudaramu itu, kata Rasulullah Muhammad SAW adalah ibadah.
Betapa amat luasnya lapangan ibadah dalam Islam. Namun tidak akan ada arti dan nilainya di sisi Allah Swt, jika kamu tidak beriman, tidak mendirikan shalat, mengabaikan zakat, tidak mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Semuanya ini, merupakan pondasi, tiang utama dalam menjalankan ajaran agama Islam.
Demikianlah, makna, pengertian ibadah dalam ajaran Islam sangat luas sekali, bukan sekedar ritual belaka. Tetapi sangat luas, seluas aktivitas yang dilakukan oleh umat Islam itu sendiri. Semoga semuanya itu bisa dikonversi menjadi bagian ibadah, wallaahu a’lam bishshawaab.
* Penulis Aktivis Dakwah, Jurnalis dan terakhir Kakan Kemenag Dharmasraya