Menguasai Namun Gagal : Maksudnya Bagaimana?

Oleh : Erica Asnishalina*

APAKAH pernah berpikir bahwa belajar teori tanpa praktek akan mempengaruhi kemampuan seorang guru dalam mengajar? Jika sudah mengajar puluhan tahun bagaimana? Sepanjang perjalanan hidupmu belajar bahasa asing, apa semua pendidik mampu untuk mengajar.

Permasalahan ini sepertinya sudah banyak dirasakan oleh peserta didik di Indonesia. Kiasan “Mereka bisa Menyusun kalimat, tetapi tidak bisa Menyusun pengetahuan” mengandung realitas, sangat pas, bahwa mahasiswa (calon guru) yang bagus dalam menutur bahasa belum tentu mempunyai kemampuan dalam mengajar. Mempelajari bahasa bukan sekedar alat berkomunikasi namun untuk menjadi seorang pengajar yang berkualitas.

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Maret 2024 diperkirakan sekitar 10,2%, penduduk Indonesia yang lulus sarjana pendidikan pada tahun 2024 dengan kenaikan 0,05% dibandingkan tahun 2023 (10,05%). Lulusan meningkat dari tahun ke tahun, namun bagaimana dengan kualitas pendidikan kita. Meningkat atau menurun?

Saya mengambil contoh kulitas mengajar guru Bahasa Inggris di Indonesia. Bagi mahasiswa yang mengambil program studi bahasa dalam ranah pendidikan, menguasai bahasa merupakan sebuah keharusan terlebih yang mempelajari bahasa asing seperti Bahasa Inggris. Selain penguasaan bahasa, mahasiswa juga dituntut untuk memenuhi kemampuan dalam mengajar. Kenyataannya tidak semua mahasiswa yang lulus mempunyai kompetensi yang diharapkan.

Mahasiswa jurusan bahasa berlatar belakang Pendidikan, seperti bahasa Inggris. Mahasiswa ini seringkali diasosiasikan dengan kemampuan menulis yang mumpuni, kefasihan dalam bertutur, serta mempunyai jiwa yang sangat menyanjung tinggi sastra.

Sayangnya, dibalik itu semua, realita tak sebanding dengan ekspektasi. Ironis rasanya, melihat mahasiswa kefasihan bahasa yang mereka miliki tidak sebanding dengan kemampuan dalam mengajar.

Tak sedikit kita bisa melihat mereka yang sangat bagus dalam berpidato menggunakan bahasa Inggris, menari dalam kata-kata dengan menggunakan logat british yang fasih. Tapi sekedar berdiri di depan kelas, mereka gugup, cemas, gamang bahkan kehilangan arah.

Bahasa yang ketika ditulis mengalir seperti sungai tanpa hambatan, seketika langsung kaku apa yang harus diajarkan. Dengan alur pembahasan yang yang tidak punya arah, sehingga siswa pun bingung harus memahami dari mana.

Fenomena ini tidak saya temui sekali dua kali di Indonesia. Di lapangan para guru pendamping atau pamong dan dosen pembimbing seringkali mengeluhkan hal tersebut. Mahasiswa yang secara teorinya sangat unggul namun di lapangan sangat sulit mentransfer ilmu kepada siswa. Mereka tahu banyak tentang bahasa namun tidak tahu cara membuat siswa paham dengan ajarannya.

Apa yang salah? Pertanyaan ini sangat berputar dalam pikiran kita. Apa mungkin mahasiswa yang kurang berkualitas? Bimbingan dari tenaga pendidik yang kurang tepat atau dari sistem yang berubah namun masih berfokus pada teori?

Jika dilihat dari faktor utama tentu pada landasan kita dalam belajar terlebih dahulu, yaitu kurikulum. Kurikulum Pendidikan kita yang selalu berfokus pada teoritis dan kurang pada penerapan atau pratek dari keilmuan itu sendiri.

Mahasiswa selalu disuapkan dengan teori daripada praktek. Seperti menghafal konsep linguistik dan analisis teks, namun sedikit sekali latihan dalam pembuatan RPP, mengelola kelas, dan menghadapi secara langsung bagaimana siswa ketika di didik. Terkadang ada, namun seringnya hal ini hanya untuk formalitas semata, bukan melatih diri dan naluri mengajar.

Program tahunan untuk mahasiswa akhir yaitu Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) yang dilaksanakan kadang hanya untuk sekedar formalitas. Praktik mengajar yang hanya dalam hitungan bulan dan terkadang belum terlalu merasakan realitanya dalam mengajar. Terlebih ketika mengambil jurusan yang harus mengajarkan bahasa asing seperti bahasa inggris. Tentunya hal ini lebih sulit, apalagi siswa tidak semua yang memahami bahasa tersebut. Terkhusus, siswa yang berada di pedesaan yang terpencil atau yang masih sangat kental logat daerahnya.

Mempelajari sesuatu apalagi bahasa memang tidak ada ramuan ajaibnya. Maka mahasiswa yang akan menjadi tenaga pendidik nantinya harus bisa menguasai bahasa Inggris dan juga harus memahami teknik atau metode yang relevan dalam mengajarkan bahasa tersebut.

Institusi Pendidikan juga perlu mengubah pendekatannya, tak hanya berfokus pada teori saja namun juga harus berfokus pada prakteknya. Sejak semester awal sepertinya sudah dianjurkan untuk simulasi mengajar selain teori dari bahasa tersebut. Fokus dosen tidaknya mengajarkan secara teoritis, tetapi juga sebagai dosen praktik.

Menjadi seorang guru bahasa Inggris bukanlah hal yang mudah. Prosesnya sangatlah banyak dan rumit. Seorang mahasiswa harus menguasai bahasa yang akan diajarkan. Tidak hanya sekedar memberi hafalan tentang grammar, tetapi harus memahami tentang teknik mengajar yang sesuai dengn yang dibutuhkan oleh siswa. Belajar untuk berkomunikasi dua arah dengan siswa. Generasi yang menjadi siswa pada masa sekarang membutuhkan seorang fasilitator yang dapat mengarahkan mereka atau menjembatani pemahaman tentang bahasa inggris.

 “Mengajar butuh kemampuan, bukan Cuma keberanian berdiri di depan. Kalau fasihnya Cuma di klarifikasi, jangan salah generasi gagap Bahasa”.

Menohok? tapi ini memang cukup menggambarkan situasi dan kondisi dari mahasiswa yang memasuki dunia Pendidikan saat ini. Bukan hanya sekedar sindiran, akan tetapi untuk membuka jendela pikiran bahwa penguasaan bahasa juga harus diiringi dengan keterampilan mengajar yang nyata. []

*) Mahasiswa Tadris Bahasa Inggris UIN Imam Bonjol Padang, Email: ericaasnishalina13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *