Oleh : H. Abdel Haq, S.Ag, MA*
IBADAH haji merupakan rukun Islam yang kelima, diwajibkan Allah Swt kepada para hamba-Nya yang Isthitha’ah. Yaitu bagi mereka yang telah mampu menyiapkan bekal pendanaan, sehat pisik, sehat mental, menguasai ilmu manasik haji dan terjamin keamanan dalam perjalanan panjang nan jauh, melelahkan, tetapi penuh kenikmatan dan menyenangkan.
Begitulah, kesan yang dirasakan oleh kebanyakan jamaah haji. Masing-masing mereka yang berhajji merasakan beragam pengalaman rohani yang tak terbantahkan.
Ibadah haji merupakan ibadah paripurna, istimewa dan puncak kerinduan umat Islam beriman.
Seorang yang berhajji itu, pada dasarnya adalah mereka yang telah memiliki aqidah dan keyakinan yang mantap kepada Allah Swt. Dalam arti kata keyakinan mereka terhadap keesaan Allah Swt tidak diragukan lagi, walaupun seberat biji zarrah. Mereka betul-betul yakin terhadap kekuasaan Allah Swt. Baik dipandang dari segi tauhid uluhiyah ” Laa ilaaha illallahu Muhammadur Rasulullah “. Mereka betul-betul mengakui tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad SAW adalah utusan Allah.
Sedangkan dipandang dalam segi tauhid Rubbubiyah, apa pun amal ibadah yang dilakukan, baik ibadah mahdhah atau ghairu mahdhah, semuanya itu semata hanya karena Allah Swt.
” Iyyaaka na’budu wa Iyyaaka kanasta’iin “, hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau saja kami minta pertolongan “. Ini merupakan aplikasi keyakinan yang mantap kepada Allah Swt, tidak akan menyembah kecuali kepada Allah Swt saja. Tidak akan menyembah matahari, bulan, bintang atau makhluk lainnya. Mereka pun menyatakan hanya mohon bantuan dan pertolongan kepada Allah Swt. Mereka tidak minta bantuan kepada dukun, tidak pula minta bantuan kepada orang yang dianggap keramat. Juga tidak akan pernah meminta tolong dan berdo’a di kuburan orang yang mereka anggap punya kesaktian.
Berhajji bagi seorang muslim beriman, berarti menyempurnakan kewajibannya selaku muslim. Yaitu kesinambungan dari rukun Islam yang lima, setelah mendirikan shalat wajib dan shalat sunnah lainnya. Sehingga mereka merasakan nikmatnya shalat, mampu menentramkan jiwa dan terjauh dari perbuatan keji dan munkar.
Juga pasca membayarkan zakat kepada yang berhak menerimanya. Setelah zakat wajib dibayarkan, maka muzakki, orang yang berzakat akan merasakan jiwanya plong, senang dan enjoy. Hati dan jiwanya merasakan kegembiraan, kesenangan, karena telah terlepas dari sifat kikir, bakhil, terjauh dari mementingkan diri sendiri.
Bahkan, setelah menunaikan zakat kepada yang berhak menerima atau kepada mustahiq. Allah Swt pun mengabulkan do’a, harapan sipenerima zakat atau mustahiq, yang membuat muzakki, yang membayar zakat, gembira, enjoy, mereka merasakan kedamaian, nyaman dan penuh kesenangan.
Mereka yang berhajji pun juga telah terlatih selama ini, melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, bahkan sejak pra aqil baligh, telah mulai berlatih untuk berpuasa. Untuk menyiapkan diri menjadi hamba Allah Swt yang bertaqwa. Bahkan ada yang telah berpuluh tahun melakukan ibadah puasa beserta amal ibadah lainnya. Membuat hamba Allah yang beriman semakin baik akhlaknya, semakin matang kemampuan kejiwaannya dan semakin piawai dalam mengelola kemauan dan hawa nafsunya. Kondisi emosionalnya pun terkendali dengan baik, berkat rangkaian ibadah di bulan suci Ramadhan setiap tahunnya.
Begitulah rentetan ibadah yang telah dilalui oleh mereka yang berhajji. Mereka ingin beribadah secara lengkap, paripurna, menyempurnakan rukun Islam. Dengan fasilitas lengkap berupa maaliyah, harta benda yang dikeluarkan untuk Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji ( BPIH ). Jasmaniyah, didukung oleh kesehatan pisik yang prima.
Karena dalam melakukan rangkaian ibadah haji, membutuhkan pisik yang sehat, kuat dan semangat yang tinggi dalam menjalankan thawaf, sa’i serta wuquf di Padang Arafah. Yang merupakan puncaknya ibadah haji. ” Al-hajju ‘Arafah ” begitu kata Rasulullah Muhammad SAW dalam sebuah hadisnya. Siapa yang sempat wuquf di Arafah, maka sempurna ibadah hajinya. Bagi mereka yang tidak sempat hadir, wuquf di Arafah. Maka wajib diulang ibadah haji tahun depan.
Pada saat inilah peran pentingnya petugas haji. Apakah TPHI, TPIH, TKHI maupun petugas dari KBIH. Mereka harus jeli, teliti dan harus bisa memastikan bahwa semua anggota Kloter, Kelompok terbang dalam tanggung jawabnya, sudah berada di Arafah pada tgl 9 Zulhijjah. Walaupun dengan cara disafari wuqufkan. Hal ini disebabkan oleh kondisi yang tidak mengizinkan. Maksudnya apabila jamaah calon haji sakit berat pun, wajib dibawa dengan mobil ambulance menuju Arafah.
Meskipun panggilan haji atau musim haji itu datang setiap tahun, namun suasana dan kondisinya selalu berbeda. Ada musim dingin, musim panas, ada pula tatkala perekonomian sedang meningkat pesat. Malah ada pula musim haji datang tatkala perekonomian tidak baik-baik saja. Bahkan, bulan haji muncul tatkala dunia dilanda epidemi, penyakit menular. Seperti kasus Covid 19 yang menyebabkan dua tahun berturut-turut jamaah haji Indonesia dan sebahagian dunia batal berangkat.
Meskipun demikian bagi masyarakat Arab Saudi dan sekitarnya, tetap melakukan ibadah haji, walau pun dalam kapasitas terbatas.
Sejarah ringkas ibadah haji
Panggilan haji bagi umat Islam beriman sudah lama diundangkan oleh Al-Quran, terdapat dalam surah Al-Hajj ayat 27 :
” wa azzin finnaasi bilhajji ya’tuuka rijaalan wa ‘alaa kulli dhaamiriy ya’tiina min kulli fajjin ‘amiiqin “.
Artinya : ” Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh “. ( Q.S 22 ayat 27 ).
Mufassir Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsirnya mengomentari ayat ini, tatkala Nabi Ibrahim AS bersama puteranya Nabi Ismail AS selesai membangun Ka’bah. Lalu Allah Swt memerintahkan kepada Nabi Ibrahim AS agar memanggil manusia untuk berhajji ke Baitullah di Makkatul Mukarramah.
Secara spontanitas Nabi Ibrahim AS menjawab, Wahai Tuhanku, mana mungkin suaraku terdengar oleh umat manusia. Serulah manusia untuk mengunjungi Baitullah ini. Saya lah nanti yang akan menyampaikan kepada umat manusia seruan ini, kata Allah Swt. Denga sigap Nabi Ibrahim AS menaiki Bukit Abu Qubais ” Wahai manusia berhajjilah, berziarahlah ke Baitullah “.
Menurut riwayat setelah Nabi Ibrahim AS menyeru manusia untuk berhajji, maka gunung-gunung, bukit-bukit merendahkan diri sehingga seruan Nabi Ibrahim AS didengar umat manusia. Bahkan bakal calon bayi dalam rahim dan yang berada di tulang sulbi orang tuanya pun mendengar seruan tersebut. Begitu juga dengan pepohonan, batu-batuan pun mendengar seruan luar biasa tersebut. Termasuklah, mereka yang telah dicatat oleh Allah Swt untuk berhajji.
Lalu mereka mengucapkan ” Labbaikallaahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika, innal hamda wan ni’ mata laka walmulka, laa syariika laka “. Kalimat talbiyah inilah yang dibaca, dilantunkan oleh Jamaah Calon Haji sampai hari kiamat. Yang artinya : ” Aku penuhi panggilan-Mu Ya Allah, Aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya pujian, kenikmatan dan kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu “.
Begitulah, sejarah dan dalilnya panggilan haji bagi umat Islam sedunia, yang berlaku sampai akhir zaman. Kalau masih ada juga umat Islam yang mengatakan, panggilan haji buat kami belum datang, pada hal mereka telah memiliki aset melimpah. Maka surah Al-Hajj ayat 27 inilah dalil dan jawabannya. Lalu bersegeralah pergi ke Bank Penitipan Sementara ( BPS ) BRI, BNI, BSI, Bank Mandiri dan Bank Nagari Syariah guna menyetorkan dana untuk Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji ( BPIH ).
Upaya Meraih Haji Mabrur
Setiap Jamaah Calon Haji yang berangkat ke tanah suci Makkatul Mukarramah, selalu mendambakan memperoleh predikat haji mabrur, yang balasannya sangat istimewa, yaitu surga. Seperti dijelaskan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam sebuah haditnya :
” Al-hajjul mabruuru laisal jazaa-a illal jannata “. Artinya : ” haji yang mabrur itu tidak ada lagi balasannya, kecuali surga “.
Dalam surah Al-Baqarah ayat 197 Allah
Swt berfirman :
” Al-Hajju asyhurum ma’luumaatun, faman faradha fiihinnal hajja falaa rafatsa walaa fusuuqa, walaa jidaala fil hajji, wa maa taf’aluu min khairiy ya’lamhullaahu, wa tazawwaduu fainna khairaz-zaadittaqwaa, wattaquuni yaa ulil albaab “.
Artinya : musim haji itu pada bulan yang telah dimaklumi. Barang siapa mengerjakan ibadah haji pada bulan itu, maka janganlah dia berkata jorok ( rafas ), berbuat maksiat dan bertengkar dalam melakukan ibadah haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat “.
Berdasarkan firman Allah Swt di atas, yang membicarakan tentang ibadah haji. Dapat ditangkap beberapa hal yang harus dijauhi dan dilakukan oleh mereka yang berhajji. Adapun prilaku dan perbuatan yang harus dihindari antara lain :
1. Jangan bicara jorok, membicarakan hal yang mendatangkan hawa nafsu syahwat, termasuk melihat, menonton atau segala hal yang akan bisa menimbulkan animo seksual. Sedangkan membicarakan hal yang menjurus seksual sudah dilarang. Apalagi melakukan hubungan intim suami isteri, tatkala melangsungkan ibadah haji.
2. Jangan berbuat fasiq, tidak melakukan semua perbuatan yang dilarang ketika berihram. Seperti berburu, membunuh binatang dan memotong rambut. Juga segala perbuatan maksiat, berlaku zhalim serta melakukan pendurhakaan terhadap Allah dan Rasul-Nya.
3. Dilarang berbantahan selama manasik haji atau mengerjakan rangkaian ibadah haji. Maksudnya mereka yang berhajji tidak boleh bertengkar, saling memaki, mencaci dan membuat orang lain menjadi marah. Tegasnya, selama pelaksanaan ibadah haji itu mereka yang berhajji, harus berupaya keras untuk memenej, mengelola kondisi emosionalnya, agar tidak mudah marah, tidak mudah terpancing emosinya oleh faktor lingkungan dan oleh kemauan hawa nafsu yang tidak terbendung.
4. Yang harus dimiliki, wajib diupayakan oleh mereka yang berhajji adalah bekal taqwa. Perbanyaklah perbekalan, sungguh sebaik-baik perbekalan adalah ketaqwaan. Semakin jelas dan teranglah bahwa bekal yang paling utama dan paling berharga dalam berhajji, juga dalam kehidupan yang penuh ujian dan cobaan ini adalah taqwa.
Bukan berarti Islam menafikan aset, harta benda, power, kesehatan dan fasilitas lainnya. Akan tetapi, bagaimana segala aset, fasilitas yang dimiliki, amanah dan tanggung jawab yang dititipkan Allah Swt kepada umatnya. Bisa membawa pemilik, penguasa dan semua yang dianugerahi Allah Swt kepada hamba-Nya itu, mampu membawanya kepada taqarrub ilallaahi, mendekatkan diri kepada Allah Swt dalam situasi dan kondisi apapun. Tatkala suka dan duka, sewaktu kaya dan nestapa tetap bersama Allah Swt, selalu patuh, taat kepada Allah Swt dan Rasul-Nya.
Insya Allah, apabila Jamaah Calon Haji Ranah Minang Kabau Provinsi Sumatera Barat khususnya dan Jamaah Calon Haji seluruh Indonesia, apabila telah mampu memahami, menghayati, mengamalkan seluk beluk rangkaian ibadah haji dengan baik, mereka akan mendapatkan hajjam mabruuraa, haji mabrur, yang balasan utamanya adalah surga. Kiranya, rangkaian ibadah haji delegasi umat Islam Indonesia diterima oleh Allah Swt, aamiiin … Ya Mujiibassaa-iliin. Selamat menunaikan ibadah haji para tamu Allah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.
* Penulis Aktivis Dakwah, Jurnalis dan terakhir Kakankemenag Dharmasraya