Porak Poranda Diambang Sosial Media

Oleh: Sri Mega Hayatulnupus*

Buka mata, raba ponsel. Ketika layar menyala lebih dulu daripada kesadaran sendiri

Ya begitulah ibadah baru yang ditradisikan oleh kaum muda yang melabelkan diri dengan sebutan
Gen-z. lagu “bangun tidur ku terus mandi” sudah direvisi menjadi “bangun tidur HP ku cari”.

Banyak diantara mereka termasuk kita lebih mementingkan balas pesan orang lain daripada balas
pesan tuhan lewat lafaz Hayya ‘Ala shallah.

Dinamika media sosial layaknya seperti pisau tajam bermata dua yang sewaktu-waktu memberikan manfaat dan dilain sisi menjadi bumerang yang berbalik arah menyerang penggunanya. Terkadang disatu sisi media sosial bisa mengefisien waktu dan juga ruang interaksi.

Di lain sisi malah menjadi pemantik konflik sehingga para penggunanya kadang ugal-ugalan dalam menyampaikan keluh kesah mereka. sehingga,

Tidak dapat dipungkiri semua yang kita sharing akan diterima sebagai informasi yang posirif bagi pengguna lainnya.

Data Digital Indonesia 2025 mencatat, 143 juta orang Indonesia aktif di media sosial yang berarti lebih dari separuh penduduk negara ini hidup di dua dunia. Setiap orang menghabiskan rata-rata 3 jam 8 menit per hari hanya untuk scrolling, liking, dan watching.

Dan tidak diragukan lagi pemegang tahta tertinggi penayangan sosial media adalah YouTube dengan jumlah pengakses sebanyak 143 juta pengguna, disusul dengan Facebook sebanyak 122 juta, lalu TikTok dengan jumlah 108 juta, dan Instagram sebanyak 103 juta pengguna.

Sementara itu, secara global, angka grafik pengguna media justru menunjukkan penurunan dari 2 jam 31 menit menjadi 2 jam 21 menit per hari, Tapi tidak dengan Indonesia Kita justru makin larut, makin tenggelam.

Percepatan media sosial sekarang sudah bisa menandingi kecepatan pesawat tempur angkatan udara yang membelah langit global dengan fitur canggih diatas kemampuan manusia rata-rata.

Banyak yang mendadak menjadi buah bibir sebab dari percepatan ini dan terkadang banyak pula yang malah salah langkah dan diamuk oleh badai komentar miring hingga dijatuhkan dan dicibir habis habisan.

Banyak yang hilang popularitas hanya karena potongan vidio 10 detik yang keluar dari konteks. Karena media sosial tidak menyediakan ruang belas kasihan bagi setiap pengunanya sehingga sekali saja penggunanya terpeleset dalam kesalahan maka selama itupula ia akan di ombang-ambing dalam arus liar media sosial.

“Sebagian besar sebagai penikmat, belum mendapatkan manfaat yang nyata” begitu kira-kira
tulisan wakil dekan bidang kemahasiswaan fakultas dakwah UIN Imam Bonjol yang berjudul “Merdeka di Dunia Maya”

Kebanyakan mereka separuh sadar setelah merasa nyaman diayun dengan alunan lagu-lagu cinta dari sosial media sehingga mata mereka sayu-sayu dalam melihat kebenaran. Mereka lebih memilih menjadi pengguna pasif yang mondar-mandir dilaman media untuk menghilangkan jenuh semata.

Sehingga alam bawah sadar mereka mengirimkan sinyal-sinyal kemalasan yang berdampak hingga ke dunia nyata, Mulai dari malas bangkit dari kasur, malas gerak, hingga dampak pada intelektual mereka.

Yang cukup memprihatinkan, kebanyakan dari penggunanya kerap kali menikmati konflik-konflik
ditemani secangkir bensin yang siap untuk menyulut api amarah para pengguna lain.

Dengan menambahkan sedikit bumbu-bumbu amarah dan juga beberapa elemen yang rawan untuk
mengobarkan api-api perpecahan karena hal sepele.

Dengan ikut berpartisipasi dalam mengklik, membagikam, memberikan hinaan, dan juga menambah komentar yang tak bertuan maka sama saja kita termasuk dalam lingkaran hitam yang merugikan.

Namun di tengah porak-poranda ini, apakah kita harus menyerah?

Tidak. Yang kita perlukan bukan meninggalkan media sosial, melainkan mendewasakan cara kita
menggunakannya. Menjadi dewasa dalam menggunakan media sosial bukan berarti berhenti
membagikan cerita atau menjauh dari koneksi.

Tapi itu berarti kita harus tahu batasan, kapan harus hadir, dan kapan harus diam. Kita tahu bahwa tidak semua bagian dari kisah hidup kita harus diumumkan dilaman media sosial, tidak semua kegiatan kita harus dipamerkan, dan tidak semua komentar harus kita dibalas.

Dewasa disini berarti mengerti bahwa ada batas antara keinginan untuk dilihat dan dipuji juga kebutuhan untuk merasa cukup sebagai wadah motivasi, bahkan saat tidak ada yang bereaksi bahkan berkomentar memuji.

Satu pelajaran penting yang mesti dicatat bahwa tidak semua validasi harus datang dari orang lain, bahkan menjalani hidup tanpa posting sana-sini pun akan tetap berarti.

Semakin kompleksnya Media sosial seharusnya mampu memperluas pengetahuan mengenai dunia, bukan malah mempersempit pemahaman tentang ranah dalam mengaksesnya.

Sehingga Platfom media sosial ini dapat menjadi tempat bertumbuh, berbagi, dan juga belajar. Dengan catatan kita tahu kapan harus bereaksi, dan kapan waktunya kita untuk kembali pulang ke dalam diri di dunia nyata.

Untuk mendewasa di era digital, pada akhirnya bukan tentang menjadi manusia yang anti sosial, melainkan tentang menyadari bahwa koneksi paling berarti tidak selalu datang dari layar, melainkan dari percakapan nyata antara sesama, dan keberanian untuk hidup tanpa harus terlihat dalam kacamata orang lain. (*)

* Penulis adalah mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *