Oleh : Muhammad Pajri Zullian*
“The time to repair the roof is when the sun is shining.” (John F. Kennedy)
Pembangunan flyover Sitinjau Lauik bukan sekadar proyek infrastruktur biasa, tetapi respons atas kondisi darurat yang sudah lama menghantui jalur maut ini. Berdasarkan data yang dihimpun dari Kepolisian Resor Kota Padang, yang dikutip oleh media seperti Antara News dan Celah Sumbar, sepanjang 2020 hingga 2024 tercatat sekitar 100 kecelakaan terjadi di jalur ekstrem Sitinjau Lauik, dengan 36 korban meninggal dunia, 13 luka berat, dan sisanya luka ringan. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret nyata betapa jalur yang dikenal dengan tikungan tajam dan tanjakan curam ini benar-benar menyimpan potensi maut.
Angka ini bukan sekadar statistik ini potret nyata betapa jalur ekstrem dengan tikungan tajam dan tanjakan curam seperti Panorama I benar-benar menyimpan potensi maut, terutama bagi kendaraan berat yang sering mengalami rem blong.
Pertanyaan kritis pun muncul, apakah persoalan keselamatan ini sepenuhnya hanya soal kondisi jalan?
Faktanya banyak kendaraan lain berhasil melewati jalur ini dengan selamat, sementara kecelakaan justru lebih sering menimpa truk-truk besar dari luar daerah yang tidak familiar dengan medan atau membawa muatan berlebihan.
Pada titik ini peran Dinas Perhubungan patut disorot karena merekalah yang seharusnya memastikan kendaraan layak jalan, memeriksa kondisi rem, dan mengawasi berat muatan. Sayangnya fungsi pos timbangan kerap hanya menjadi formalitas semata, pemeriksaan seadanya, sementara truk bermuatan lebih tetap saja melaju dan membawa risiko yang pada akhirnya harus dibayar dengan nyawa.
Risiko inilah yang membuat sorotan publik semakin tajam, apalagi menyangkut penggunaan anggaran. Dengan nilai investasi yang fantastis, Rp2,8 triliun, wajar jika publik bertanya: Bagaimana jaminannya bahwa dana sebesar ini digunakan secara efisien, bukan sekadar proyek mercusuar yang indah di atas kertas tapi rapuh dalam pelaksanaan?
Flyover Sitinjau Lauik memang terdengar menjanjikan, tetapi tanpa pengawasan yang ketat, angka-angka besar seperti ini rawan bocor di berbagai celah: mulai dari pembengkakan biaya material, kontrak yang tak transparan, hingga biaya pemeliharaan yang membengkak di kemudian hari.
Di sini penting untuk membandingkan rekam jejak proyek-proyek Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) lainnya di Indonesia. Konsep KPBU memang terdengar hebat karena meringankan beban APBN dan melibatkan pihak swasta.
Namun sejarah mencatat banyak proyek KPBU justru bermasalah. Proyek SPAM Umbulan di Jawa Timur sempat macet akibat persoalan distribusi teknis dan perbedaan tarif. LRT Jabodebek terlambat dari target, biayanya membengkak, dan menuai kritik publik. Beberapa ruas tol KPBU bahkan tertunda pembangunannya, tidak balik modal, hingga akhirnya harus direstrukturisasi kontraknya.
Maka muncul pertanyaan apakah flyover Sitinjau Lauik sudah memiliki blueprint KPBU yang matang. Apakah perjanjiannya mampu mengantisipasi risiko teknis, komersial, dan sosial yang sering menghantui proyek-proyek serupa. Jangan sampai KPBU hanya menjadi stempel manis “swasta terlibat” tanpa kejelasan dan transparansi siapa yang akan memikul risiko jika proyek ini gagal, apakah rakyat, pemerintah, atau investor.
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan karena kita pesimis, tetapi karena kita ingin memastikan bahwa proyek sebesar ini benar-benar membawa manfaat nyata, bukan sekadar catatan rapor bagi pejabat yang ingin tampil seolah “bekerja keras” demi rakyat.
Infrastruktur yang baik memang penting, tetapi tanpa pengawasan yang tegas, budaya keselamatan yang diperbaiki, dan tata kelola yang transparan, flyover baru pun bisa berujung hanya sebagai jalan mulus menuju masalah lama.
Sisi lain yang tak bisa diabaikan adalah kenyataan bahwa proyek ini muncul di tengah gelombang isu nasional yang sedang panas, mulai dari gejolak harga pangan, masalah hukum yang menyeret tokoh-tokoh besar, hingga dinamika politik menjelang pemilu.
Tidak heran jika publik mulai curiga, benarkah proyek sebesar flyover Sitinjau Lauik ini semata-mata untuk rakyat, atau diam-diam jadi panggung pencitraan politik demi menggerek elektabilitas? Di negeri ini, publik sudah terlalu sering menyaksikan parade gunting pita, pose formal di depan spanduk proyek, dan media yang sibuk memberitakan siapa hadir di acara, bukan apa dampak nyata bagi rakyat.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara publik membedakan mana proyek yang benar-benar bermanfaat dan mana yang sekadar etalase pencitraan?
Jawabannya sederhana namun tidak mudah, periksa rekam jejaknya, amati konsistensi pengawasannya, dan lihat sejauh mana hasil akhirnya benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat sehari-hari. Proyek yang nyata untuk rakyat tidak berhenti pada seremoni peresmian atau pemotongan pita, tetapi dilanjutkan dengan tata kelola yang transparan, penyelesaian tepat waktu, manfaat yang terukur, dan yang terpenting keberanian membuka laporan pertanggungjawaban kepada publik.
Proyek yang sekadar menjadi panggung politik biasanya ditandai dengan gembar-gembor besar di awal, minim laporan di tengah jalan, dan absen hasil nyata di akhir. Publik perlu jeli, media harus tetap kritis, dan pihak berwenang wajib serius mengawal agar pembangunan tidak sekadar menjadi panggung megah bagi segelintir elit, melainkan sungguh-sungguh menjadi jalan perubahan yang bermanfaat untuk semua.
Namun, bukan berarti kita harus jatuh pada sinisme. Justru di tengah pusaran simbol-simbol politik itu, publik perlu tetap kritis dengan sikap seimbang. Kritis bukan berarti selalu curiga, mendukung bukan berarti menutup mata. Yang diperlukan adalah keberanian untuk menagih janji, menuntut laporan berkala, memantau pelaksanaan proyek, dan memastikan bahwa hasil akhirnya benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat sehari-hari.
Pertanyaan pentingnya bukan lagi sekadar mencurigai, tetapi bagaimana publik harus bersikap agar tetap kritis tanpa langsung menuduh semua proyek pemerintah sebagai pencitraan. Kuncinya terletak pada keseimbangan, kita perlu mewaspadai pola-pola politik simbolik, tetapi juga memberi ruang bagi pemerintah untuk bekerja dan membuktikan kinerjanya.
Bersikap kritis bukan berarti asal curiga, dan mendukung bukan berarti menutup mata. Yang perlu dilakukan publik adalah mengawal dengan cerdas, menuntut laporan berkala, memantau pelaksanaan, dan tidak mudah terbuai oleh narasi besar yang belum tentu sesuai dengan realitas lapangan.
Karena pada akhirnya, pembangunan sejati bukan hanya dinilai dari siapa yang hadir saat groundbreaking, tetapi dari siapa yang mau bertanggung jawab saat hasil akhirnya diuji oleh waktu.
Siapa sebenarnya yang akan paling diuntungkan jika flyover ini rampung?
Apakah hanya para pelaku logistik besar, perusahaan angkutan, dan kendaraan berat yang selama ini kesulitan menaklukkan jalur ekstrem itu, atau manfaatnya juga akan dirasakan oleh masyarakat luas yang bergantung pada kelancaran distribusi barang dan konektivitas antar wilayah?
Jujur saja, di sekitar Sitinjau Lauik hampir tidak ada permukiman warga yang akan langsung terdampak secara lokal. Jalur ini lebih berperan sebagai penghubung utama antara Padang dan Solok, serta menghubungkan Sumatera Barat dengan wilayah selatan Sumatera.
Maka, pertanyaannya bukan sekadar apakah jalan itu akan lebih mulus, tetapi apakah manfaat ekonominya betul-betul akan mengalir hingga ke harga-harga kebutuhan pokok di pasar rakyat, pendapatan sopir angkutan kecil, dan kesejahteraan sektor UMKM di Sumbar?
Selain itu muncul pula pertanyaan apakah sudah disiapkan rencana pemeliharaan jangka panjang agar flyover ini tidak cepat rusak dan justru menjadi beban keuangan daerah. Terlalu sering kita menyaksikan proyek-proyek besar yang setelah diresmikan pelan-pelan ditinggalkan tanpa perawatan memadai: tiang mulai retak, drainase tersumbat, aspal mengelupas. Infrastruktur yang dibangun tanpa perencanaan pemeliharaan yang jelas pada akhirnya hanya akan menjadi monumen kebanggaan semu tampak megah di awal, tapi menyusahkan di tahun-tahun berikutnya.
Karena pada akhirnya pembangunan bukan hanya soal berdirinya flyover atau siapa yang berdiri di atas panggung peresmian. Tetapi soal apakah rakyat kecil di Sumatera Barat benar-benar merasakan dampaknya dari distribusi barang yang lebih cepat, ongkos logistik yang lebih murah, hingga harga kebutuhan pokok yang lebih stabil. Infrastruktur sejati tak butuh panggung megah, cukup bukti nyata di mata rakyat.
Jika hasilnya nanti nihil, maka proyek ini tak lebih dari panggung politik mahal yang ujungnya tetap menyengsarakan rakyat kecil. []
*) Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Imam Bonjol Padang Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Sekarang berdomisili di Balimbiang, Rambatan, Tanah Datar, Sumatera Barat