Yang Kuliah Membersihkan, Yang Liburan Membiarkan: Mahasiswa PMI Bersih-bersih

Himpunan Mahasiswa Pengembangan masyarakat Islam foto bersama setelah bersih-bersih pantai. (foto; ist)

Oleh : Diska Afrilia*

Indonesia dikenal sebagai negara maritim dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Namun ironisnya, negeri ini juga termasuk penyumbang sampah plastik ke laut terbesar di dunia. Fakta ini bukan lagi sekadar data global yang jauh dari keseharian, karena buktinya bisa dilihat langsung, salah satunya di Pantai Pasir Jambak, Kota Padang.

Pantai yang seharusnya menjadi ruang publik untuk rekreasi dan relaksasi, kini menjadi tempat berkumpulnya limbah plastik, pembungkus makanan, dan sisa-sisa aktivitas manusia. Kesan indah dan alami berganti dengan citra kumuh dan kumal.

Minggu sore, 25 Mei 2025, sekelompok mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Prodi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) UIN Imam Bonjol Padang mencoba memberi respons. Mereka menggelar aksi bersih-bersih pantai secara mandiri, tanpa sponsor, tanpa sorotan kamera media, tanpa kerumunan relawan.

Hanya dengan plastik sampah warna hitam, semangat himpunan, dan satu spanduk imbauan: jangan buang sampah sembarangan. Sayangnya, kegiatan tersebut berlangsung di tengah ketidakpedulian. Tak satu pun dari pengunjung pantai yang membantu, meski menyaksikan langsung mahasiswa memungut sampah di bawah terik matahari sore. Sebagian hanya menoleh sekilas, lalu kembali sibuk dengan kamera ponsel dan tikar piknik mereka. Tidak ada ajakan, tidak ada apresiasi, apalagi partisipasi. Seolah-olah urusan kebersihan adalah tugas segelintir orang, bukan kewajiban bersama.

Fenomena ini mencerminkan masalah yang lebih besar dari sekadar sampah. Tetapi  rendahnya kesadaran masyarakat untuk menjaga ruang publik yang kita nikmati bersama. Ketika kepedulian dibatasi pada “asal bukan saya yang buang”, maka jangan heran jika pantai-pantai kita berubah menjadi tempat sampah yang permanen.

Kita telah lama hidup berdampingan dengan kebiasaan buruk, membuang sampah sembarangan. Pantai bukan satu-satunya korban. Sungai, gunung, hingga halaman masjid pun tidak luput. Namun, masalah pantai terasa lebih menyakitkan karena ia adalah wajah wisata dan alam yang paling mudah diakses, tetapi juga paling cepat rusak.

Sampah plastik tidak hanya mencemari pemandangan. Ia mengancam ekosistem laut, membunuh biota, dan pada akhirnya kembali ke meja makan kita dalam bentuk mikroplastik. Laut yang tercemar bukan lagi mitos, melainkan bahaya nyata yang bergerak perlahan namun pasti.

Sayangnya, reaksi kita masih datar. Papan peringatan sering diabaikan. Spanduk imbauan dibaca sepintas lalu. Bahkan aksi nyata seperti yang dilakukan para mahasiswa pun diperlakukan seperti tontonan: dilihat, tapi tidak ditiru.

Aksi bersih-bersih ini adalah upaya kecil untuk merespons masalah besar. Tapi pertanyaannya: mengapa harus mahasiswa yang turun tangan? Di mana peran pengunjung, pedagang, pemerintah daerah, dan kita semua sebagai pengguna ruang publik? Masalah sampah bukan masalah siapa yang membuang, tapi siapa yang membiarkan. Selama masyarakat masih memandang sampah sebagai tanggung jawab “orang lain”, maka kita hanya akan berputar-putar dalam lingkaran krisis yang sama.

Pantai yang bersih tidak datang dari petugas kebersihan. Ia lahir dari budaya sadar lingkungan yang ditanamkan sejak dini dan dijalankan dalam kebiasaan sehari-hari.

Mahasiswa PMI tidak hanya membersihkan pantai. Mereka juga mengadakan sharing session dan outbond setelah kegiatan utama. Dalam suasana santai ditemani matahari tenggelam, mereka membahas pentingnya peran kelompok masyarakat dalam merawat ruang publik. Yang mereka lakukan mungkin terlihat kecil, tapi di situlah letak nilainya. Karena perubahan sosial tidak selalu dimulai dari rapat besar atau konferensi pers, melainkan dari tindakan langsung di lapangan. Aksi seperti ini adalah bentuk pengingat bahwa kesadaran tidak tumbuh dari teori semata. Ia tumbuh dari keterlibatan, keteladanan, dan konsistensi.

Hari ini kita masih bisa duduk menikmati angin pantai. Tapi jika sampah terus menumpuk dan laut terus tercemar, maka jangan heran jika satu saat nanti pantai tidak lagi ramah dikunjungi.

Laut tidak butuh manusia. Kitalah yang membutuhkan laut.

Sudah waktunya kita berhenti bersikap acuh. Peduli lingkungan bukan gaya hidup eksklusif, tapi kebutuhan dasar. Karena menjaga pantai bukan hanya soal alam, tapi soal martabat kita sebagai manusia yang tahu malu, setidaknya malu membuang sampah sembarangan. []

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *