Generasi Emas 2045? Atau Justru Generasi Cemas 2045?

Oleh ; Agil Vahlevi*

Benarkah Slogan Gen Z akan menjadi pelopor Indonesia Emas 2045?

Lahir di tengah ledakan teknologi, Generasi Z mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 adalah generasi pertama yang sejak kecil sudah akrab dengan internet, media sosial, dan kecerdasan buatan. Bagaikan dibesarkan oleh “baby sitter digital“, mereka tumbuh dalam dunia yang serba cepat dan terhubung.

Tak heran jika Gen Z kerap disebut sebagai motor penggerak menuju Indonesia Emas 2045. Kemampuan mereka dalam beradaptasi dan berpikir kritis di era digital menjadikan Gen Z kekuatan baru yang siap mengguncang dunia sosial, ekonomi, hingga budaya. Namun di balik potensi luar biasa itu, ada ancaman yang mengintai krisis moral dan etika yang bisa melemahkan fondasi generasi ini jika tidak ditangani sejak dini.

Tidak perlu menunggu gelar sarjana untuk menciptakan terobosan. Generasi Z, yang tumbuh bersama dunia digital, telah membuktikan bahwa usia muda bukan penghalang untuk berinovasi. Mereka memiliki naluri teknologi yang tajam, kecepatan belajar luar biasa, dan akses luas ke berbagai platform pembelajaran, terutama lewat media sosial.

Dari menciptakan aplikasi, membangun bisnis online, hingga menjadi konten kreator sukses bahkan sebelum lulus sekolah menengah, Gen Z menunjukkan bahwa kreativitas dan produktivitas kini tak lagi mengenal batas. Dengan teknologi sebagai alat utama, mereka melesat cepat menjadi motor perubahan di berbagai bidang.

Bagi Gen Z, media sosial bukan sekadar tempat berselancar ini adalah panggung utama untuk mengekspresikan diri, membentuk identitas, dan menyuarakan aspirasi. Dalam hitungan detik, mereka mampu menciptakan persona digital yang fleksibel, adaptif, dan resonan dengan audiens global. 

Kemajuan teknologi yang begitu cepat telah melahirkan budaya kreatif yang segar, dinamis, dan penuh warna. Namun di era sekarang, ketika satu unggahan bisa menjangkau ribuan pasang mata dalam sekejap, kebebasan berekspresi di media sosial menjadi pedang bermata dua bagi Gen Z. Kemudahan akses ini tak hanya membuka ruang kreativitas, tetapi juga melahirkan budaya digital yang sering kali mengaburkan batas antara yang etis dan yang melukai.

Generasi Z di Indonesia memang menunjukkan potensi digital yang signifikan. Survei oleh Katadata Insight Center dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada 2021 mengungkap bahwa 60% Gen Z memiliki indeks literasi digital tinggi, tertinggi dibandingkan generasi lainnya. Namun meskipun melek teknologi, indeks literasi digital nasional Indonesia masih berada pada skor 3,47 dari skala 5, yang menunjukkan bahwa literasi digital secara umum masih dalam kategori sedang.

Untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, Gen Z perlu dilengkapi dengan pendidikan nilai dan etika digital yang kuat. Hanya dengan fondasi moral yang kokoh, potensi besar Gen Z dapat diarahkan untuk berkontribusi positif bagi bangsa. Namun pada kenyataannya, fenomena seperti body shaming, doxing, hingga penyebaran hoaks menjadi kian marak.

Demi popularitas instan, sebagian dari mereka rela mengorbankan nilai sopan santun, empati, bahkan tanggung jawab sosial. Media sosial yang seharusnya menjadi alat pemberdayaan justru bisa berubah menjadi ruang yang penuh tekanan dan ekses negatif.

Undang-Undang ITE memang bisa menjerat pelaku yang terbukti melanggar hukum, tapi tidak menjangkau persoalan etika yang kian kabur di jagat digital. Dalam era euforia kebebasan berekspresi, segala hal terasa telanjang di ruang publik.

“Masalah etika adalah wilayah abu-abu yang sulit dijangkau hukum,” ujar Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol Padang dalam tulisannya Kontes Moral pada Video Viral.

Di sinilah krisis dimulai saat batas moral tak lagi jelas, dan validasi digital menjadi tolok ukur harga diri. Media sosial telah menanamkan kebutuhan konstan akan pengakuan eksternal; likes, komentar, dan followers menjadi indikator eksistensi. Gen Z pun terjebak dalam pusaran pencitraan semu, di mana nilai diri ditentukan oleh algoritma, bukan integritas.

Tekanan untuk tampil sempurna membuat mereka rentan mengalami krisis identitas hidup dalam dunia yang terlihat ideal namun rapuh di balik layar. Media sosial menciptakan semacam “realitas paralel” yang menggantikan kehangatan interaksi manusia menjadi hubungan serba cepat dan dingin. Gen Z tumbuh lebih nyaman berbicara lewat layar daripada tatap muka, lebih fasih menyampaikan perasaan dengan emoji ketimbang ekspresi nyata. Akibatnya, kepekaan sosial menurun, komunikasi kehilangan rasa hormat, dan kemampuan menyelesaikan konflik pun ikut melemah.

Generasi Z sering kali disebut sebagai generasi dengan potensi luar biasa adaptif, kreatif, dan melek teknologi. Namun di balik pujian itu, tersimpan sisi lain yang tak bisa diabaikan generasi strawberry yang paling mudah rapuh, paling cepat tersinggung, dan paling enggan berproses.

Kata “mood” menjadi tameng saat tanggung jawab menghampiri, dan label “toxic” kerap dilontarkan saat kritik muncul. Fenomena ini menjadi cermin bagaimana daya tahan mental dan ketangguhan moral perlahan terkikis, seiring derasnya arus kenyamanan instan yang ditawarkan media sosial.

Salah satu akar dari degradasi moral ini adalah rendahnya literasi di kalangan Gen Z, terutama literasi kritis dan etis. Dr. Abdullah Khusairi, MA, dalam kuliah Literasi Media (7/5), mengungkapkan bahwa sebagian besar Gen Z masih berada di kelompok literasi menengah ke bawah (golongan B dan C), dengan hanya sekitar 1% yang mampu mencapai level literasi unggul (golongan A). Dominasi konsumsi konten singkat, dangkal, dan visual yang mengejar estetika semu membuat banyak dari mereka hidup dalam ilusi menelan mimpi tanpa fondasi realita, jenuh oleh harapan palsu yang mereka bangun sendiri.

Tak cukup jadi generasi paling terhubung kalau tak tahu ke mana arah melangkah. Gen Z punya semua alat untuk jadi pemimpin masa depan, tapi tanpa nilai dan tanggung jawab, semua itu hanya jadi kebisingan digital belaka. 

Indonesia Emas 2045 butuh lebih dari sekadar kreativitas ia butuh karakter, keberanian, dan aksi nyata. Jangan sampai Gen Z hanya jadi generasi yang ramai bicara tapi minim karya. Karena sejarah tak mencatat siapa yang paling viral, tapi siapa yang paling berdampak. []

* Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Respon (1)

  1. Artikel ini menggambarkan apa yang terjadi pada generasi Z di era digital sekarang, artikel ini bisa menjadi Solusi yang bisa menyadarkan generasi Z atas kelalaian dan keterlambatan yang berdampak besar dimasa yang akan mendatang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *