Mondok: Antara Ibadah, Pendidikan, dan Paksaan Terselubung

Oleh : Ibnu Fikri dan Aprilia Putri*

“Lho, kok anak pesantren kelakuannya begitu?”

Pernah dengar komentar seperti itu? Mungkin kita cukup sering mendengar celetukan seperti itu, dan belakangan, pertanyaan semacam ini terasa semakin layak untuk kita pikirkan bersama.

Saat ini, banyak orang tua beranggapan bahwa mondok atau belajar di pesantren sebagai satu-satunya cara untuk belajar agama dan agar anak terlihat religius. Tak sedikit orang tua yang merasa telah menjalankan tanggung jawabnya hanya dengan menitipkan anak ke pesantren tanpa lebih dulu mempertimbangkan, apakah anak tersebut benar-benar siap? Apakah itu memang keinginannya sendiri atau hanya kenginginan kita sebagai orang tuanya saja?

Pondok pesantren pilihan yang mulia bukan paksaan

Bukan berarti saya menolak konsep pondok pesantren. Saya justru meyakini bahwa mondok adalah pilihan mulia tapi bukan keharusan bagi semua orang. Anak yang memang memiliki niat kuat untuk mendalami agama di pesantren, in syaa Allah akan menjalani proses itu dengan ikhlas dan mendapatkan hasil yang penuh berkah.

Namun ceritanya berbeda jika anak masuk pondok hanya karena paksaan. Rasa terpaksa itu bisa menjadi beban yang berat, bahkan bisa berujung pada kenakalan, pelanggaran aturan, atau hilangnya jati diri sebagai seorang santri.

Kita sendiri mungkin pernah melihat teman-teman yang mondok tanpa benar-benar siap secara hati. Memang, mereka lulus. Tapi apakah sikap dan penampilan mereka mencerminkan lulusan pesantren?

Tidak selalu. Ada yang memakai hijab hanya sebagai simbol, sementara nilai-nilai adab yang pernah dipelajari perlahan menghilang setelah keluar dari lingkungan pondok, bagaikan burung yang lepas dari sangkar.

Pesantren bukan satu-satunya jalan

Saat ini, akses untuk belajar ilmu agama sangat luas dan terbuka. Ada YouTube, podcast, kelas online, hingga berbagai komunitas pengajian yang mudah dijangkau. Artinya, menuntut ilmu agama tidak selalu harus lewat jalur pesantren yang terpenting adalah niat yang tulus dan benar.

Bagi yang ingin merasakan kehidupan asrama dan pembinaan yang lebih intens, tentu saja mondok bisa menjadi pilihan tepat. Tapi sejak awal, pastikan niatnya sudah lurus, supaya tidak mudah goyah saat menghadapi tantangan di tengah perjalanan.

Pesanteren bukan tempat penitipan anak

Cukup mengherankan ketika mendengar ada anak usia lima tahun yang sudah dimasukkan ke pondok. Di usia yang masih sangat muda masa emas yang semestinya dipenuhi dengan kasih sayang dan pelukan orang tua kenapa justru dilepas ke lingkungan yang belum tentu sesuai dengan kebutuhannya?

Pesantren bukanlah tempat penitipan anak. Ia adalah ruang untuk membentuk karakter dan akhlak. Tapi bagaimana proses itu bisa berjalan maksimal jika bekal awal si anak saja belum cukup?

Anak usia dini masih sangat membutuhkan bimbingan langsung dari orang tuanya. Jika memang ingin menanamkan nilai-nilai agama, orang tua bisa mulai dari rumah. Karena sejatinya, anak-anak belajar lebih cepat dari contoh yang mereka lihat setiap hari, bukan hanya dari perintah atau larangan.

Saat ini, banyak orang tua hanya menyerahkan anaknya ke pesantren tanpa turut berperan dalam pendidikan atau pembinaan anak tersebut. Akibatnya, kondisi pesantren pun berubah, banyak santri yang justru berperilaku nakal atau tampak kurang mendapatkan kasih sayang.

Di saat yang sama, anak-anak yang masih sangat kecil pun dimasukkan ke lingkungan seperti ini. Padahal, sebagian penghuni pesantren adalah mereka yang merasa tidak diterima di lingkungan asalnya, atau memiliki masalah akhlak. Hal ini tentu berisiko memengaruhi dan memberi dampak buruk pada perkembangan anak-anak kecil yang lebih rentan tersebut.

Niat baik, tapi apakah sudah bijak?

Niat orang tua pada dasarnya sering kali tulus. Banyak yang memilih memondokkan anak karena merasa kurang mampu mendidik sendiri, atau karena anak dianggap terlalu sulit diatur. Tapi niat baik itu bisa berubah menjadi beban mental bagi anak jika tidak disertai pendekatan yang bijak.

Tidak sedikit anak yang masuk pondok karena tekanan, bukan kemauan. Pernah terdengar ancaman seperti, “Kalau nggak tamat pondok, kamu nggak akan disekolahin lagi.” Dalam situasi seperti itu, anak bertahan bukan karena semangat belajar, tapi karena rasa takut.

Pertanyaannya, apakah tujuan akhirnya benar-benar ingin membentuk generasi yang beriman? Atau sekadar menenangkan perasaan bersalah karena merasa tak sanggup mendampingi mereka sendiri di rumah?

Mondok pilihan dari hati, bukan paksaaan

Mondok adalah pilihan, bukan paksaan. Ia bisa jadi ladang pahala atau jebakan yang melelahkan. Kuncinya ada pada satu hal: niat. Kalau anak sendiri yang ingin, maka insya Allah hasilnya akan berbeda. Tapi kalau hanya ikut arus atau dipaksa, jangan heran kalau hasilnya jauh dari harapan.

Pondok bukan segalanya. Tapi niat yang lurus dan pendidikan yang tepat, itulah kuncinya. []

* Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab (PBA) UIN Imam Bonjol Padang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *