Oleh : Yuwanda Efrianti*
Ada yang cukup menyebut asalnya, lalu dunia membuka pintu. Sebutannya seperti mantra menggugah hormat, memaksa decak kagum. Padahal kadang, belum satu pun batu dipindah, belum satu pun langkah disumbang, tapi namanya sudah jadi karpet merah di ruang-ruang pengakuan. Mereka tidak bicara tentang kontribusi, karena reputasi sudah bicara lebih dulu.
Sementara itu, di sisi lain peta intelektual, ada tempat yang kalau disebut, reaksinya hanya “oh.” Tanpa antusias. Tanpa ingin tahu. Sebuah kampus yang berjuang berdiri di tengah arus definisi kampus ideal versi masyarakat. Nama yang masih terus diketik ulang di mesin pencarian, karena banyak orang belum tahu ejaannya, apalagi kisahnya.
Namun yang tak diketahui banyak orang adalah di tempat yang sunyi dari pengakuan itu, justru lahir kegelisahan paling jujur. Kegelisahan untuk berbuat, bukan sekadar tampil. Kegelisahan untuk menciptakan makna, bukan sekadar mengutip kebanggaan lama. Sebab tidak semua kampus yang dikenal berarti sedang tumbuh, dan tidak semua kampus yang tumbuh sedang dikenal.
Ada yang datang ke kampus untuk berlindung. Berlindung dari ketidakmampuan dengan memakai jas almamater yang terlalu besar untuk dirinya.
Sedangkan yang lain datang untuk menciptakan alasan mengapa jas itu pantas dikenakan.
Mereka menciptakan prestasi hari ini. Mereka tidak berlindung di balik nama besar, karena nama besar itu belum selesai dibangun. Di sinilah bedanya yang satu memakai nama, yang lain membangun nama.
Dan di tengah absurditas sistem yang menilai kualitas berdasarkan seberapa sering nama disebut di seminar nasional, ada yang memilih jalur sunyi menyulap rasa malu menjadi kekuatan, mengubah cibiran menjadi alasan, dan menjadikan keterbatasan sebagai medan latihan.
Kampus itu bernama UIN Imam Bonjol Padang dan tidak, ini bukan kampus yang populer di tongkrongan warung kopi atau trending di bursa kerja. Tapi ini adalah tempat di mana mahasiswa sedang menciptakan sejarah kecil yang kelak akan mengguncang meja pengakuan.
Ia bukan pengekor tren, dan bukan pencipta arus. Mereka tidak butuh disorot untuk bergerak. Karena yang dibutuhkan bukan lampu sorot, tapi daya untuk menyala.
Jika kampus lain sibuk mendulang nama dari masa lalu, maka ada kampus yang sedang mengukir masa depan dari nol, satu aksi, satu karya, satu perubahan.
Karena pada akhirnya, yang dikenang bukan siapa yang terkenal duluan, tapi siapa yang menciptakan alasan untuk diingat. []
* Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang, Uni Duta Kampus UIN Imam Bonjol Padang Tahun 2025, dan Peserta sIBac-SIP Australia