Oleh : Afdal Salputra*
Apresiasi buat pemerintah Indonesia setelah sekian lama memikirkan solusi atas mahalnya biaya kuliah, akhirnya mereka menemukan satu jurus pamungkas: utang. Ya, student loan. Sebuah solusi yang sangat diinginkan oleh mahasiswa memberikan kebebasan, bebas dari mimpi dan kehidupan tanpa beban utang di usia muda.
Bukankah ini luar biasa? Di tengah gempuran kenaikan UKT yang bikin mahasiswa harus pilih antara bayar kuliah atau makan, pemerintah justru memberi jalan keluar: “Tenang, kalian bisa tetap kuliah, tinggal berutang saja dulu. Nanti kalau sudah kerja, bayar ya!” Oh, betapa mulianya. Generasi muda diberi kesempatan emas untuk langsung akrab dengan konsep utang sebelum mengenal stabilitas keuangan.
Lebih ironis lagi, narasi yang dibangun sangat membesarkan hati. Pemerintah bilang, skema student loan sedang dikaji “mendalam agar tidak memberatkan mahasiswa.” Kita tahu, dalam kamus kebijakan negeri ini, kata “tidak memberatkan” seringkali berujung pada “ya sudah, tetap berat sih, tapi kan kita sudah niat baik.” Tak heran jika mahasiswa mulai skeptis. Tenang bunganya kecil kok dan ditanggung oleh pemerintah “katanya”.
Mari kita lihat ke negara-negara yang sudah lebih dulu menjalankan skema ini. Sebagai contoh negara bagian tengah Amerika Utara, yaa “Amerika Serikat” yang saat ini sedang berjuang dengan krisis skema yang diterapkan dinegaranya. Mahasiswa lulus dengan gelar, ya, tapi juga dengan beban utang yang menghantui selama puluhan tahun. Bukankah ini model yang sangat inspiratif untuk ditiru?
Dan yang paling memesona adalah logika dasar dari solusi ini: kalau kamu tidak mampu, maka berutanglah. Bukan negara yang bertanggung jawab atas pendidikan warganya, tapi justru individu yang diminta menanggung beban sistem. Ironis, negara yang katanya ingin mencetak SDM unggul justru membuat pendidikan tinggi terasa seperti kemewahan yang harus dicicil.
Lebih parahnya lagi, narasi tentang pemerataan akses pendidikan mulai terdengar seperti lelucon sarkastik. Dulu katanya, “pendidikan adalah hak semua warga negara.” Kini, seakan menjadi, “pendidikan adalah hak semua warga, asalkan kalian siap berutang.” Bukankah ini langkah maju dalam mendefinisikan demokrasi pendidikan?
Ibaratkan sebuah permainan, kampus dan pemerintah seolah olah setuju dengan kenaikan UKT yang tidak masuk akal dan memberikan solusi student loan. Sebuah strategi yang cukup jenius kalau kita abaikan empati, tentu saja.
Tidak semua mahasiswa bisa lulus tepat waktu, tidak semua bisa langsung dapat pekerjaan layak, dan tidak semua bisa hidup mandiri setelah wisuda. Tapi sistem ini seolah berkata: “Itu bukan urusan kami, yang penting kamu sudah kami kasih jalan buat berutang.” Begitu fleksibel dan empatik, bukan?
Dan jangan lupa, ini semua masih dalam tahap kajian. Tapi dari nada-nada yang beredar di media, arahnya sudah cukup jelas. Pemerintah sepertinya sudah mantap menempatkan mahasiswa sebagai aktor ekonomi sejak di bangku kuliah dengan modal ijazah dan beban cicilan.
Akhir kata selamat datang, dan masi kita sambut era baru sistem pendidikan tinggi indonesia. Era di mana mahasiswa bukan lagi sekadar pejuang ilmu, tapi juga calon debitur profesional. Sebuah era yang menyadarkan kita, bahwa cita-cita tak cukup dengan tekad dan kerja keras harus dibarengi dengan kesiapan membayar cicilan.
Selamat datang, student loan. Karena rupanya, di negeri ini, utang adalah jalan paling realistis untuk meraih mimpi.
*Mahasiswa Hukum Keluarga UIN Imam Bonjol Padang, Uda Literasi Kampus UIN Imam Bonjol Padang 2025