Botol Kosong di Atas Bukit

Oleh : Muhammad Pajri Zullian*

Botol itu kalau mau dituang atau diminum, harus diisi dulu.
Kalau nggak ada isinya, apa yang mau dituangkan, apa yang mau diminum?

– Prof. Dr. Syafruddin, M. Ag

Awalnya saya pikir itu cuma nasihat khas dosen senior. Tapi kalimat itu menghantam keras ketika saya membaca pengumuman dari LPM Suara Kampus.
Sebelas calon rektor UIN Imam Bonjol Padang tidak satu pun mengirim tulisan.

Lho?

Ini kampus Islam yang katanya jadi tempat lahirnya gagasan.

Ini calon pemimpin kampus, yang katanya visioner.

Tapi menulis satu artikel opini saja tak mampu.

Maka saya sadar, mungkin memang benar, botolnya kosong.

Karena menulis itu bukan soal gaya, tapi soal isi.

Dan kalau isi itu pun tak ada, yahhh…gimana?  kalian bisa tafsirkan masing-masing.

Lucunya, ketika tulisan ini mulai saya susun,

peringatan justru datang bukan dari mereka yang saya kritik, tapi dari mereka yang minta tulisan ini dibuat. “Kalimatnya dijaga ya…” “Jangan terlalu kasar…” “Jangan menyerang pribadi…”

Saya jadi teringat ucapan Rocky Gerung: “Pikiran yang disopan santunkan adalah kemunafikan.”

Maka saya tanya balik ke LPM Suara Kampus.

Kalian bikin ini karena ingin benar-benar menggali sampai ke akar?
Atau cuma agar tetap terlihat hadir menjelang pergantian pejabat besar?

Kalian ingin tulisan yang mengguncang dan jujur tanpa hambar?
Atau cukup paragraf manis yang aman dibaca di seminar?

Saya heran, kenapa pasal nulis ini terasa berat bagi yang katanya bakal pimpin kampus.
Ini bukan minta disertasi, bukan minta buku best seller.
Cuma tulisan ringan.
Tulisan tentang kampus yang katanya mereka cintai.
Tapi gak satu pun dari mereka yang mau angkat pena.

Lalu kita disuruh percaya bahwa mereka punya visi?
Visi yang mana? Yang disimpan dalam flashdisk lalu hilang entah kemana?

Kalau mereka benar-benar punya isi, kenapa gak mau menulis?
Apa karena memang gak ada isinya?
Atau takut ketahuan kalau selama ini cuma modal baliho dan CV semata?

Dan yang bikin makin gerah,
para dosen pun ikut diam.
Kita gak lihat satu pun yang angkat suara.
Lho, kenapa gak ada calon rektor yang nulis?”
Padahal kalau mahasiswa presentasi skripsi,
wahh bukan main hebatnya para dosen mengomentari tulisan mahasiswanya.

Ini kok gak sesuai sistematika?”
Kamu nulis apa ini? Teorinya mana?”
Referensinya lemah. Gak layak terbit.”

Giliran mahasiswa salah satu paragraf,
langsung dibantai tanpa maaf,
dihakimi seolah bikin makalah adalah dosa besar paling khilaf.

Tapi sekarang, saat para calon rektor gak ngasih satu kata pun,

Semua diam.
Sunyi.
Senyap.
Seolah pena mereka juga ikut pensiun dini.


Kita hidup di institusi yang katanya menjunjung tinggi ilmu,
tapi makin hari terasa seperti tempat membungkam kalimat sebelum sempat selesai ditulis.
Bukan karena tak tahu caranya berpikir,
tapi karena terlalu banyak yang ingin mengatur isi pikiran orang lain.

Tulisan tak lagi diukur dari kejujuran,
tapi dari seberapa amannya ia dibaca oleh atasan.
Dan kalau pun tetap ingin menyampaikan, harus siap-siap dipanggil dan dihadapkan,

bukan karena bikin kerusakan, tapi karena berkata dengan kejujuran.

Padahal, yang kita butuh bukan tulisan yang diam-diam disetujui,
tapi yang dengan terang menyentuh hati.

Ini kampus Islam, Bung.
Tempat ayat ditafsirkan, bukan ditakuti.
Tempat kritik ditulis, bukan dikubur menangis.
Dan kalau calon rektor aja gak berani nulis,
ya mending jadi penjaga parkir. Setidaknya dia tahu ke mana harus mengarahkan.

Saya gak bilang saya satu-satunya yang peduli.
Karena saya tahu, kami semua, mahasiswa, pernah punya harapan.
Kami ingin kampus ini berubah.
Kami ingin lima tahun ke depan diisi oleh rektor yang berani, bukan hanya rapi.
Yang menulis bukan karena lomba, tapi karena dada tak bisa terus menyimpan luka.

Kami pernah percaya,
kampus ini bisa jadi ruang aman untuk berpikir.
Tempat para dosen dan mahasiswa bisa bersilang ide.
Kami pernah membayangkan rektor baru datang,
membawa mimbar yang bersih, dan pena yang jujur.

Tapi itu semua omong kosong…

Saya menunggu.
Siapa mahasiswa yang akan menulis tandingan?
Siapa yang berani berdiri dan berkata:
“Kalau rektor diam, biarlah mahasiswa bersuara!”

Tapi yang muncul bukan suara,
yang muncul cuma alasan.
“Sibuk. Capek. Bikin proposal.
Bikin apa aja asal bukan kritik atasan.”

Tak satu pun benar-benar muncul.
Sunyi. Mati. Tak berisi.

Mahasiswa yang dulu dielu-elukan sebagai “penyambung lidah rakyat
kini bahkan tak sanggup menyambung kata untuk berpendapat.

Pengecut Berjamaah.

Berkerumun di grup WA, tapi lenyap di ruang publik.
Lincah di caption Instagram, tapi lumpuh di kolom opini.

Takut dibaca dosen.
Takut tak lulus.
Takut kehilangan kenyamanan kecil yang entah apa isinya. Atau jangan-jangan…

Memang sudah disumpal beasiswa.
Dikasih dana bulanan, lalu dijinakkan.
Dipilih karena nilai, lalu dilatih untuk patuh.
Dan sejak itu, suara itu tak lagi lantang, tapi sopan, halus, dan nyaris tak terdengar.

Mahasiswa model begini cuma cocok dijadikan penonton.
Bukan pelaku sejarah.
Apalagi pemilik masa depan.

Maka jangan salahkan rektor kalau diam,
karena kita pun memilih diam bersama.

Jangan heran kampus ini kehilangan nyali,
karena ketakutan telah jadi mata kuliah tak tertulis yang lulusannya makin banyak.

Mungkin kami memang sudah kalah,
bahkan sebelum pikiran dituliskan.

Dan mungkin… kampus ini memang ditakdirkan jadi tempat yang penuh bangunan,
tapi miskin keberanian.

Mungkin kami cuma akan terus begini,
berharap dalam hati, lalu diam dan mati dalam sunyi.

Maka, jika kelak sejarah kampus ini dituliskan,

jangan lupa sisipkan dalam catatan,

bahwa di masa itu yang penuh tekanan,

saat kampus sedang butuh keberanian, semua memilih bungkam dalam kenyamanan.

Barangkali, inilah bentuk baru dari kampus kita,
Gedung megah. Sistem digital. Acara formal.
Tapi isinya…
kosong. Seperti botol.
Tak ada akal. Tak punya modal.
Penuh seremoni, miskin nalar.
Terlalu formal, tapi nol total.

Dan jika semua ini terus dibiarkan,
jika rektor sibuk bersaing jabatan,
dosen sibuk bermain aman,
mahasiswa sibuk menjaga nilai kelulusan,
dan LPM pun hanya ingin tetap eksis didepan
maka jangan harap kampus ini melahirkan pemikiran.
Ia hanya akan jadi pabrik ijazah,
yang penuh gelar, tapi kehilangan arah.

Sudahlah.
Cukup.
Jika kampus ini masih mau hidup sebagai ruang ilmu,
maka semua pihak harus mulai peduli.
Lebih peka.
Lebih jujur.
Dan berhenti berpikir untuk kepentingannya sendiri.

Karena jika tidak,
kita semua sedang memakamkan kampus ini perlahan.
Dan tragisnya,
kita tak perlu gali liang kubur,
karena kampus ini sendiri sudah berdiri di atas bukit.
Tinggal kita tancapkan batu nisan,
dan biarkan ia jadi saksi,
bahwa pernah ada tempat bernama UIN,
yang katanya lahirkan ilmu,
tapi malah dikubur oleh ketakutan dan kepentingan. []

*Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana UIN Imam Bonjol Padang Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Sekarang berdomisili di Balimbiang, Rambatan, Tanah Datar, Sumatera Barat, Anggota Komunitas SCOCY (Smart Community of Literacy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *