Oleh : Yuwanda Efrianti*, Vebri Irawan**
Pernah ngerasa minder lihat orang lain sukses? Ngerasa mereka lebih hebat, lebih pantas, dan kita… ya, cuma jadi penonton yang ngetap layar sambil ngebatin: “Kayaknya dia emang ditakdirkan jadi lebih baik.”
Selamat datang di jebakan paling halus dalam hidup manusia yaitu perasaan tidak cukup baik yang seringkali bukan berasal dari realita, tapi dari isi kepala sendiri yang terlalu rajin mengarang ketakutan.
Orang bilang “mereka pintar, mereka lebih siap, mereka punya koneksi.” Padahal belum juga nyoba. Gagal pun belum, tapi sudah menyimpulkan: “aku nggak cocok di sini.” Bukan karena emang nggak cocok, tapi karena isi kepala udah keburu kasih stempel gagal bahkan sebelum langkah pertama diambil.
Teringat saat diskusi bersama partner duta kampus saat itu, ketika ia terus-terusan mikir, “mereka emang lebih layak, aku gabisa kayak mereka.” Yang parah, dia bukan sekadar ngomong. Dia benar-benar percaya. Dan dari situlah semuanya ambruk pelan-pelan. Bukan karena lingkungan tidak mendukung, bukan karena dunia kejam. Tapi karena isi kepala udah pasrah duluan.
Inilah yang disebut dengan mainset stagnan pola pikir mandek yang bikin kemampuan seolah mentok padahal belum digunakan. Yang dipelihara bukan semangat, tapi prasangka buruk terhadap diri sendiri. Akibatnya, peluang yang mestinya bisa jadi titik balik, malah dilewatin karena terlalu sibuk mengkhawatirkan “apa kata orang.”
Data dari American Psychological Association menjelaskan, orang dengan mindset tetap cenderung menghindari tantangan dan gampang menyerah saat menemui hambatan. Mereka lebih fokus pada pembuktian diri dibandingkan perkembangan diri.
Sebaliknya, mereka yang memiliki growth mindset melihat kegagalan sebagai bagian dari proses belajar. Mereka bisa jatuh berkali-kali, tapi tetap jalan. Bukan karena kuat, tapi karena tahu diam di tempat justru jauh lebih berbahaya.
Sayangnya, banyak orang sekarang lebih sibuk membandingkan diri daripada membangun diri. Hidup jadi ajang mengintip progress orang lain, bukan ngejar versi terbaik dari diri sendiri. Lalu saat realita tidak sesuai ekspektasi, ujung-ujungnya menyalahkan nasib.
Padahal tidak ada yang pernah benar-benar tahu berapa kali seseorang gagal sebelum akhirnya berhasil. Tidak ada yang tahu berapa kali orang yang dipuji hari ini dulu pernah ditertawakan. Tapi semua itu tidak penting. Karena yang bikin seseorang kalah bukan lawan, tapi keputusan untuk berhenti mencoba.
Dan lucunya, orang yang punya potensi pun bisa jadi pecundang dalam hidupnya sendiri… kalau terlalu rajin mengasihani diri.
Pola pikir semacam ini bukan cuma menghambat. Tapi perlahan-lahan menggerogoti. Lama-lama, semua hal terasa terlalu tinggi, terlalu sulit, terlalu tidak mungkin. Padahal belum tentu. Tapi karena sudah terbiasa meremehkan diri sendiri, akhirnya semua peluang dianggap bukan untuknya.
Apa iya selama ini yang bikin seseorang gagal adalah takdir? Atau sebenarnya karena terlalu sering berkata “aku tidak mampu” sampai akhirnya keyakinan itu berubah jadi realita?
Lalu, ketika melihat orang lain tampil percaya diri, yang muncul malah sinisme. Dibilang pencitraan, dianggap sok jago, padahal mungkin mereka juga pernah berada di titik yang sama bedanya, mereka memilih untuk jalan terus meski sambil gemetar.
Kalau kamu merasa orang lain selalu lebih baik, lebih hebat, lebih cocok, lebih segalanyabmungkin yang salah bukan mereka. Tapi sistem kepercayaan yang dibentuk sendiri dari trauma kegagalan yang nggak pernah diberesin. Jadi alih-alih ngelangkah, malah stuck di tempat, sibuk nonton hidup orang lain sambil bilang, “ah, dia beda.”
Padahal bukan dia yang beda. Cuma cara berpikirmu yang belum disetel ulang.
Kalau hari ini belum bisa jadi juara, bukan berarti nggak akan pernah. Tapi kalau hari ini milih untuk berhenti, ya jangan kaget kalau hasilnya tetap sama bahkan sampai lima tahun ke depan.
Jangan bangga terlalu cepat hanya karena sudah ikhlas menerima kekalahan. Itu bukan bijak, itu menyerah diam-diam.
Kebanyakan orang gagal bukan karena kalah, tapi karena menyerah duluan.
Dan buat yang sampai detik ini masih terus menyalahkan diri sendiri, masih ragu buat melangkah, masih ngerasa orang lain selalu lebih berhak… coba berhenti sebentar. Bukan untuk mundur, tapi buat bertanya “Apa iya aku udah ngelakuin semuanya sebelum mutusin untuk berhenti?”
Karena kalau jawabannya belum… ya artinya pertarungan belum selesai. []
*Mahasiswi Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam
**Mahasiswa Program Studi Menajemen Dakwah Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi
**Uda Uni Duta Kampus UIN Imam Bonjol Padang Tahun 2025