Banner Bupati Siak

Kemajuan Teknologi Menggugurkan Logika

Oleh : Sri Mega Hayatulnupus*

Di zaman sekarang, banyak orang menyambut pagi bukan lagi dengan sinar matahari, tapi dengan dering notifikasi. Hidup bergerak dari satu klik ke klik berikutnya, dari satu swipe ke dunia yang lain. Teknologi telah menjelma menjadi denyut kehidupan modern.

Ia membantu, mempermudah, bahkan menyelamatkan. Tapi diam-diam, ia juga mengambil sesuatu dari kita nalar. Kemajuan teknologi, alih-alih mengasah logika, justru mulai menggugurkannya pelan-pelan dan kita nyaris tak menyadarinya.

Coba tengok sekitar. Anak-anak bisa bicara pada AI sebelum mereka bisa membaca jam. Mahasiswa membuat makalah lewat chatbot tanpa pernah membuka buku. Kita menelan informasi mentah dari media sosial tanpa pernah mengunyah kebenarannya.

Dunia berjalan cepat, tapi pikiran kita melambat. Kita tidak lagi bertanya, hanya menerima. Kita tidak lagi menimbang, hanya meniru. Dalam pusaran ini, logika yang dulu menjadi alat tajam manusia berpikir, kini mulai tumpul oleh kenyamanan.

Data tidak berdusta. Menurut laporan DataReportal tahun 2024, masyarakat Indonesia rata-rata menghabiskan 8 jam 36 menit sehari di internet. Sebagian besar waktu itu digunakan untuk menggulir layar, bukan untuk membaca mendalam atau mencipta.

Internet yang dulu digadang sebagai jendela ilmu, kini lebih mirip etalase hiburan. Dan yang paling tragis: kita merasa itu normal. Padahal di balik setiap kemudahan, ada risiko kehilangan. Salah satunya: kehilangan kemampuan berpikir jernih.

Masuklah ke dunia kecerdasan buatan (AI). Teknologi ini seperti sulap yang bekerja dalam detik. Menulis, menganalisis, bahkan membuat keputusan. Tapi ketika kita menyerahkan tugas-tugas manusiawi kepada mesin tanpa refleksi, bukankah kita sedang menyabotase diri sendiri?

Laporan dari UNESCO pada 2023 menyebutkan, 47% pendidik di seluruh dunia mengkhawatirkan menurunnya kemampuan berpikir kritis di kalangan pelajar akibat penggunaan AI yang tidak bijak. Mesin memang pintar, tapi tidak bijak. Ia tahu banyak hal, tapi tidak memahami makna.

Teknologi yang kehilangan etika bisa menjelma bencana. Lihat saja bagaimana algoritma media sosial hari ini bekerja. Ia tidak peduli apakah sebuah informasi benar atau tidak. Ia hanya peduli: apakah itu membuatmu terus menggulir layar.

Maka berita bohong, teori konspirasi, hingga ujaran kebencian pun dilestarikan karena mereka memicu emosi, bukan karena mereka masuk akal. Data dari Kominfo mencatat, sepanjang 2023, lebih dari 11 ribu konten hoaks menyebar luas, sebagian besar lewat WhatsApp dan Facebook. Ini bukan sekadar kesalahan teknis. Ini adalah gejala dari logika yang diabaikan dan akal sehat yang dilupakan.

Pertanyaannya!!!! Siapa yang seharusnya mengendalikan siapa? Kita sering lupa, teknologi bukan makhluk
independen. Ia tunduk pada tangan yang menciptakan dan mata yang mengawasi. Tapi ketikamanusia sendiri mulai tunduk pada mesin, ketika kita lebih percaya pada hasil pencarian Google ketimbang pengalaman guru atau orang tua, maka terjadi pembalikan peran yang sunyi tapi berbahaya. Teknologi tidak salah. Kita yang lupa menjaga jarak.

Maka, yang kita butuhkan hari ini bukan sekadar inovasi, tapi kesadaran. Bahwa menjadi modern bukan berarti meninggalkan akal. Bahwa menjadi cepat tidak harus mengorbankan ketelitian. Mari kita kembalikan logika ke tempat semestinya sebagai pelita di tengah derasnya arus digital. Jadikan teknologi sebagai perahu, bukan pusaran. Gunakan ia untuk bergerak, bukan untuk tenggelam. Karena jika kita terus berjalan tanpa berpikir, cepat atau lambat kita akan sampai tapi ke tempat yang salah. []

*Mahasiswa Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol Padang. Bidang Minat meliputi Jurnalisme, Jurnalisme Islam, Dakwah dan Sastra.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *