Korupsi di Indonesia Luka Lama yang Terus Meneteskan Darah Bangsa

Oleh : Yaumil Baid*

Di negeri yang konon diberkahi tanah subur dan laut melimpah, lahirlah ironi paling getir abad ini, korupsi sebagai budaya, bukan kejahatan. Ia tak lagi sekadar perbuatan gelap yang bersembunyi di lorong kekuasaan ia telah menjelma menjadi simfoni suram yang dimainkan dengan harmoni oleh sebagian elit negeri, sambil rakyat kecil duduk di kursi penonton, menggenggam tiket penderitaan yang tak pernah usai.

Indonesia, negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, pada tahun 2024 mencatatkan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 37 dari 100 poin, sebuah peningkatan dari 34 pada tahun sebelumnya. Sekilas, ini tampak seperti kabar baik. Namun dalam semesta statistik global, posisi ini masih jauh dari harapan rata-rata global CPI hanya 43 dari 100 poin, dengan lebih dari dua pertiga negara di dunia (sekitar 120 dari 180 negara) mencatat skor di bawah 50. Dengan kata lain, dunia masih lesu dalam upaya melawan korupsi dan Indonesia masih tenggelam dalam pusaran negara-negara yang belum berhasil mengangkat kepala.

Korupsi di Indonesia bukan hanya tentang uang yang lenyap dari kas negara. Ia menyentuh setiap lini kehidupan: dari pungutan liar di jalanan, manipulasi anggaran daerah, sampai korupsi kebijakan yang berdampak sistemik. Setiap rupiah yang dicuri bukan sekadar angka ia adalah sekolah yang tidak jadi dibangun, rumah sakit yang tak lengkap obat, jalan yang berlubang dan menyebabkan kematian, serta masa depan anak-anak yang dikorbankan di altar keserakahan.

Yang paling mengkhawatirkan bukanlah keberadaan korupsi itu sendiri, melainkan bagaimana masyarakat mulai memakluminya. “Ah, semua pejabat memang begitu,” adalah kalimat pasrah yang kerap terlontar dari bibir rakyat. Ketika korupsi tak lagi memicu kemarahan, ketika ia dianggap wajar dan lumrah, maka sesungguhnya korupsi telah menancapkan akarnya jauh ke dalam struktur sosial kita. Ia hidup bukan karena hanya para pejabat mencuri, tapi karena publik membiarkannya.

Meski begitu, tak adil jika kita tak mengakui upaya yang telah dilakukan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sempat digdaya pada awal pembentukannya kini mengalami transformasi yang penuh dinamika. Penurunan kepercayaan publik terhadap lembaga ini adalah cermin dari problem internal, namun di balik bayang-bayang itu, masih ada penyidik-penyidik jujur yang terus bertarung tanpa sorotan kamera. Mereka bekerja dalam senyap, menghadapi ancaman, dan membawa harapan kecil bahwa hukum belum sepenuhnya mati.

Peningkatan skor IPK dari 34 menjadi 37 bisa dibaca sebagai sinyal awal perubahan. Tapi sejatinya, skor ini adalah suara hati dunia internasional tentang bagaimana mereka memandang kesungguhan kita. Ia bukan tolok ukur absolut, melainkan kaca bening yang memperlihatkan retakan-retakan pada wajah birokrasi kita. Dan pertanyaannya kini bukan lagi, “Apakah korupsi bisa diberantas?” melainkan, “Sejauh mana kita mau bertaruh untuk melawannya?

Menyusun strategi anti korupsi seharusnya bukan sekadar program lima tahunan. Ia mesti menjadi misi kebudayaan. Pendidikan antikorupsi harus masuk ke ruang kelas sejak usia dini, bukan sekadar lewat hafalan PPKn, tapi lewat teladan, lewat cerita, lewat kurikulum yang mendidik empati dan kejujuran. Kita tak bisa lagi mengandalkan penindakan semata. Penjara tak akan cukup besar untuk menampung semua pelaku jika sistemnya sendiri yang rusak.

Dan di atas semuanya, masyarakat sipil harus menjadi barisan terdepan. Media, lembaga swadaya, organisasi mahasiswa, seniman, guru, petani, buruh, semua memiliki peran dalam melawan kejahatan ini. Korupsi tidak akan mati hanya dengan hukum, tapi dengan tekanan sosial, dengan malu, dengan rasa bersalah yang tumbuh dari lubuk nurani.

Sebab korupsi adalah benalu yang menyamar sebagai kemapaman, yang hidup dari ketidak pedulian. Dan satu-satunya cara menyingkirkannya adalah dengan menanam keberanian dalam hari rakyat.

Indonesia belum kalah, tapi waktu tidak akan selamanya sabar. Dan sejarah tak menunggu bangsa yang ragu. Maka kini saatnya kita bertanya pada diri sendiri apakah kita akan terus menjadi penonton tragedi ini, atau bangkit sebagai sutradara perubahan? []

*Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam Universiras Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Exit mobile version