Efisiensi Tanpa Transparansi, Dihantui Korupsi

Oleh : Musfi Yendra*

Korupsi terus menjadi masalah struktural di Indonesia. Ia tidak hanya merampas sumber daya negara, tetapi juga memperlebar ketimpangan sosial dan menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Salah satu pendekatan yang kini digalakkan adalah efisiensi anggaran, yaitu upaya mengoptimalkan penggunaan dana negara agar lebih tepat sasaran. Namun, efisiensi yang tidak dibarengi transparansi justru membuka peluang korupsi gaya baru.

Efisiensi pada dasarnya adalah prinsip baik dalam pengelolaan keuangan negara. Pemotongan belanja birokrasi yang tidak esensial, penghapusan program seremonial, serta penajaman anggaran pembangunan menjadi langkah-langkah penting menuju tata kelola anggaran yang rasional.

Namun, dalam praktiknya, efisiensi sering menjadi jargon yang dimanfaatkan untuk membungkam alokasi anggaran yang sebenarnya penting, atau bahkan menutupi praktik pengalihan dana ke pos-pos yang rawan diselewengkan.

Faktanya, praktik mark-up, pengadaan fiktif, hingga pengalihan anggaran ke proyek yang tidak berdampak nyata masih terjadi. Tanpa transparansi, pemotongan anggaran di satu sektor bisa diiringi lonjakan anggaran di sektor lain yang minim pengawasan.

Contoh paling konkret adalah proyek infrastruktur. Pemangkasan anggaran tanpa pengawasan ketat sering kali menyebabkan penurunan kualitas bangunan, yang pada akhirnya justru merugikan masyarakat dalam jangka panjang.

Data dari Transparency International menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat 110 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2023 dengan skor 34 dari 100. Angka ini menegaskan bahwa korupsi masih menjadi persoalan serius. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat sekitar 70 persen kasus korupsi di Indonesia berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa. Bahkan, laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan kerugian negara akibat korupsi pada tahun 2022 mencapai lebih dari Rp42 triliun.

Angka-angka ini seharusnya menjadi peringatan bahwa efisiensi tanpa keterbukaan akan sia-sia. Ketika keputusan anggaran dibuat secara tertutup, publik kehilangan akses untuk mengetahui bagaimana dana dikelola dan siapa yang memperoleh manfaat. Dalam situasi demikian, korupsi tak hanya sulit terdeteksi, tetapi juga dengan mudah berlindung di balik dalih “penghematan.”

Sebaliknya, negara-negara dengan indeks korupsi yang rendah justru menempatkan transparansi sebagai pilar utama kebijakan fiskal mereka. Denmark dan Selandia Baru, dua negara teratas dalam CPI, memberikan akses luas kepada warganya untuk memantau anggaran negara hingga ke tingkat proyek. Rincian kontrak, pihak pelaksana, dan anggaran yang digunakan dapat diakses publik secara daring. Keterbukaan ini menjadi mekanisme kontrol sosial yang efektif untuk mencegah penyimpangan.

Indonesia sebenarnya telah mengembangkan sejumlah inisiatif seperti e-budgeting dan e-procurement. Sistem ini memungkinkan proses penganggaran dan pengadaan barang/jasa dilakukan secara elektronik, dan bisa diawasi publik. Namun, tantangannya adalah ketimpangan penerapan antardaerah dan lemahnya kemauan politik untuk membuka data secara utuh. Bahkan ketika data tersedia, banyak disajikan dalam format teknis yang sulit diakses masyarakat umum. Transparansi belum sepenuhnya menjadi praktik, baru sebatas retorika.

Pada 22 Januari 2025, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja APBN dan APBD. Inpres ini menargetkan penghematan sebesar Rp306,69 triliun, yang mencakup Rp256,1 triliun dari anggaran kementerian/lembaga dan Rp50,59 triliun dari transfer ke daerah. Langkah-langkah efisiensi meliputi pengurangan biaya perjalanan dinas, alat tulis kantor, honorarium, seminar, hingga kegiatan seremonial.

Inpres ini patut diapresiasi sebagai bagian dari upaya mengembalikan disiplin fiskal. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada keterbukaan dalam implementasinya. Rakyat berhak tahu pos anggaran mana yang dipangkas, ke mana dana dialihkan, dan siapa yang mengelola dana efisiensi tersebut. Tanpa keterbukaan, penghematan justru bisa menjadi sarana pengalihan dana untuk kepentingan kelompok tertentu.

Karena itu, ada beberapa langkah yang harus diperkuat. Pertama, pemerintah pusat dan daerah wajib menyediakan data anggaran dalam format yang terbuka dan mudah dipahami publik. Kedua, partisipasi publik harus didorong melalui kolaborasi dengan masyarakat sipil, akademisi, dan media. Ketiga, penegakan hukum terhadap pelaku korupsi—terutama yang menyalahgunakan dalih efisiensi anggaran—harus dilakukan secara tegas dan konsisten.

Peran lembaga pengawas seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan KPK juga harus diperkuat. Keduanya membutuhkan dukungan politik agar dapat bekerja tanpa intervensi. Hasil audit dan investigasi mereka tidak boleh berhenti di meja laporan, tetapi harus direspons dengan tindakan nyata dari eksekutif dan legislatif.

Di sisi lain, Komisi Informasi di berbagai tingkat, dari pusat hingga provinsi, harus lebih aktif mendorong keterbukaan anggaran. UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sudah mengamanatkan bahwa informasi anggaran merupakan informasi yang wajib diumumkan secara berkala dan serta-merta. Tidak ada alasan bagi badan publik untuk menahan informasi tersebut, kecuali dalam kasus tertentu yang telah melalui uji konsekuensi yang sah.

Efisiensi anggaran hanya akan menjadi kebijakan bermakna jika berjalan bersama transparansi dan akuntabilitas. Tanpa keterbukaan, efisiensi bisa jadi hanya kedok untuk menyembunyikan kebocoran baru. Di tengah tingginya harapan publik terhadap pemerintahan baru, langkah efisiensi harus dimaknai bukan sekadar penghematan, tetapi juga sebagai momentum untuk membangun kepercayaan publik melalui transparansi yang otentik. []

*Ketua Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat

Exit mobile version