Mengurai Simpul Bangsa: Peran Strategis Sufmi Dasco Ahmad

Oleh : Musfi Yendra*

Sosok Sufmi Dasco Ahmad menempati posisi yang unik di tengah kompleksitas dan dinamisnya lanskap politik Indonesia. Ia bukan politisi yang haus sorotan, tetapi justru menjadi figur penting dalam menjaga harmoni, menyelesaikan persoalan, dan merawat irama demokrasi.

Sebagai Wakil Ketua DPR RI selama dua periode dan Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Dasco telah menunjukkan kapasitas kepemimpinan yang tidak hanya strategis, tetapi juga substansial. Kariernya bukan hanya dibangun di atas ketepatan membaca peta politik nasional, tetapi juga pada kemampuannya menjadi penyambung antarkepentingan, penengah konflik, dan pelayan publik yang rendah hati.

Di dalam tubuh Partai Gerindra, Dasco berperan sebagai arsitek strategi dan konsolidasi. Ia menjaga kesolidan antarstruktur partai, menjembatani komunikasi politik lintas fraksi, serta mengelola dinamika internal dengan gaya kepemimpinan yang tegas namun inklusif.

Kedekatannya dengan Prabowo Subianto bukan hanya relasi struktural, tetapi juga berbasis kepercayaan strategis. Dalam dua Pemilu terakhir, Dasco menjadi salah satu motor pemenangan partai dengan pendekatan yang lebih banyak bekerja di balik layar. Ia menolak gaya kepemimpinan berbasis polarisasi dan lebih memilih membangun komunikasi yang setara, bahkan kepada pihak-pihak yang secara politik berbeda pandangan.

Sebagai pimpinan DPR, Dasco juga dikenal publik sebagai figur yang tenang, moderat, dan mampu menjaga suasana deliberatif di ruang parlemen. Dalam berbagai pembahasan regulasi penting seperti RUU Cipta Kerja, RKUHP, hingga revisi UU ITE, Dasco tampil sebagai penyeimbang antara suara mayoritas dan aspirasi masyarakat sipil. Ia tidak pernah tampil konfrontatif, tetapi justru membuka ruang diskusi yang luas antarfraksi maupun dengan mitra kerja Kementerian.

Sikapnya yang merakyat tercermin jelas ketika menghadapi demonstrasi ojek daring tahun 2020. Alih-alih menghindari massa, Dasco turun langsung menemui para pengemudi ojek dengan pernyataan yang kemudian viral: “Saya ke sini untuk menerima aspirasi kalian, jadi mari kita bicara baik-baik.” Kalimat itu sederhana, namun mengandung makna kepemimpinan yang empatik dan tidak alergi terhadap suara-suara di luar parlemen.

Salah satu kontribusi penting Dasco yang patut dicatat dalam konteks kewilayahan adalah perannya dalam menyelesaikan sengketa perbatasan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Konflik ini menyangkut klaim atas empat pulau di wilayah perbatasan administratif, yakni Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.

Ketegangan sempat meningkat karena kedua provinsi mengklaim wilayah yang sama sebagai bagian dari yurisdiksi mereka. Dalam situasi yang berpotensi menjadi konflik horizontal, Dasco turun tangan sebagai fasilitator dialog. Ia mempertemukan Gubernur dari kedua provinsi, pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri, serta tokoh masyarakat dari kedua daerah. Dengan pendekatan musyawarah dan penguatan data historis serta administrasi resmi, proses mediasi ini akhirnya menghasilkan keputusan damai.

Pada pertengahan Juni 2025, Presiden Prabowo Subianto menetapkan secara resmi bahwa keempat pulau tersebut menjadi bagian dari wilayah Provinsi Aceh. Penyelesaian ini bukan hanya hasil proses teknokratis, tetapi juga menunjukkan peran strategis lembaga legislatif dalam memediasi konflik daerah yang sensitif. Peran Dasco di sini mencerminkan gaya kepemimpinan situasional, yakni kemampuan untuk menyesuaikan pendekatan kepemimpinan sesuai konteks dan urgensi masalah.

Kepemimpinan Dasco juga dapat dilihat melalui pendekatan teori kepemimpinan transformasional. Satu model kepemimpinan yang dikenalkan oleh James MacGregor Burns, dan dikembangkan oleh Bernard M. Bass. Ia memenuhi empat pilar utama dalam teori ini: memiliki pengaruh ideal yang kuat di antara rekan sejawat lintas partai politik, memberikan motivasi inspiratif kepada tim dan konstituen, mendorong stimulasi intelektual dengan mengangkat diskusi berbasis data dan hukum, serta memperhatikan aspek hubungan personal dan nilai-nilai lokal dalam menyikapi setiap isu.

Tidak hanya itu, sebagai profesor hukum tata negara dan Ketua Pengawas Kongres Advokat Indonesia (KAI), Dasco juga menjalankan peran sebagai intelektual organik dalam pengertian Gramscian—yakni figur yang mampu menjembatani dunia akademik dengan praksis kekuasaan demi kepentingan publik yang lebih luas.

Gaya kepemimpinan kolaboratif Dasco juga terlihat dalam berbagai isu nasional. Dalam diskusi mengenai subsidi energi, transformasi digital pelayanan publik, dan pengawasan atas penyelenggaraan haji, ia membuka ruang kerja sama antara legislatif dan eksekutif, serta melibatkan masukan dari kalangan akademisi, LSM, dan komunitas profesional.

Pendekatan ini mengingatkan kita pada gaya kepemimpinan Angela Merkel di Jerman atau Shinzo Abe di Jepang, yang tidak mengandalkan dominasi wacana, tetapi pada kerja diam-diam yang membuahkan hasil konkret. Ia tidak pernah menjadikan oposisi sebagai musuh, melainkan sebagai mitra deliberatif dalam mengelola negara.

Di tengah maraknya gaya politik yang cenderung populis dan penuh kegaduhan, Sufmi Dasco Ahmad membuktikan bahwa politik bisa dijalankan dengan akal sehat. Ia lebih memilih menyelesaikan masalah daripada membesarkan narasi. Ia lebih sering berada di meja musyawarah daripada di panggung debat publik.

Dalam figur Dasco, kita melihat tumbuhnya kembali politik yang santun, rasional, dan berorientasi pada hasil. Kepemimpinan semacam ini lebih menekankan fungsi rekonsiliasi, mediasi, dan tanggung jawab, adalah aset penting bagi keberlanjutan demokrasi dan stabilitas nasional. []

Wakil Ketua Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Provinsi Sumatera Barat*

Exit mobile version