Oleh : Gusfahmi Arifin, SE.,MA., MM.*
Mulai tanggal 14 Juli 2022, Nomor Induk Kependudukan (NIK) resmi menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 112 Tahun 2022, Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan,”Terhitung sejak tanggal 14 Juli 2022, Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk menggunakan Nomor Induk Kependudukan.”
Sedangkan Wajib Pajak orang pribadi bukan Penduduk, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 16 (enam belas) digit, sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak.”
Nomor Induk Kependudukan (NIK) adalah nomor identitas Penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal, dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia (Pasal 1 angka 1 PMK-112 Tahun 2022). NIK terdiri dari 16 digit. 2 digit pertama adalah kode provinsi, 2 digit selanjutnya kode kota/kabupaten, 2 digit kode kecamatan, 2 digit tanggal lahir (bagi wanita ditambah 30), 2 digit bulan lahir, 2 digit tahun lahir dan 4 digit nomor urut secara sistem.
Sedangkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah Nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak Dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya (Pasal 1 angka 1 PMK-112 Tahun 2022). NPWP (lama) terdiri dari 15 digit, 9 digit pertama adalah kode Wajib Pajak, 3 digit adalah kode Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar dan 3 digit kode cabang.
Pemakaian NIK menjadi NPWP merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan menyebutkan,”Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan nomor induk kependudukan.” (UU HPP, Pasal 2 ayat (1a)).
Pelaksanaan NIK sebagai NPWP memerlukan proses pengintegrasian basis data kependudukan dari Menteri Dalam Negeri, c.q. Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) yang menjadi basis data perpajakan. Untuk proses integrasi data ini, Menteri Dalam Negeri diwajibkan memberikan data kependudukan dan data balikan dari pengguna kepada Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sebagaimana Pasal 2 ayat (10) UU HPP.
Latar belakang penerapan NIK menjadi NPWP dilandasi oleh tiga hal ;
pertama, untuk memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum dalam penggunaan NPWP,
kedua, untuk memberikan kesetaraan serta mewujudkan administrasi perpajakan yang efektif dan efisien,
ketiga, untuk mendukung kebijakan satu data Indonesia, yang memerlukan pencantuman nomor identitas tunggal yang terstandardisasi dan terintegrasi dalam pelayanan administrasi perpajakan.
Proses integrasi ini sudah berjalan, dengan sasaran lebih dari 40 juta Wajib Pajak Orang Pribadi (OP) akan dilakukan proses validasi dan aktivasi. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk, Direktur Jenderal Pajak akan memberikan NPWP dengan mengaktivasi NIK (16 digit) berdasarkan permohonan pendaftaran Wajib Pajak atau secara jabatan.
Bagi Wajib Pajak orang pribadi bukan Penduduk, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak lristansi Pemerintah, Direktur Jenderal Pajak memberikan NPWP dengan format 16 (enam belas) digit, berdasarkan permohonan pendaftaran Wajib Pajak atau secara jabatan.
Proses integrasi NIK menjadi NPWP ini tentu memerlukan waktu dan kesiapan sistem baik internal DJP dalam melakukan proses pemadanan (pencocokan) antara data NIK dengan NPWP (lama) maupun kesiapan pihak eksternal diluar DJP.
Format NPWP baru diberlakukan mulai 14 Juli 2022, namun digunakan pada layanan administrasi perpajakan secara terbatas sampai dengan tanggal 31 Desember 2023. Per 1 Januari 2024 seluruh layanan administrasi perpajakan dan layanan lain yang membutuhkan NPWP, sudah menggunakan NPWP dengan format baru.
Untuk WP lama Orang Pribadi Penduduk dilakukan pemadanan dengan data kependudukan dan klarifikasi kepada WP untuk data belum valid. Bagi yang belum valid dan tidak melakukan perubahan data sehingga menjadi data valid, maka NPWP format 15 digit hanya dapat digunakan s.d. 31 Des 2023. Untuk WP lama Badan, Instansi Pemerintah dan Orang Pribadi bukan penduduk diberikan NPWP dengan menambah angka “0” di depan NPWP Lama sehingga menjadi format 16 Digit. Untuk WP lama cabang, diberikan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU).
Untuk WP baru OP Penduduk, yang terdaftar setelah PMK-112 Tahun 2022 berlaku sampai dengan 31 Desember 2023 diberikan 2 model NPWP, pertama NIK diaktivasi sebagai NPWP, kedua diberikan NPWP format 15 Digit. Untuk WP Badan, Instansi Pemerintah dan Orang Pribadi bukan penduduk yang baru terdaftar setelah PMK-112, diberikan NPWP format 16 digit, dengan catatan tetap dapat menggunakan NPWP dengan format 15 digit dengan menghapus digit pertama berupa angka 0 (nol).
Untuk WP Cabang baru, diberikan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU) dan NPWP Format 15 Digit. Melalui PMK-112 ini diberikan relaksasi dimana seluruh NPWP dengan format lama (15 digit) masih bisa digunakan sampai dengan 31 Desember 2022 dan segala ketentuan mengenai pencantuman NPWP dengan format 15 digit dan terbit sebelum 1 Januari 2024 tetap berlaku dan tidak diperlukan pembetulan ataupun penggantian.
Dalam masa transisi ini, WP menggunakan NIK 16 digit secara terbatas hanya untuk dapat masuk login pada aplikasi djponline.pajak.go.id. Sedangkan untuk melakukan pembayaran masih harus menggunakan NPWP 15 digit.
Dengan adanya ketentuan NIK menjadi NPWP ini tentu muncul pertanyaan pada masyarakat, “Apakah setiap penduduk yang memiliki NIK akan menjadi Wajib Pajak dan harus membayar pajak?”. Pertanyaan diatas dijawab oleh Pasal 2 ayat (1) UU HPP, yang menyebutkan bahwa,”Setiap WP yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP.” Dengan demikian, NPWP diberikan hanya jika terpenuhi dua syarat, yaitu subjektif dan objektif.
Syarat subjektif terpenuhi jika orang pribadi yang merupakan WNI bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari (pasal 2 ayat [2] UU PPH). Persyaratan objektif terpenuhi apabila subjek pajak menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana dirinci dalam pasal 4 ayat (1) UU PPH.
Selain memiliki objek pajak, orang pribadi yang diwajibkan memiliki NPWP adalah orang yang memiliki Penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), yaitu Rp54.000.000,00 setahun untuk WP Orang Pribadi atau Rp4.500.000,00 perbulan (Pasal 7 UU HPP). Dengan PTKP ini, masyarakat yang berpenghasilan sampai dengan Rp4,5 juta perbulan tetap tidak dikenakan pajak.
Selain pembatasan melalui PTKP juga diberikan keringanan bagi WP OP yang memiliki peredaran bruto tertentu, yaitu yang memiliki penghasilan bruto paling banyak Rp4.800.000.000,00 setahun (sesuai dengan Pasal 4 ayat [2] UU PPH dan Pasal 7 ayat [1] PP No. 23 Tahun 2018), dimana tidak dikenai Pajak Penghasilan atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500.000.000,00 dalam satu tahun. Pembebasan PPh bagi WP yang tergolong UMKM ini merupakan upaya pemerintah untuk membangkitkan sektor UMKM yang terkena dampak pandemi covid 19.
Untuk lebih mencermin keadilan, tarif PPh Orang Pribadi dilakukan perubahan tarif dan bracket, dimana lapisan rentang penghasilan 0 s/d 60 juta tairifnya 5%, Rp60 juta s/d Rp250 juta tarifnya 15%, Penghasilan Rp250 juta s/d 500 juta tarifnya 25%, Penghasilan Rp500 juta s/d Rp5 miliar tarifnya 30%, dan Penghasilan diatas Rp5 miliar dikenakan tarif 35%. Perubahan tarif ini tidak menambah beban PPh bagi OP yang berpenghasilan s/d Rp5 miliar.
Penyuluh Pajak Ahli Madya, Kanwil DJP Riau. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis, tidak mewakili institusi*