Kejujuran tak Laku di Ruang Ujian

Oleh : Nurul Azmi*

Ruang belajar sekarang menjadi arena ketidakadilan. Benarlah ‘man jadda wa jada’ kini pepatah yang kehilangan maknanya. Tak perlu belajar sungguh-sungguh, apalagi menghafal materi sampai semalaman. Zaman sekarang hal seperti itu hanya membuang waktu, karena yang diuntungkan justru mereka yang curang tanpa malu.

Saat kami menunduk di depan soal, mereka justru sibuk menatap layar lain. Membuka Artificial Intelligence beserta komplotan digitalnya, menyalin jawaban, lalu menyusun kata-kata indah dari mesin yang tidak berkeringat.

Beberapa pelaksanaan ujian tanpa sistem pemeriksaan sama sekali. Sang penilai hadir hanya sebagai formalitas. Duduk di sana dan melihat semuanya tapi tak benar-benar peduli.  Mereka jelas tahu bahwa kecurangan sedang bermain bebas di ruangan, tapi memilih untuk menutup mata dan telinga.  

Disisi lain, ada pula yang menerepkan sistem pengawasan super ketat ketika ujian. Memakai teknologi semacam aplikasi yang mengaktifkan kamera, mampu mendeteksi suara, gerakan, bahkan perubahan layar.

Lantas, apa sebenarnya yang salah?

Aturan sudah dibuat setegas mungkin dan menyertakan kecanggihan teknologi. Kesalahan bukan pada sistem, tapi hati nurani. Teknologi bisa mengawasi, aturan bisa membatasi. Tapi jika yang menjalankan memilih bungkam, maka keadilan akan tetap pincang.  

Beberapa penilai jelas tahu siapa yang curang. Mereka tak tinggal diam. Ada yang dipaksa mengaku, dihakimi dengan kata-kata tajam, bahkan ditekan di depan banyak orang lalu di edukasi. Tapi anehnya, nilai berkata lain.

Yang curang tetap mendapatkan angka tinggi. Yang jujur tetap tersisih.

Mereka tahu. Mereka mampu.

Tapi tak cukup peduli untuk benar-benar meluruskan yang bengkok.

Siapa sebenarnya yang dihakimi? Yang ditegur memang pelanggar aturan, tapi yang harus menanggung rasa malu dan kecewa justru mereka yang berjalan lurus. Yang dituduh melanggar mungkin dimarahi, tapi akhirnya tetap menang karena nilainya tinggi. Sementara yang jujur, dihukum diam-diam lewat angka yang membuat mereka terlihat gagal.

Bukankah situasi seperti ini justru meninggalkan pesan bahwa kejujuran tak lagi penting, dan kecurangan bisa dimaklumi asalkan menghasilkan angka yang terlihat tinggi? Bahwa usaha tak sebanding nilainya dengan kelicikan yang rapi? Bahwa nilai bukan lagi cerminan proses, tapi sekedar hasil akhir yang bisa dibentuk dengan cara apa pun.

Kami bingung.
Kami bungkam.
Bukan karena tak mampu bersuara, tapi karena saat kami bicara, tidak ada yang benar-benar mendengar.

Kami memilih diam, bukan karena kalah, tapi karena kejujuran kami sudah terlalu sering diabaikan.
Kami lelah menjelaskan bahwa kami belajar.

Kami berusaha.

Kami taat pada aturan.
Rasa kecewa datang bukan karena gagal, tapi mereka yang curang justru bersorak sebagai tanda kemenangan. Tanda pembuktian bahwa tindakan mereka adalah hal yang wajar, merasa cara-cara sampah mereka layak di apresiasi, lalu tersenyum bangga atas  nilai tinggi yang bukan hasil kerja keras, tapi hasil dari jalan pintas.

Kami tahu caranya, membuka AI, mencari jawaban, lalu menyalinnya seperti yang lain.
Tapi kami tahan. Bukan karena ingin terlihat suci, tapi percaya bahwa nilai sejati datang dari usaha, bukan dari tipu daya.

Kami tetap memilih jujur di ruang yang tidak melindungi kejujuran.

Kami tidak menuntut belas kasihan.
Kami hanya ingin satu hal.
Keadilan yang berpihak pada proses, bukan sekadar hasil.

Jika itu terlalu muluk untuk ruang belajar hari ini, maka biarkan kami tetap kalah, tapi dengan kepala tegak, daripada mencicipi kemenangan yang terasa manis di lidah, tapi pahit di hati.
Mungkin tidak sekarang, tapi suatu saat nanti, kebenaran akan bicara dengan caranya sendiri.

Jika sistem dibiarkan berjalan seperti ini, maka pendidikan tak lagi punya makna. Ruang kelas bukan lagi tempat belajar, tapi panggung bagi siapa yang paling pandai mencari celah.

Apa yang sedang kita bentuk dari generasi ini?

Pelajar yang cerdas menyiasati sistem, tapi miskin integritas?

Mahasiswa yang terbiasa menipu demi angka?

Lulusan yang terbiasa menang tanpa usaha?

Kalau kejujuran terus dikalahkan, maka jangan heran  di masa depan  orang-orang  hanya pintar di atas kertas, tapi tidak mempunyai karakter. Mereka akan membawa gelar, nilai, dan pujian tapi tak tahu caranya berdiri dengan benar.

Dan ketika itu terjadi, bukan hanya pendidikan yang gagal. Tapi bangsa ini sedang menggali lubang untuk masa depannya sendiri.

Saat mereka duduk di kursi-kursi penting, apa yang bisa kita harapkan dari orang-orang seperti ini?

Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Program Studi Tadris Bahasa Inggris Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *