Oleh : Leni Asriyah br Daulay*
Keadilan adalah hak yang melekat pada setiap insan, bangsa, dan negara. Ia bukan barang dagangan yang bisa ditukar dengan segepok kertas merah. Namun, hari ini di negeri yang katanya tengah bersiap menjadi “Indonesia Emas 2045” keadilan justru dipreteli oleh kepentingan, diseret-seret oleh kekuasaan, dan dibisukan oleh suara palu yang membutakan nurani.
Jika ingin mengukur seberapa bobroknya suatu negara, lihatlah bagaimana keadilan ditegakkan di ruang-ruang pengadilan. Apakah hukum dijadikan alat untuk melindungi kebenaran, atau justru dipakai untuk melindungi kekuasaan?
Kasus yang sedang ramai diperbincangkan yakni vonis terhadap Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) kembali mengingatkan kita pada luka lama soal keadilan yang tak lagi punya harga. Vonis 4,5 tahun penjara yang dijatuhkan kepada beliau oleh majelis hakim tampak begitu ganjil dan ambigu. Warganet pun ramai menyuarakan kejanggalan ini, menyebut bahwa hukum telah kehilangan arah, dan pengadilan kini berjalan tanpa cahaya kebenaran.
Tom Lembong adalah seorang negarawan, mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), serta penulis pidato Presiden Joko Widodo. Tuduhan terhadapnya bermula dari dugaan pelanggaran prosedur dalam kebijakan impor bahan baku industri.
Namun yang menjadi pertanyaan besar. Adakah niat jahat? Apakah ia mengambil keuntungan pribadi? Adakah aliran dana yang mengalir ke rekening pribadinya? Bukti-bukti yang dihadirkan selama persidangan tak pernah menunjukkan itu semua.
Ia ditangkap Kejaksaan karena dianggap menyalahgunakan wewenang administratif bukan karena memperkaya diri atau merugikan negara secara nyata. Hakim pun tahu, tidak ada niat jahat, tidak ada kerugian yang dapat dihitung, tidak ada keuntungan yang didapat. Bahkan keputusan impor yang ia ambil kala itu didasarkan pada urgensi kebutuhan industri dan tidak mempengaruhi stabilitas harga di pasar.
Lantas, di mana letak keadilan jika semua fakta ini diabaikan?
Dalam adagium hukum klasik disebutkan: Lex iniustitia non est lex—a law unjust is not law at all. Hukum yang tidak adil bukanlah hukum. Namun di ruang sidang, adagium itu tinggal semboyan kosong. Hukum hari ini tidak hanya membutakan mata terhadap kebenaran, tapi juga mencederai sila kelima Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lebih dari itu, penghukuman terhadap Tom Lembong seolah mencerminkan betapa hukum bisa menjadi alat pemukul bagi mereka yang kritis, jujur, dan memiliki integritas. Seorang penulis pidato presiden, yang pernah berjasa merumuskan narasi besar Indonesia, kini justru dikhianati oleh negerinya sendiri.
Sekian panjang persidangan, sekian banyak saksi dan bukti yang dikerahkan, tak mampu menggeser palu hakim yang telah lebih dahulu condong pada dakwaan. Tak ada harapan yang tersisa bagi suara kebenaran yang lemah.
Keputusan dijatuhkan, dan harapan ditenggelamkan.Miris! Namun, Tom Lembong tetap menerima putusan tersebut dengan lapang dada meski tak sepenuhnya ikhlas. Ia memilih untuk tersenyum pasrah, mengambil hikmah, dan melakukan introspeksi atas ketidakadilan yang dipaksakan kepadanya.
Inilah kenyataan pahit tidak ada tempat yang aman bagi mereka yang jujur dan ingin memberantas kebathilan di negeri ini. Jaksa dan hakim bersumpah di atas kitab suci, namun godaan kekuasaan dan materi terkadang tak mengenal batas. Tamak tak lagi pandang bulu, dan hukum pun kehilangan maknanya yang sejati.
Harapan negeri emas kini berada di ambang cemas. Apakah keadilan akan tetap menjadi fondasi negeri ini, atau justru tinggal cerita di lembaran konstitusi yang tak lagi dibaca?
Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol Padang*