Oleh : Yuwanda Efrianti *
Ada kalimat yang terus berputar dalam kepala: “Dunia ini terlalu luas untuk dipahami hanya dari satu sudut.” Kalimat itu terdengar sederhana, tapi menjadi alasan paling dalam mengapa saya seorang mahasiswa biasa dari Sawahlunto memutuskan untuk mengikuti seleksi program SIBAC-SIP. Bukan karena ingin terlihat keren di luar negeri, bukan juga demi menumpuk sertifikat, tapi karena saya yakin belajar harus dilakukan bukan hanya dari buku, tapi juga dari perjumpaan.
SIBAC-SIP atau Student of Imam Bonjol Academic Community – Smart Internship Program bukan program biasa. Ia seperti gerbang menuju versi diri yang lebih besar. Lebih berani, lebih terbuka, lebih sadar bahwa dunia ini tidak berhenti di pelataran kampus.
Program ini merangkul mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu di UIN Imam Bonjol Padang untuk terjun langsung ke tiga negara berbeda Australia, Turki, dan Uzbekistan. Saya salah satu dari sepuluh yang dipilih untuk menyibak dunia hingga ke Australia.
Jika hari-hari sebelumnya dipenuhi oleh kegiatan kampus yang itu-itu saja, maka sejak diumumkan sebagai peserta terpilih, ritme hidup berubah drastis. Ada pelatihan literasi, bimbingan bahasa Inggris, hingga pembekalan akademik dan mental yang tidak main-main.
Bahkan sebelum benar-benar berangkat, program ini telah melatih kami berpikir ulang tentang makna menjadi mahasiswa. Kami tidak lagi hanya berpikir bagaimana lulus cepat, tapi juga bagaimana meninggalkan jejak.
Australia, tempat saya akan ditempatkan, bukan sekadar tujuan wisata penuh panorama. Di sana, kami akan berdialog langsung dengan atmosfer akademik bertaraf internasional. Kami akan menyaksikan bagaimana jurnal ilmiah bukan hanya bahan bacaan, tapi napas sehari-hari. Semua itu bukan hanya soal materi kuliah, tapi tentang bagaimana cara manusia membangun pemahaman di ruang kelas, di cafe kampus, bahkan saat antre makanan.
Yang membuat program ini berbeda adalah bagaimana ia mendorong kami untuk menulis tentangnya. Kami ditantang untuk membuat tulisan yang tidak hanya bercerita, tapi juga membuka jendela pemikiran. Tulisan yang hidup, yang merekam perjumpaan dan kejutan. Tulisan yang tidak hanya menceritakan “kami pergi ke sana,” tapi “kami belajar apa dari sana.”
Saya masih ingat jelas bagaimana proses seleksinya bukan cuma menguji kecerdasan, tapi juga kejujuran niat. Menulis artikel, menyusun portofolio, hingga menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengguncang: “Apa yang ingin kamu ubah setelah perjalanan ini?” Bagi saya, jawaban paling jujur adalah: mindset. Karena tidak semua orang butuh tempat baru, tapi semua orang butuh cara pandang baru.
SIBAC-SIP tidak menjanjikan perubahan instan. Ia tidak mengklaim bahwa pesertanya akan langsung jadi luar biasa. Tapi ia membuka ruang. Ruang untuk tumbuh, untuk sadar, untuk melihat bahwa kampus bukan batas dari belajar. Ketika kaki melangkah ke negeri orang, kami belajar bagaimana menjadi Indonesia yang bisa berdialog. Kami tidak datang sebagai orang asing yang mencari pembuktian, tapi sebagai pelajar yang membawa pertanyaan.
Dan mungkin, itulah kekuatan sebenarnya dari program ini. Ia tidak hanya mengantar mahasiswa ke luar negeri, tapi juga mengantar kami kembali ke dalam diri sendiri. Menemukan ulang mimpi yang sempat kita anggap terlalu jauh. Menyadari bahwa ternyata kita mampu. Mampu bersaing, mampu bicara, dan yang terpenting mampu mendengarkan.
Karena di akhir perjalanan ini, tujuan kami bukan hanya menjadi mahasiswa yang pernah ke luar negeri. Tapi menjadi manusia yang tidak pernah berhenti belajar dari mana pun, dan kepada siapa pun. []
Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang, Peserta SIBac-SIP Australia 2025*