“Menuju Dua Puluh”

Cerpen : Leni Asriyah br Daulay*

Beberapa bulan lagi usianya genap dua puluh.

Pagi itu, seorang gadis bungsu duduk melamun di kursi tua ruang tamu rumahnya. Tatapannya kosong, pikirannya riuh. Waktu berjalan pelan, tapi tak ada yang istimewa. Hari-harinya terasa hampa.

Dewasa, tampaknya bukan sesuatu yang ia pilih, tapi tetap datang tanpa bisa ditolak.

Namun, ada satu hal yang menggerakkan kembali semangatnya momen yang tak pernah ia sangka akan membangkitkan hidupnya: bulan kelahiran.

Hari demi hari berlalu, membawa usia yang terus bertambah. Tapi ia tahu, ulang tahun bukan cuma soal angka. Ada tanggung jawab, cita-cita, dan pertanyaan besar yang selalu mengusik:

akan ke mana aku membawa hidup ini?

Bagi sebagian orang, masa kecil adalah masa paling menyenangkan di mana hal paling menyebalkan hanyalah disuruh tidur siang. Tapi setelah dewasa, tidur siang justru terasa seperti anugerah yang langka.

Menuju hari ulang tahunnya, pikirannya semakin kacau. Ia mengingat perjalanan panjang usianya dan merasa ngeri. Ulang tahun yang dulu terasa menggembirakan, kini menjadi momen yang menakutkan.

Andai bisa, banyak orang mungkin ingin kembali menjadi anak-anak, lepas dari ekspektasi dan beban kehidupan.

Ia sendiri pun takut. Padahal ia menanti hari itu.

“Adakah mesin waktu? Hari yang ku tunggu justru membuatku gelisah.”

“Aku merayakannya… tapi apakah ada yang mengingat?”

Hari itu akhirnya datang. Pagi, siang, hingga malam berlalu seperti hari biasa. Tak ada kue, tak ada ucapan. Tapi kali ini, ia tidak menangis.

“Ya, aku merayakannya sendiri. Tanpa orang lain.”

Ia belajar bahwa menjadi dewasa adalah soal menerima. Bahwa hidup tidak selalu berwarna seperti yang kita bayangkan. Dan bahwa belajar menjadi dewasa jauh lebih sulit dari pada yang terlihat di layar-layar ponsel dan media sosial. Babak baru hidupnya dimulai.

Ia pernah melewati badai-badai besar dan tetap bertahan. Itu sudah cukup. Ia pun mengucapkan terima kasih kepada dirinya sendiri:

Untuk tetap tangguh. Untuk tidak sibuk membandingkan hidup dengan cahaya orang lain. Karena setiap cahaya punya warnanya sendiri. []

Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol Padang*

Exit mobile version