Oleh : Rezkya Afril*
Sebuah video singkat yang memperlihatkan seorang guru melakukan siaran langsung di TikTok dari dalam ruang kelas kembali menyita perhatian publik. Peristiwa itu terjadi di sebuah sekolah dasar di Bojonegoro, Jawa Timur. Dalam video tersebut, guru bersangkutan tampak bercakap dengan warganet, sementara aktivitas pembelajaran berlangsung di tempat lain.
Ia kemudian menyampaikan klarifikasi bahwa saat itu siswa sedang mengikuti kegiatan di luar kelas, bukan sedang belajar bersamanya. Namun, persoalan yang muncul bukan hanya ihwal teknis kegiatan siswa, melainkan bagaimana ruang kelas dan jam sekolah digunakan untuk kegiatan yang tidak berkaitan langsung dengan tugas profesi.
Peristiwa semacam ini bukan kali pertama terjadi. Kita telah menyaksikan banyak video serupa di media sosial, guru berjoget bersama siswa, melakukan tantangan TikTok, atau bahkan menyentuh ranah sensitif seperti rekaman interaksi fisik yang menimbulkan ketidaknyamanan. Sebagian dari video itu menjadi viral dan mengundang gelombang komentar dari masyarakat, mulai dari kekaguman atas kedekatan guru dengan siswa, hingga kekhawatiran bahwa batas profesionalisme mulai kabur oleh tren media sosial.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa ruang digital, dengan segala kemudahannya, telah memasuki ruang-ruang pendidikan kita. TikTok, sebagai platform media sosial dengan format video pendek, kini menjadi salah satu saluran populer di kalangan guru dan siswa.
Menurut laporan We Are Social tahun 2024, Indonesia memiliki lebih dari 126 juta pengguna aktif TikTok, menjadikannya salah satu pasar terbesar di dunia. Di tengah gelombang digitalisasi ini, wajar apabila guru berupaya menyesuaikan diri, bahkan memanfaatkannya sebagai sarana pendekatan kepada murid.
Namun, keberadaan guru dalam ruang digital tidak lepas dari tanggung jawab etik dan profesionalisme. Menjadi dekat dengan siswa bukan berarti menanggalkan batas. Guru tetap memikul tanggung jawab moral, sosial, dan pedagogis dalam setiap tindakan, termasuk saat hadir di layar ponsel. Ketika guru merekam video di ruang kelas pada jam kerja tanpa muatan edukatif yang jelas, atau melibatkan siswa tanpa izin orang tua, maka ada batas yang telah dilampaui. Di situlah persoalan utama bermula.
Relasi antara guru dan siswa bukanlah relasi yang setara dalam konteks tanggung jawab. Guru memiliki posisi kuasa yang melekat pada profesinya. Karena itu, relasi ini harus dijaga dengan kehati-hatian yang tinggi. Ketika kekuasaan simbolik ini dibawa ke ruang publik digital, terlebih dengan konten yang bersifat hiburan semata, maka wibawa guru dapat tergerus. Kita patut khawatir bahwa murid mulai melihat guru bukan sebagai panutan, tetapi sebagai rekan bermain atau bahkan sekadar konten kreator.
Masalah lain yang patut dicermati adalah potensi pelanggaran terhadap hak privasi anak. Dalam beberapa kasus, wajah dan nama siswa ditampilkan dalam video tanpa izin tertulis dari orang tua. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan terhadap identitas dan martabatnya.
Guru yang tidak menyadari aspek ini bisa saja tersandung masalah hukum, seperti yang terjadi di Papua Barat Daya pada 2024, saat orang tua siswa menuntut ganti rugi atas unggahan guru yang dianggap mengeksploitasi anak tanpa persetujuan.
Semua ini menunjukkan bahwa kehadiran guru di media sosial harus ditempatkan dalam kerangka etik yang kuat. Media sosial bukan musuh pendidikan. Ia adalah alat bantu, jembatan komunikasi, bahkan saluran inovasi. Banyak guru yang berhasil memanfaatkan TikTok untuk menyampaikan materi pelajaran, membagikan motivasi belajar, atau mengajak siswa berpikir kritis. Konten semacam itu membuktikan bahwa digitalisasi bisa berpihak pada pendidikan jika dijalankan dengan kesadaran dan tujuan yang tepat.
Namun demikian, penting untuk membedakan antara konten edukatif dan konten yang dibuat demi viralitas. Algoritma media sosial tidak menilai berdasarkan nilai edukatif, tetapi berdasarkan daya tarik visual dan keterlibatan pengguna. Maka, jika guru mulai menyamakan keberhasilan profesinya dengan jumlah “suka” dan “tonton”, di situlah pendidikan mulai kehilangan arah. Pendidikan adalah proses jangka panjang yang menuntut konsistensi, kedalaman, dan tanggung jawab, bukan hiburan sesaat.
Di tengah situasi ini, peran institusi pendidikan menjadi penting. Sekolah dan dinas pendidikan perlu menyusun pedoman yang jelas mengenai penggunaan media sosial oleh tenaga pendidik. Pedoman itu tidak semestinya bersifat membatasi secara kaku, tetapi mendorong pemanfaatan media sosial yang bertanggung jawab dan mendukung proses belajar.
Selain itu, pelatihan literasi digital bagi guru menjadi kebutuhan yang mendesak. Guru perlu dibekali pemahaman tentang risiko, etika digital, dan strategi menyampaikan materi di ruang daring tanpa mengorbankan marwah profesi.
Sudah saatnya pula organisasi profesi seperti PGRI memperkuat kembali posisi etika guru dalam konteks kekinian. Kode Etik Guru Indonesia menyebutkan bahwa guru wajib menjadi teladan dalam sikap, tutur kata, dan perbuatan, baik di dalam maupun di luar kelas. Ini bukan semata aturan normatif, melainkan fondasi untuk menjaga kepercayaan publik terhadap profesi guru.
Akhirnya, kita perlu menyadari bahwa menjadi guru di era digital bukan sekadar menguasai teknologi. Yang lebih penting adalah bagaimana tetap setia pada nilai-nilai dasar pendidikan, menumbuhkan nalar, membentuk karakter, dan membangun manusia.
Guru tidak harus anti-TikTok, tetapi harus bijak saat menyalakan kamera. Karena pendidikan sejati tidak dinilai dari seberapa sering tampil di layar, tetapi dari seberapa dalam ia tertanam dalam jiwa para siswa. []
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang*