Oleh : Musfi Yendra*)
Dalam sistem hukum Indonesia, abolisi dan amnesti merupakan dua kewenangan konstitusional yang melekat pada Presiden. Keduanya kerap digunakan sebagai instrumen hukum dalam rangka penyelesaian kasus-kasus tertentu, baik yang bermuatan politik, kemanusiaan, maupun hukum pidana biasa.
Namun di balik fungsinya yang sah dan dijamin konstitusi, pemberian abolisi dan amnesti bukanlah sekadar tindakan administratif semata, melainkan keputusan negara yang memiliki konsekuensi besar terhadap penegakan hukum, keadilan publik, dan kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, keterbukaan informasi publik menjadi sangat krusial dalam memastikan bahwa setiap langkah pengampunan negara ini dilakukan secara transparan, akuntabel, dan berpijak pada kepentingan publik, bukan kepentingan kelompok tertentu.
Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa Presiden memiliki hak untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung atau Dewan Perwakilan Rakyat, tergantung pada jenis pengampunannya. Amnesti biasanya diberikan kepada orang atau kelompok orang yang terlibat dalam tindak pidana politik, dan dapat menghapuskan segala akibat hukum dari perbuatan yang telah dilakukan.
Sementara itu, abolisi menghentikan proses hukum yang sedang berjalan terhadap seseorang atau sekelompok orang sebelum adanya putusan pengadilan. Secara legal, kewenangan ini sah. Namun dalam praktik, sering kali muncul kekhawatiran ketika keputusan tersebut dianggap tidak didasarkan pada proses yang terbuka dan partisipatif.
Dalam konteks inilah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) mengambil peran penting. Undang-undang ini memberi hak kepada setiap warga negara untuk mengetahui proses dan alasan di balik pengambilan kebijakan publik.
Pasal 2 UU KIP menegaskan bahwa pada prinsipnya setiap informasi publik bersifat terbuka. Ini termasuk informasi mengenai proses, pertimbangan, dan naskah keputusan pemberian amnesti atau abolisi. Publik berhak tahu siapa yang mengusulkan, apa dasar hukumnya, serta apakah pertimbangannya telah memenuhi unsur keadilan sosial. Jika tidak ada keterbukaan dalam proses tersebut akan menciptakan ruang abu-abu yang rentan disalahgunakan.
Kondisi ini semakin relevan bila dikaitkan dengan kasus-kasus korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya. Dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), ditegaskan bahwa lembaga ini memiliki mandat untuk menindak tegas pelaku tindak pidana korupsi tanpa pandang bulu.
Maka, bila ada upaya pemberian abolisi terhadap tersangka korupsi, publik berhak tahu apakah langkah tersebut telah mempertimbangkan kepentingan hukum, kepentingan masyarakat, serta tidak bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi. Tanpa transparansi, abolisi atau amnesti bisa dipersepsikan sebagai bentuk impunitas yang dilegalkan, atau bahkan sabotase terhadap agenda reformasi hukum.
Dalam kasus amnesti kepada mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2005, misalnya, pemerintah membuka dokumen dan dasar pertimbangannya kepada publik, termasuk melalui konsultasi dan persetujuan DPR RI sebagai bagian dari proses rekonsiliasi pascakonflik.
Namun dalam sejumlah wacana lain, seperti usulan abolisi terhadap tokoh politik yang tengah tersandung proses hukum, informasi publik sering kali tertutup. Proses yang tidak transparan menciptakan kecurigaan publik, melemahkan kredibilitas lembaga negara, dan berpotensi mencederai prinsip keadilan. Padahal, berdasarkan UU KIP, informasi yang berkaitan dengan pengambilan keputusan publik tidak boleh dikategorikan sebagai informasi yang dikecualikan, kecuali setelah melalui uji konsekuensi yang ketat.
Dalam praktiknya, badan publik dapat menolak memberikan informasi apabila termasuk informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU KIP. Namun pengecualian ini tidak bisa dilakukan sembarangan. Ia harus disertai alasan kuat dan pembuktian bahwa keterbukaan informasi tersebut memang membahayakan kepentingan yang lebih besar, seperti keamanan negara atau keselamatan individu.
Bahkan dalam hal ini, Komisi Informasi sebagai lembaga independen memiliki kewenangan untuk melakukan uji publik terhadap alasan pengecualian tersebut. Dengan demikian, tidak ada justifikasi hukum yang cukup kuat untuk menutupi secara mutlak informasi mengenai keputusan abolisi dan amnesti, kecuali yang benar-benar memenuhi syarat pengecualian.
Keterbukaan informasi juga membuka ruang partisipasi publik. Masyarakat, melalui paralegal dan organisasi masyarakat sipil, dapat mendorong transparansi dalam proses hukum dan mengawal agar pemberian abolisi atau amnesti tidak dilakukan secara diam-diam. Hal ini menunjukkan bahwa pengampunan negara tidak boleh menjadi ruang eksklusif kekuasaan, melainkan harus menjadi ruang dialog dan pertanggungjawaban sosial.
Beberapa langkah konkret perlu diambil untuk memastikan keterbukaan informasi publik dalam proses abolisi dan amnesti benar-benar diterapkan.
Pertama, setiap proses pengajuan, pertimbangan, dan pemberian amnesti atau abolisi harus disertai dokumentasi resmi yang dapat diakses publik.
Kedua, DPR dan Mahkamah Agung sebagai pihak yang memberikan pertimbangan harus terbuka dalam menyampaikan argumen dan pandangan hukumnya.
Ketiga, Presiden sebagai pemegang keputusan akhir juga wajib menjelaskan kepada masyarakat alasan substantif di balik keputusan tersebut.
Keempat, Komisi Informasi serta lembaga penegak hukum seperti KPK harus berperan aktif menjaga agar prinsip keterbukaan tidak dilanggar.
Di tengah era digital dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hak-hak konstitusionalnya, keterbukaan informasi bukan sekadar kebutuhan administratif, melainkan bagian dari etika demokrasi. Setiap tindakan negara, termasuk pengampunan terhadap pelaku pidana, harus dapat diuji secara rasional, terbuka, dan jujur di hadapan publik.
Sehingga, kita tidak hanya menegakkan hukum secara prosedural, tetapi juga membangun kepercayaan yang menjadi fondasi utama negara hukum yang demokratis. []
Ketua Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat*)