Koperasi Naik Kelas dan Kompetensi Pengurus

Oleh : Prof. Herri*)

Sebagai akademisi yang selama ini mengamati dinamika pembangunan ekonomi di tingkat lokal dan nasional, saya percaya bahwa koperasi memiliki peran strategis yang belum dimaksimalkan. Dalam banyak diskusi dan forum ilmiah, koperasi sering disebut sebagai “soko guru perekonomian nasional” namun faktanya dalam keseharian, koperasi sering dipinggirkan dari arus utama pemain ekonomi.

Walaupun  dalam perundangan  dan amanat founding fathers serta sejarah perjuangan bangsa, koperasi ditempatkan sejajar — bahkan sering dianggap lebih “merakyat” — dibanding sektor ekonomi lainnya.    

Di sinilah pentingnya inisiatif seperti Koperasi Merah Putih yang saat ini telah berdiri di berbagai wilayah Indonesia.  Kehadirannya bukan hanya menambah jumlah koperasi secara administratif, tetapi membawa harapan baru untuk menghidupkan kembali semangat ekonomi gotong royong — semangat yang tidak sekadar simbolik, tapi operasional dan berdampak nyata di lapangan.

Koperasi, dalam pandangan saya, harus mulai diposisikan sebagai aktor ekonomi sejajar dengan sektor swasta dan BUMN, bukan sebagai pelengkap atau “cadangan” dari sistem ekonomi nasional.

Tetapi untuk sampai ke sana, koperasi harus bergerak dari struktur menjadi fungsi, dari organisasi menjadi usaha, dari legalitas menjadi aktivitas produktif. Dan itu hanya bisa dimulai apabila koperasi mulai mengembangkan unit usahanya, dengan membaca peluang secara tajam dan menyusun rencana bisnis secara profesional.

Membaca Peluang Bukan Sekadar Naluri, Tapi Proses Analitis

Peluang usaha tidak muncul dari inspirasi mendadak, tapi dari kemampuan koperasi untuk melakukan pembacaan terhadap potensi internal dan kebutuhan eksternal secara sistematis. Dalam kerangka akademik, ini disebut proses identifikasi peluang — sesuatu yang bisa diajarkan, dipelajari, dan dilatih. Koperasi harus mampu mengenali siapa anggotanya, apa kompetensi dan sumber daya yang dimiliki, serta jaringan apa yang bisa dimanfaatkan.

Di sisi lain, ketua dan pengurus koperasi sebagai nakhoda pembawa kapal yang namanya koperasi bertugas menentukan tujuan dan arah serta mewujudkan strategi agar sampai ditujuan perlu memiliki insting bisnis dan usaha yang dibalut oleh integritas.

Apakah ada kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi? Apakah ada celah pasar yang tidak ditangkap pelaku usaha lain? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi pintu masuk untuk menemukan ide usaha koperasi yang relevan dan kontekstual.

Proses ini bukan monopoli perusahaan swasta. Koperasi pun bisa — dan harus — melakukannya. Bahkan koperasi memiliki keunggulan tersendiri: kedekatan sosial dengan komunitas lokal sesuai dengn nilai nilai kebersamaan.

Dengan itu, koperasi sebenarnya bisa lebih cepat menangkap kebutuhan dan membangun relasi pelanggan berbasis kepercayaan sosial jika koperasi  memiliki pengurus yang memiliki kreatifitas, inovatif dan  seorang risk taker

Rencana Bisnis: Profesionalisme dalam Gerakan Ekonomi Rakyat

Namun agar ide usaha tidak berhenti pada niat atau mimpi, koperasi perlu menyusun rencana bisnis. Ini hal yang sering dianggap teknokratis atau “hanya untuk swasta”, padahal justru inilah perangkat paling penting untuk menjembatani semangat sosial dengan logika ekonomi.

Rencana bisnis koperasi harus mencakup gambaran usaha, siapa pasarnya, bagaimana strategi pemasarannya, siapa yang menjalankan, berapa estimasi modal dan pendapatan, hingga bagaimana proyeksi keuangannya. Dokumen ini bukan sekadar syarat pinjaman, tetapi peta jalan bagaimana koperasi bisa mengelola usaha secara berkelanjutan.

Sebagai akademisi, saya meyakini bahwa banyak koperasi gagal bukan karena kurang niat, tetapi karena kurang rencana. Oleh karena itu, pendampingan dan pendidikan tentang penyusunan rencana bisnis harus menjadi prioritas dalam pembinaan koperasi, baik oleh pemerintah daerah maupun lembaga pendidikan.

Koperasi Sebagai Aktor Ekonomi Sejati

Sudah saatnya kita berhenti memandang koperasi sebagai “alternatif ekonomi rakyat” dan mulai memandangnya sebagai aktor ekonomi sejati. Sebagai lembaga yang dimiliki oleh anggotanya sendiri, koperasi menawarkan model demokrasi ekonomi yang jarang dimiliki sektor lain. Namun agar koperasi benar-benar bisa bersaing di pasar, ia harus dikelola dengan standar profesional yang sama dengan sektor swasta — tanpa kehilangan jiwa kolektifnya.

Langkah awal seperti yang dilakukan oleh Koperasi Merah Putih patut diapresiasi. Tapi jalan masih panjang. Pemerintah daerah perlu memperkuat peran pendampingan dan fasilitasi. Akademisi dan perguruan tinggi bisa berperan melalui riset terapan, inkubasi usaha koperasi, hingga pelatihan berkelanjutan. Dan tentu saja, para pengurus dan anggota koperasi harus membuka diri untuk belajar dan bertransformasi.

Koperasi bukan lembaga usang yang hidup dari nostalgia. Ia adalah struktur ekonomi yang paling menjanjikan untuk menjawab ketimpangan dan memperkuat ekonomi lokal — asal diberi ruang, diberi dukungan, dan diberi kesempatan untuk berkompetisi secara sehat.

Saya meyakini, jika koperasi diberikan kepercayaan yang sama seperti sektor lainnya, didukung oleh kebijakan yang berpihak, dan dikelola secara modern, maka ia akan tumbuh menjadi kekuatan ekonomi yang setara — bukan sebagai anak bawang, yang tidak diperhitungkan.

Dan di titik itu, barulah kita bisa berkata bahwa koperasi benar-benar menjadi soko guru perekonomian Indonesia — bukan hanya sebagai slogan, tetapi diejawantahkan dan dipraktekan dalam kehidupan keseharian, tidak mudah tetapi bisa melalui pengurus yang berkemampuan. []

Guru Besar Manajemen FEB Unand*)

Exit mobile version