Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) Menurut Syari’at Islam

Oleh : Gusfahmi Arifin, SE., MA., MM*)

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dikenakan di Indonesia saat ini ada 2 jenis, yaitu: 1) PBB-P2 (Perdesaan dan Perkotaan), dan 2) PBB-P3 (Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan).

PBB-P2 adalah pajak daerah yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota (Bupati/Walikota), berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).

Sedangkan PBB-P3 adalah pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, berdasarkan UU No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 186/PMK.03/2019 Tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan. Artikel ini khusus membahas tentang PBB-P2, yang dikenal luas oleh masyarakat dengan sebutan ‘PBB’ saja, karena pajak ini paling banyak bersentuhan langsung dengan masyarakat kecil dan menengah, dimana akhir-akhir ini banyak terjadi kehebohan dibeberapa daerah.

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan  (PBB-P2) adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman, sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan bumi dan di bawah permukaan bumi. (Pasal 1 angka 33 s/d 35 UU HKPD).

PBB-P2 merupakan salah satu dari 16 jenis pajak daerah yang pemungutannya diserahkan kepada pemerintah daerah (Gubernur/Bupati/Walikota), dimana 9 jenis dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota (Bupati/Walikota), yaitu: PBB-P2, BPHTB, PBJT, Pajak Reklame, PAT, Pajak MBLB, Pajak Sarang Burung Walet, Opsen PKB dan Opsen BBNKB. Sedangkan 7 jenis lagi dipungut oleh pemerintah provinsi (Gubernur), yaitu: PKB, BBNKB, PAB, PBBKB, PAP, Pajak Rokok. dan Opsen Pajak MBLB (Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU HKPD).

PKB, BBNKB, PAB, PAP, PBB-P2, Pajak Reklame, PAT, Opsen PKB dan Opsen BBNKB dipungut berdasarkan penetapan kepala daerah, sedangkan pajak lainnya dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU HKPD).  Selain 16 jenis pajak diatas, pemerintah daerah dilarang memungut pajak dalam bentuk apapun (Pasal 6 UU HKPD).

Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Bumi, termasuk permukaan bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan. (Pasal 38 ayat (1) dan (2) UU HKPD).

PBB-P2 tidak dipungut atas kepemilikan, penguasaan, dan/ atau pemanfaatan atas: Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah; Bumi dan/atau bangunan yang digunakan semata mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; Bumi dan/atau bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis; Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak; Bumi dan/atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; Bumi dan/atau bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri; Bumi dan/atau bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis; Bumi dan/atau bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Daerah; dan Bumi dan/atau bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah (Pasal 38 UU HKPD).

Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/ atau memperoleh manfaat atas bangunan. Sedangkan Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.(Pasal 39 ayat (1) dan (2) UU HKPD).

Dasar pengenaan PBB-P2 adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2. NJOP tidak kena pajak ditetapkan paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah kabupaten/kota, NJOP tidak kena pajak hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak. NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20 % (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak. NJOP ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya. Besaran NJOP ditetapkan oleh Kepala Daerah. (Pasal 40 ayat (1) s/d (8) UU HKPD).

Nilai Jual Objek Pajak PBB-P2 yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti (Pasal 1 angka 36 UU HKPD).

Tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5% (nol koma lima persen). Tarif PBB-P2 yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan lebih rendah daripada tarif untuk lahan lainnya. Tarif PBB-P2 ditetapkan dengan Perda. Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 dengan tarif PBB-P2. (Pasal 41 UU HKPD). Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender. Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari. Tempat PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2 (Pasal 43 UU HKPD).

Di zaman pemerintahan Rasulullah SAW (622-632 M), pajak yang dikenakan terhadap tanah adalah pajak atas hasil bumi milik negara, yang diperoleh dari peperangan dan dijadikan sebagai Harta Rampasan Perang (Ghanimah, QS. Al Anfaal [8]: 1,41,69), yang diperoleh dari suku Yahudi di Khaibar. Suku Yahudi ini meminta kepada Rasulullah SAW agar tanah tersebut tidak dibagikan kepada tantara sebagaimana Ghanimah, namun diberikan hak pengelolaannya kepada mereka dengan syarat mereka menyerahkan separo hasilnya (50%) untuk negara. Sebagaimana diceritakan dalam hadits, bahwa Rasulullah ﷺ pernah tidak membagikan tanah Ghanimah kepada kaum Muslimin, tapi menjadikannya sebagai tanah Kharajiyah (tanah sewa hasil bumi), lalu memungut Kharaj – خراج -(pajak hasil bumi) dari tanah Khaibar dengan tarif setengah dari hasilnya (50%). Lihat hadits berikut:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَجْلَى الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى مِنْ أَرْضِ الْحِجَازِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا ظَهَرَ عَلَى خَيْبَرَ أَرَادَ إِخْرَاجَ الْيَهُودِ مِنْهَا وَكَانَتْ الْأَرْضُ حِينَ ظَهَرَ عَلَيْهَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِلْمُسْلِمِينَ وَأَرَادَ إِخْرَاجَ الْيَهُودِ مِنْهَا فَسَأَلَتْ الْيَهُودُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُقِرَّهُمْ بِهَا أَنْ يَكْفُوا عَمَلَهَا وَلَهُمْ نِصْفُ الثَّمَرِ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُقِرُّكُمْ بِهَا عَلَى ذَلِكَ مَا شِئْنَا فَقَرُّوا بِهَا حَتَّى أَجْلَاهُمْ عُمَرُ إِلَى تَيْمَاءَ وَأَرِيحَاءَ

Dari Ibnu’Umar radliallahu ‘anhuma berkata; “Ketika Rasulullah “. Dan berkata, ‘Abdur Razzaaq telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij berkata, telah menceritakan kepadaku Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar bahwa ‘Umar bin Al Khaththab radliallahu ‘anhu mengusir Yahudi dan Nashrani dari tanah Hijaz. Dan Rasulullah  ketika menaklukan Khaibar berkehendak untuk mengusir Kaum Yahudi dari wilayah tersebut. Dan ketika Beliau menguasainya tanah Khaibar Beliau manfaatkan untuk Allah, RasulNya dan Kaum Muslimin dan Beliau berkehendak mengusir Kaum Yahudi darinya, namun Kaum Yahudi meminta kepada Rasulullah  agar Beliau mengizinkan mereka tetap tinggal disana untuk memanfaatkannya dan mereka mendapat hak bagian separuh dari hasil buah-buahannya (Kharaj/pajak), maka Rasulullah  bersabda: “Kami tetapkan kalian tinggal dan memberdayakannya sesuai kehendak kami”. Maka mereka menetap disana hingga akhirnya ‘Umar radliallahu ‘anhu mengusir mereka ke daerah Taima’ dan Ariha’. (HR. Bukhari no. 2170 dan HR. Muslim no. 2899).

Di zaman Umar bin Khattab RA (634-644 M), pengenaan pajak atas hasil tanah seperti dimasa Rasulullah SAW juga pernah dilaksanakan oleh Umar RA, yang tidak membagikan tanah di Sawad Iraq sebagai Ghanimah, namun menjadikannya tanah wakaf yang dipungut Kharaj (pajak hasil tanah), dimana hasilnya dijadikan sebagai pendapatan negara, yang bermanfaat untuk membiayai berbagai keperluan negara seperti menggaji tentara yang menjaga perbatasan di Syam, Jazrah, Kufah, Bashrah dan Mesir. Keputusan ini diambil oleh Umar demi kemaslahatan jangka panjang dan lebih bermanfaat bagi generasi sesudahnya. Dasar ijtihad Umar ini adalah QS. Al Hasyr [59]: 6-10, dimana Allah SWT memerintahkan agar harta itu tidak hanya beredar diantara orang kaya saja diantara mereka, melainkan diberikan pula kepada yang miskin, muhajirin, dan kemaslahatan umat Islam.

Pengenaan Kharaj (pajak hasil bumi) di masa Rasulullah SAW dan masa Umar bin Khattab hanya atas tanah milik khalifah yang diberikan hak pengelolaannya kepada orang kafir. Jadi, pembayar Kharaj adalah orang kafir, sedangkan atas hasil tanah yang dimiliki dan dikelola oleh kaum Muslimin tetap hanya dikenakan Zakat atau ‘Usyur (Zakat hasil pertanian). Jadi tanah dalam Islam, dibagi atas tanah Kharaj dan tanah ‘Usyur, sebagaimana hadits:

عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ الْحَضْرَمِيِّ قَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَهْلِ هَجَرَ شَكَّ أَبُو حَمْزَةَ قَالَ وَكُنْتُ آتِي الْحَائِطَ يَكُونُ بَيْنَ الْإِخْوَةِ فَيُسْلِمُ أَحَدُهُمْ فَآخُذُ مِنْ الْمُسْلِمِ الْعُشْرَ وَمِنْ الْآخَرِ الْخَرَاجَ

Dari Al ‘Ala` Bin Al Hadlrami dia berkata; “Rasulullah SAW pernah mengutusku ke negeri Bahrain atau penduduk Hajar -Abu Hamzah ragu (mengenai redaksinya) – Al ‘Ala` berkata; “Lalu aku datang ke suatu kebun yang dimiliki oleh beberapa orang bersaudara, lalu salah seorang dari mereka masuk Islam, maka aku mengambil dari seorang muslim ‘Usyur (Sepersepuluh) (Zakat) sedangkan dari yang lain (kafir) sebagai Kharaj (pajak).” (HR. Ahmad no. 19622).

Pengenaan Kharaj di masa Umar RA sangat memperhatikan sekali kemampuan tanah, ada tanah yang bagus dan ada yang tanah yang buruk. Ada jenis tanaman yang harganya tinggi dan ada yang harganya rendah. Jika biaya pengelolaan tanah tinggi, maka pajaknya tidak sebesar pajak tanah yang disirami dengan air hujan. Diperhatikan juga hasil panen, ada yang terkena hama atau dimakan binatang. Umar RA pernah menetapkan kharaj di Iraq, dengan ketentuan yang berbeda, yaitu: 2 dirham dari setiap satu gantang gandum; 4 dirham dari setiap satu gantang jagung; 5 dirham untuk setiap satu gantang anggur; dan 10 dirham untuk setiap satu gantang kayu krom (Quth Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar, hal. 86).

Membandingkan Kharaj dan ‘Usyur yang pernah dipungut di zaman Rasulullah SAW dan Umar bin Khattab RA dengan pajak PBB-P2 di Indonesia saat ini tentu akan terlihat jelas sekali bedanya. Kharaj dan ‘Usyur dipungut atas hasil tanah dengan tarif proporsional atau bagi hasil (muqasamah), bukan atas luas tanah  dengan tarif tetap, sebagaimana PBB-P2.

Jika kaum Muslimin sudah dikenakan ‘Usyur (zakat hasil pertanian), maka tidak lagi dikenakan Kharaj. Namun di Indonesia, setelah PBB-P2 dikenakan, kaum Muslimin tetap dikenakan Pajak Penghasilan (PPh). Dalam hal ini terjadi pajak berganda (double tax) antara PBB-P2 dengan PPh. Hal ini lah yang menyebabkan rakyat marah dan tidak terima, ketika seorang kepala daerah menetapkan kenaikan PBB-P2 secara sepihak, dengan cara menaikkan NJOP, sehingga PBB-P2 menjadi naik 100%, 200% bahkan ada yang 300%.

Bercermin dari kasus penolakan kenaikan PBB-P2 ini, yang dirasakan tidak sesuai dengan rasa keadilan, juga tidak sesuai dengan syari’at Islam karena adanya pajak berganda dengan PPh, maka sudah waktunya PBB-P2 ini ditinjau kembali oleh DPR dan pemerintah untuk di hapus.

Kharaj (pajak hasil bumi) yang pernah diterapkan di zaman Rasulullah SAW atas tanah Khaibar dan Khalifah Umar bin Khattab RA atas tanah Sawad di Iraq dan tanah di Mesir, dikenakan atas tanah milik khalifah (negara) yang pengelolaannya diserahkan kepada rakyat, bukan tanah milik pribadi rakyat yang sudah diakui hak kepemilikannya. Atas tanah rakyat yang sudah diberi hak kepemilikannya (SHM, HGB, HGU) dipungut Zakat (‘Usyur) dan Pajak Penghasilan (PPh) sebagai pajak tambahan setelah zakat.

Pajak atas hasil usaha seperti Pajak Penghasilan (PPh), merupakan hasil ijtihad ulama yang dibolehkan menurut Syari’at berdasarkan metode istinbath Maslahah Al Mursalah, karena sudah sangat dibutuhkan oleh Ulil Amri sebagai pendapatan negara, disebabkan kas negara mengalami kekurangan akibat sumber pendapatan negara yang utama dari Ghanimah, Fa’i, Jizyah, Kharaj, ‘Usyur tidak mencukupi, Zakat tidak bisa digunakan selain hanya untuk asnaf yang delapan (QS. At Taubah [9]: 60), maka Ulil Amri harus berijtihad mengadakan sumber pendapatan baru yang disebut Dharibah (pajak tambahan), sebagai bentuk jihad kaum Muslimin untuk membiayai berbagai pengeluaran negara di zaman modern saat ini.

*) Gusfahmi Arifin, SE., MA. adalah Mahasiswa S3 Hukum Islam, Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang, bekerja sebagai Penyuluh Pajak Ahli Madya, Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Riau.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis, tidak mewakili institusi dimana penulis bekerja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *