Surat KPK, Momentum Transparansi Anggaran Daerah

Oleh : Musfi Yendra*)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menegaskan komitmennya dalam memperkuat pengawasan terhadap pengelolaan keuangan publik di daerah. Melalui surat resmi bernomor B/5380/KSP.00/70-72/08/2025 tertanggal 21 Agustus 2025, lembaga antirasuah itu secara tegas meminta para kepala daerah untuk menyerahkan data terkait sepuluh proyek strategis daerah, Pokok-pokok Pikiran (Pokir) DPRD, daftar hibah, dan Bantuan Sosial (Bansos).

Surat dengan sifat “Segera” tersebut ditandatangani secara digital oleh Agung Yudha Wibowo, Pelaksana Tugas Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi KPK, dengan tenggat waktu penyampaian data paling lambat 3 September 2025 kepada Pejabat Penghubung (PIC) KPK di masing-masing wilayah.

Langkah ini menunjukkan bahwa KPK tidak hanya berfokus pada penindakan, tetapi juga memperkuat fungsi koordinasi dan supervisi untuk mencegah korupsi sejak tahap perencanaan anggaran.

Permintaan KPK ini sangat relevan dengan semangat transparansi anggaran yang menjadi fondasi tata kelola pemerintahan yang baik. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) secara jelas mengatur bahwa badan publik, termasuk pemerintah daerah, wajib membuka informasi mengenai penggunaan anggaran kepada masyarakat.

Proyek strategis, Pokir DPRD, hibah, hingga Bansos termasuk kategori informasi publik yang wajib diumumkan secara berkala. Dengan kata lain, pemerintah daerah tidak bisa menutup akses informasi tersebut dengan alasan teknis atau politis. Keterbukaan data anggaran merupakan hak publik yang harus dijamin, agar masyarakat bisa mengetahui kemana uang mereka digunakan.

Di sisi lain, kewenangan KPK untuk meminta data semacam ini berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Melalui fungsi koordinasi dan supervisi, KPK memiliki hak untuk mengawasi, meminta data, serta melakukan langkah pencegahan korupsi di daerah.

Permintaan data sejak dini ini dimaksudkan agar proses penganggaran dapat berlangsung lebih bersih, terstruktur, dan terbebas dari penyimpangan.

Dalam praktiknya, area yang diminta KPK memang kerap menjadi titik rawan korupsi. Proyek strategis daerah seringkali menjadi ajang kolusi antara kontraktor dan pejabat daerah. Pokir DPRD di sejumlah kasus terbukti menjadi ruang transaksi politik, sementara Bansos kerap disalahgunakan sebagai alat kepentingan praktis, terutama menjelang kontestasi elektoral.

Keterbukaan data dalam bidang-bidang tersebut menjadi sangat penting. Dengan adanya transparansi, publik dapat turut mengawasi, media bisa melakukan kontrol sosial, dan lembaga-lembaga masyarakat sipil bisa mengawal agar penggunaan anggaran benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Tanpa keterbukaan, ruang gelap yang menyuburkan praktik korupsi akan terus bertahan. Karena itu, instruksi KPK ini sesungguhnya bukan sekadar permintaan data administratif, melainkan dorongan untuk membangun budaya pemerintahan yang terbuka dan akuntabel.

Prinsip good governance menempatkan transparansi sebagai pilar utama penyelenggaraan negara. Transparansi berarti setiap kebijakan, program, dan penggunaan anggaran negara dapat diakses, dipahami, dan diawasi oleh publik. Tanpa transparansi, akuntabilitas pemerintah menjadi lemah, partisipasi masyarakat menurun, dan peluang penyalahgunaan kekuasaan semakin terbuka lebar.

Anggaran publik sejatinya adalah uang rakyat. Setiap rupiah yang masuk ke kas negara dan daerah berasal dari pajak dan retribusi masyarakat. Karena itu, penggunaannya wajib dipertanggungjawabkan secara terbuka. Menutup data anggaran berarti mengingkari mandat rakyat sekaligus melanggar konstitusi yang menjamin hak atas informasi.

Langkah KPK mendesak kepala daerah menyerahkan data ini dapat dibaca sebagai momentum penting untuk memperkuat integritas pemerintahan daerah. Kepala daerah seharusnya menyambut positif instruksi ini, bukan menganggapnya beban birokrasi tambahan.

Dengan membuka data proyek strategis, Pokir DPRD, serta hibah dan Bansos, pemerintah daerah justru akan memperoleh keuntungan berupa meningkatnya kepercayaan publik. Legitimasi sosial ini sangat penting karena masyarakat akan lebih yakin bahwa pemimpinnya bekerja dengan tulus untuk kepentingan bersama.

Sejumlah daerah di Indonesia telah membuktikan bahwa transparansi anggaran dapat memberikan manfaat besar. Ketika data anggaran dibuka secara jelas, partisipasi masyarakat meningkat, dan program pembangunan dapat dievaluasi secara lebih efektif.

Contohnya, Kabupaten Bojonegoro sejak lama dikenal sebagai salah satu daerah paling progresif dalam transparansi anggaran. Pemerintah daerah membuka data APBD secara daring melalui portal Satu Data Bojonegoro. Tidak hanya data belanja rutin, tetapi juga detail proyek pembangunan dan dana desa dapat diakses masyarakat. Bahkan tahun 2016 Bojonegoro bersama Kota Seoul (Korea Selatan) dan Kota Tbilisi (Georgia) pernah menjadi percontohan Open Government Partnership (OGP) tingkat internasional.

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat juga memiliki portal transparansi dinamai Dashboard Pembangunan Sumbar. Portal ini merupakan inovasi untuk transparansi program, kegiatan, kinerja OPD hingga penganggaran pemerintah provinsi, yang bisa diakses kapan saja oleh masyarakat. Dashboard Pembangunan Sumbar ini, pernah meraih Penghargaan Provinsi Terinovatif Terbaik 2 secara Nasional dan Terbaik 1 di Regional Sumatera, pada tahun 2024 lalu dari Kemendagri.

Sebaliknya, daerah yang masih tertutup sering kali dilanda kasus korupsi, pemborosan anggaran, dan rendahnya kepercayaan publik. Dalam konteks ini, permintaan data oleh KPK dapat menjadi titik balik untuk mendorong semua daerah bergerak menuju pola pemerintahan yang lebih terbuka.

Surat KPK ini juga mengingatkan bahwa era pengelolaan anggaran secara tertutup sudah berakhir. UU KIP memberi dasar hukum keterbukaan, UU KPK memberi kewenangan pengawasan, sementara prinsip transparansi anggaran memberi arah moral bagi penyelenggara negara. Tiga landasan ini seharusnya cukup kuat untuk menegakkan budaya pemerintahan yang bersih.

Kini, tinggal bagaimana pemerintah daerah merespons. Apakah mereka akan memilih jalan keterbukaan yang berujung pada kepercayaan publik, atau tetap bertahan dalam budaya kerahasiaan yang hanya akan menyeret mereka ke dalam jurang penyalahgunaan kekuasaan?

Transparansi bukan sekadar kewajiban hukum yang harus dipatuhi karena tekanan regulasi atau desakan lembaga pengawas. Transparansi adalah fondasi bagi pemerintahan yang demokratis, berintegritas, dan berpihak kepada rakyat.

Permintaan KPK agar data proyek strategis, Pokir, hibah, dan Bansos segera diserahkan bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk memperbaiki tata kelola keuangan daerah. Momentum ini patut dimanfaatkan, karena hanya dengan keterbukaan, korupsi bisa dicegah, dan demokrasi bisa diperkuat. []

Ketua Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat*)

Exit mobile version