Menghidupkan Kembali “Desa yang Hilang”, Tantangan Rekonstruksi dan Rehabilitasi

Oleh : Heni Septiana Ritonga*)

Bencana alam tidak hanya meninggalkan kerusakan fisik, tetapi juga luka sosial yang panjang bagi masyarakat yang terdampak. Kabupaten Aceh Tamiang, sebagai salah satu wilayah di Provinsi Aceh yang berada di kawasan pesisir dan dialiri sejumlah sungai besar, memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap banjir, abrasi, dan longsor.

Dalam beberapa peristiwa bencana yang terjadi dalam satu dekade terakhir, sejumlah desa di wilayah ini mengalami kerusakan berat hingga sebagian wilayah permukimannya dinyatakan tidak layak huni.

Fenomena ini memunculkan istilah “desa yang hilang”, yaitu desa-desa yang secara fisik berubah drastis sehingga kehilangan bentuk, fungsi, dan identitas sosialnya.

Rumah-rumah warga hanyut, lahan pertanian rusak, dan fasilitas umum tidak dapat digunakan. Dalam konteks ini, rekonstruksi dan rehabilitasi menjadi agenda mendesak yang tidak hanya berkaitan dengan pembangunan kembali infrastruktur, tetapi juga pemulihan martabat dan kualitas hidup masyarakat.

Kondisi Geografis dan Ekologis Aceh Tamiang

Aceh Tamiang memiliki bentang alam yang kompleks, mulai dari kawasan dataran rendah, daerah aliran sungai, hingga wilayah rawa dan pesisir. Sungai-sungai besar yang melintasi wilayah ini menjadi sumber kehidupan sekaligus potensi ancaman. Curah hujan tinggi, sedimentasi sungai, dan degradasi hutan di daerah hulu memperparah risiko banjir bandang.

Alih fungsi lahan untuk perkebunan dan pemukiman mempersempit daerah resapan air. Pada saat yang sama, minimnya infrastruktur pengendali banjir seperti tanggul dan kanal membuat air meluap dengan cepat saat musim hujan tiba.

Perubahan ekologi ini tidak hanya berdampak pada lingkungan fisik, tetapi juga memengaruhi pola hidup masyarakat yang selama ini bergantung pada pertanian dan perikanan

Makna “Desa Hilang” dalam Perspektif Sosial

Hilangnya sebuah desa bukan sekadar hilangnya bangunan, melainkan hilangnya ruang sosial tempat berlangsungnya kehidupan kolektif. Masjid

, sekolah, dan balai desa bukan hanya bangunan fisik, tetapi pusat aktivitas sosial, budaya, dan spiritual. Ketika ruang-ruang tersebut rusak atau lenyap, masyarakat kehilangan titik temu dan jati diri kolektifnya.

Pengungsian yang berlangsung dalam waktu lama memicu disintegrasi sosial. Warga yang terbiasa hidup dalam ikatan komunal harus beradaptasi dengan kehidupan di tempat sementara yang serba terbatas.

Dalam situasi ini, muncul berbagai persoalan sosial, seperti meningkatnya kerentanan ekonomi, konflik lahan, serta melemahnya peran lembaga adat dan perangkat desa.

Tantangan Rekonstruksi Infrastruktur

Rekonstruksi desa pascabencana di Aceh Tamiang menghadapi tantangan yang multidimensi. Pertama, tantangan teknis berupa keterbatasan data pemetaan wilayah rawan bencana. Tanpa peta risiko yang akurat, pembangunan ulang berpotensi dilakukan di lokasi yang sama-sama rentan.

Kedua, persoalan pendanaan. Proses pembangunan rumah layak huni, fasilitas kesehatan, dan sarana pendidikan membutuhkan anggaran besar dan perencanaan jangka panjang.

Tidak jarang terjadi tumpang tindih program antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga donor, yang justru memperlambat proses pemulihan.

Ketiga, persoalan sosial terkait status kepemilikan lahan. Pergeseran alur sungai dan perubahan kontur tanah membuat batas-batas tanah menjadi tidak jelas. Hal ini sering memicu konflik horizontal yang berpotensi menghambat kelancaran rekonstruksi.

Rehabilitasi Sosial dan Ekonomi

Berbeda dengan rekonstruksi yang berfokus pada aspek fisik, rehabilitasi lebih menekankan pada pemulihan fungsi sosial dan ekonomi masyarakat. Banyak warga Aceh Tamiang yang kehilangan sumber penghidupan utama, seperti lahan sawah dan kebun. Nelayan pun terdampak karena rusaknya ekosistem sungai dan pesisir.

Program bantuan yang bersifat jangka pendek, seperti bantuan logistik dan uang tunai, belum cukup untuk menciptakan kemandirian ekonomi.Diperlukan program pemberdayaan yang berkelanjutan, seperti pelatihan keterampilan, akses modal usaha, dan penguatan koperasi desa.

Rehabilitasi juga harus mencakup pemulihan psikososial, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, dan lansia.

Peran Pemerintah dan Tata Kelola Kebencanaan

Pemerintah daerah memiliki peran strategis dalam memastikan bahwa proses rekonstruksi dan rehabilitasi berjalan secara transparan, akuntabel, dan berbasis kebutuhan nyata masyarakat.

Penyusunan rencana tata ruang yang mempertimbangkan risiko bencana menjadi kunci utama dalam mencegah terulangnya kerusakan serupa.

Selain itu, sistem peringatan dini (early warning system) dan edukasi kebencanaan kepada masyarakat perlu diperkuat. Masyarakat harus dibekali pengetahuan tentang mitigasi dan evakuasi agar mampu merespons secara cepat saat terjadi bencana.

Modal Sosial dan Kearifan Lokal sebagai Kekuatan Pemulihan

Salah satu kekuatan utama masyarakat Aceh Tamiang adalah kuatnya tradisi gotong royong dan solidaritas sosial.

Nilai-nilai lokal, seperti musyawarah dan kerja bakti, menjadi modal penting dalam mempercepat proses pemulihan. Lembaga adat dan tokoh agama memiliki peran strategis dalam menjaga kohesi sosial dan membangun kembali semangat komunitas.

Pengalaman pada berbagai bencana sebelumnya menunjukkan bahwa desa yang melibatkan warganya secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan rekonstruksi cenderung pulih lebih cepat dan lebih berkelanjutan.

Menghidupkan kembali desa yang hilang di Aceh Tamiang bukan sekadar proyek pembangunan fisik, melainkan proses panjang membangun kembali peradaban kecil yang sempat runtuh.

Tantangan rekonstruksi dan rehabilitasi harus dijawab dengan pendekatan yang terintegrasi antara pembangunan infrastruktur, pemulihan sosial-ekonomi, dan penguatan kapasitas masyarakat.

Dengan perencanaan yang matang, tata kelola yang baik, serta partisipasi aktif masyarakat, desa-desa yang sempat “hilang” bukan hanya dapat dibangun kembali, tetapi juga memiliki peluang untuk tumbuh menjadi kawasan yang lebih tangguh dan berkelanjutan di masa depan. []

Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Imam Bonjol Padang*)

Exit mobile version