Oleh : Diska Afrilia*)
Lelah tapi harus tangguh?
“Kapan terakhir kali kamu istirahat tanpa rasa bersalah?” Bukan karena ketiduran saat mengerjakan tugas atau kelelahan setelah rapat, tapi benar-benar istirahat. Duduk diam tanpa cemas, tanpa dihantui pikiran tentang tenggat tugas, revisi laporan, atau chat grup organisasi yang seolah tidak pernah hening.
Di balik foto mengenakan jas almamater dan unggahan semangat di media sosial, banyak mahasiswa menyimpan kelelahan yang tidak pernah benar-benar selesai. Mereka hidup dalam rutinitas yang padat, pagi kuliah, sore rapat, malamnya menulis makalah. Produktivitas menjadi standar utama, dan kelelahan dianggap wajar, bahkan seakan-akan sesuatu yang harus dilawan.
Padahal, lelah yang dibiarkan terlalu lama bisa berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih serius, burnout. Burnout bukan sekadar rasa capek, tapi kondisi ketika tubuh, pikiran, dan emosi terasa habis tak bersisa.
Kita merasa kosong, kehilangan motivasi, bahkan hal-hal yang dulunya menyenangkan terasa membebani. Yang lebih menyedihkan, burnout seringkali tidak disadari. Kita mengira itu hanya fase malas biasa, atau bagian dari proses “menjadi dewasa”, padahal sebenarnya kita sedang memaksa tubuh dan pikiran yang sudah lama minta jeda.
Data membuktikan bahwa burnout pada mahasiswa adalah fenomena nyata, bukan asumsi belaka. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) pada 2022, sebanyak 1 dari 3 mahasiswa mengalami gejala depresi dan stres berat yang dapat dikategorikan sebagai burnout.
Sementara itu, riset oleh Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK) menyebutkan bahwa 47% mahasiswa tahun ketiga dan keempat di perguruan tinggi negeri menunjukkan tanda-tanda kelelahan akademik dan emosional. Kondisi ini diperparah dengan beban tambahan seperti aktivitas organisasi, magang, part-time, hingga tekanan keluarga untuk lulus tepat waktu. Mahasiswa seperti dituntut menjadi “versi terbaik” dari segala aspek, tanpa ruang untuk gagal atau sekadar bernapas.
Tanda-tanda burnout kadang samar, namun konsisten menghantui keseharian. Misalnya, kelelahan yang tidak hilang meski sudah tidur cukup, kesulitan fokus, kehilangan minat belajar, serta munculnya perasaan bersalah saat beristirahat. Tidak jarang pula muncul perasaan rendah diri dan pikiran seperti, “Aku selalu gagal,” atau “Aku tidak cukup baik.”
Semua terasa berat, dan akhirnya menjauh dari lingkungan menjadi pilihan karena energi sosial pun ikut terkuras. Burnout bukan sekadar masalah semangat, tapi krisis kesehatan mental yang diam-diam menggerogoti.
Dampak burnout tidak main-main. Selain menurunnya capaian akademik, mahasiswa juga bisa mengalami gangguan tidur, migrain, bahkan depresi klinis. Riset dari Kementerian Kesehatan RI tahun 2023 menyebutkan bahwa 25% mahasiswa di Indonesia yang mengalami burnout berisiko mengalami gangguan kecemasan jangka panjang.
Lebih menyedihkan, banyak yang memilih menanggung semua ini sendirian, karena takut dianggap lemah. Kita diajarkan untuk terus tangguh, tapi sering lupa diajarkan bagaimana mengenali batas dan merawat diri.
Burnout bukanlah masalah yang bisa diselesaikan dalam semalam. Solusi dimulai dari langkah kecil, dimulai dari pemahaman yang utuh tentang self-care. Merawat diri bukan sekadar skincare atau liburan mewah, tapi tentang kemampuan mengenali kapan tubuh dan pikiran butuh jeda.
Salah satu bentuk paling sederhana adalah memberi diri kita izin untuk beristirahat tanpa rasa bersalah. Istirahat bukan tanda kemalasan; itu kebutuhan dasar yang tidak bisa dinegosiasikan. Jika tubuh minta tidur, tidurlah. Jika pikiran lelah, jauhi layar dan cari ruang tenang.
Kemampuan berkata “tidak” juga bagian penting dari menjaga kesehatan mental. Di tengah budaya kampus yang memuja mahasiswa serba bisa, berani menolak tugas yang melampaui batas kapasitas adalah bentuk keberanian. Kita tidak perlu selalu aktif di semua lini, ikut semua kepanitiaan, atau mengejar setiap peluang.
Memilih istirahat bukan berarti mengabaikan tanggung jawab, tapi memberi tubuh dan jiwa ruang untuk tetap waras. Karena sejatinya, kamu tidak bisa menyelamatkan dunia jika tidak tahu cara menyelamatkan dirimu sendiri.
Yang tak kalah penting, jangan menanggung semua ini sendirian. Bicarakan apa yang kamu rasakan. Kepada teman, dosen pembimbing, atau konselor kampus, siapa pun yang bisa menjadi ruang aman untuk berbagi. Mengungkapkan kelelahan bukan kelemahan, tapi langkah awal menuju pemulihan. Banyak yang mengalami hal serupa, hanya saja mereka memilih diam. Padahal, kesembuhan seringkali dimulai dari keberanian untuk bersuara.
Namun beban ini bukan hanya tanggung jawab individu. Kampus sebagai ekosistem akademik juga harus berbenah. Sudah saatnya kita berhenti mengglorifikasi mahasiswa sibuk sebagai simbol sukses. Lingkungan kampus perlu menjadi ruang yang tidak hanya menuntut, tapi juga merawat.
Beban akademik yang manusiawi, kebijakan cuti yang ramah kesehatan mental, serta layanan psikologis yang mudah diakses adalah wujud kampus yang peduli. Karena mahasiswa bukan robot, dan tidak seharusnya diperlakukan seperti mesin pencetak prestasi.
Fenomena burnout yang dialami sebagian besar mahasiswa menunjukkan adanya ketimpangan antara ekspektasi dan kapasitas manusiawi.
Di balik simbol kebanggaan seperti jas almamater dan capaian prestasi, terdapat realitas yang penuh tekanan. Oleh karena itu, perlu dibangun kesadaran bersama bahwa keberhasilan tidak semata diukur dari intensitas aktivitas, tetapi juga dari kemampuan menjaga keseimbangan dan keberlanjutan dalam menjalani kehidupan akademik.
Karena di balik jas almamater itu, kamu bukan sekadar mahasiswa. Kamu adalah manusia. Dan manusia, tak pernah diciptakan untuk berjalan tanpa henti. []
Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang*)